Chapter 14

438 21 0
                                        

“Sayang!” panggil Arin dari balik pintu kamar mandi.

“Ada apa?” tanya Richard yang kini menghampirinya masuk ke dalam.

“Ini sudah sore nanti aku pulangnya gimana? Kan, tadi daleman aku basah akibat perbuatanmu.”

“Tadi aku sudah kabari Ayah kalau malam ini kamu bermalam di mansion. Dan untuk pakaianmu, nanti aku hubungi Anna untuk membelikannya,” sembari berlalu meninggalkan Arin yang masih membersihkan diri.

Richard menekan nomor pada layar ponselnya, menghubungi seseorang tentunya. Satu kali. Dua kali. Belum ada jawaban, hingga nada sambung ketiga baru ia mendengar suara di balik sambungannya.

“Gila lo, ya, nelpon gue saat sibuk begini,” suara yang tidak ada ramah-ramahnya dan penuh nada frustrasi.

“Sibuk apa? Kan, aku tidak ada rapat sore ini, Anna,” ia masih menempelkan ponselnya di telinga sembari memandang keluar jendela.

“Emang benar nggak ada rapat, tapi banyak wartawan di luar kantor dan yang pasti telepon nggak ada yang berhenti bunyi akibat ulah lo,” omel Anna pada sepupunya yang tampak bingung tidak mengerti maksud perkataannya barusan. Richard masih diam hingga Anna kembali melanjutkan kalimatnya.

“Lo kalo bosan hidup bikin kehebohan aja, Bro. Bisa-bisanya lo biarin orang-orang ngerekam lo yang lagi peluk Arin dan bilang kalau dia tunangan lo sejak 10 tahun lalu. Sudah nggak waras?”

“APA???” teriaknya yang jelas membuat Anna kaget dan tentu saja gadis yang baru keluar dari kamar mandi dibelakannya.

“Karena kejadian ini orang-orang akan prihatin pada mak lampir dan mendukungnya. Dan lo tahu kalau sudah begitu apa yang terjadi? Bukan tidak mungkin mak lampir akan memanfaatkan kejadian ini dan bertingkah seakan-akan dia korban,” cecarnya tanpa spasi dan titik koma.

“Baiklah. Kita pikirkan itu nanti. Yang terpenting sekarang tolong kamu belikan pakaian untuk Arin, jangan lupa pakaian dalamnya juga,” suaranya tercicit saat menyebutkan kalimat terakhirnya.

“Wait, she’s there with you? And what you mean about underwear, don’t tell me if you finally do it?” nada suara penasarannya mampu membuat wajah Richard memerah.

“Sudahlah. Lakukan saja apa yang aku bil--”  kalimatnya terputus saat mendengar suara Arin yang hanya memunculkan kepalanya sebatas celah pintu kamar mandi.

“Babe, where the bathrobe?”

“Ya Tuhan! Belum nikah kalian sudah mac--” kalimat Anna terputus karena Richard telah menutup panggilannya meninggalkan wanita hamil yang sedang marah-marah di seberang sana dan beralih mendatangi gadisnya yang tengah menunggu bathrobe yang tadi diambilnya dari dalam walk in closet.

“Who?”

“Anna. Tadi aku minta dia membeli beberapa pakaian dan juga,” kalimatnya berhenti sembari memandangi bagian tubuh Arin yang polos di depannya.

Melihat mata pria itu membuatnya sadar arah bicara dari tatapan itu. Pakaian dalam tentunya. Ia segera menggunakan bathrobe yang tadi dibawakan oleh pria seksi ini. Namun ia tersentak kaget saat mendapati kepala Richard telah menghilang di balik bathrobenya. Membelai paha telanjangnya dengan lembut. Dan yang membuatnya lebih kaget lagi adalah sejak kapan lidah basah itu menjilati inti dirinya?

“Ssssshhhhh...” desisnya menikmati jilatan lidah panas Richard di bawah sana.

“Aah, Sa-yaanggg... Stop it and don’t make me more wild,” tolaknya atas perbuatan Richard di bawah sana, walaupun tangannya terus menekan kepala pria itu dengan kencang. Tubuhnya yang kini telah tersandar pada dinding terasa panas dengan perlakuan prianya. Matanya terpejam walau kadang sedikit terbuka dengan mulut yang terus mendesah menikmati setiap sentuhan lidah milik calon suaminya. Arin hanya menggelengkan kepalanya frustrasi mendapati dirinya dilanda birahi seperti saat ini.

Richard semakin menggila dengan perlakuannya pada inti tubuh calon istrinya. Entah mengapa ia merasa sangat candu untuk kembali melakukannya dan membuat gadis itu mendesah hebat sambil menyebutkan namanya. Rasanya ingin sekali ia melesakkan tubuhnya masuk ke titik terdalam inti tubuh Arin. Hanya saja otaknya masih mampu untuk berpikir rasional untuk tidak melakukannya saat ini juga.

Ia merasakan sesuatu akan keluar dari dalam tubuh Arin, karena bagian itu berdenyut nyaris menjepit lidahnya yang masih berada di dalam sana. Cengkraman tangan Arin semakin keras ketika ledakan itu memenuhi rongga mulut dan langsung ditelan habis olehnya. Bibirnya sibuk mengecupi lembah cinta milik Arin dengan tangan mencengkram erat bokong bulat gadisnya. Karena ia tahu kaki gadis itu telah sangat lemas saat ini.

Pria itu mengeluarkan kepalanya dari balik bathrobe yang dikenakan Arin, kepalanya mendongak, menatap gadis yang terengah-engah setelah pelepasannya tadi. Senyum yang memang langka kembali terukir di bibir tipisnya melihat wajah kelelahan calon istrinya. Ia berdiri dan merengkuh tubuh langsing Arin dalam pelukannya. Mendekapnya erat, menciumi wajah dan puncak rambut gadis yang masih terengah-engah itu.

“Sayang, kan, aku sudah mandi, kenapa dibikin keluar lagi, sih?” keluhnya sembari membelai pungguh tegap milik Richard.

“Maaf, melihatmu seperti ini sungguh menggoda,” kekehnya.

“Ya sudah sana keluar, aku mau mandi!” usirnya pada Richard yang masih menyandar pada wastafel memandangi tubuh yang tertutup bathrobe itu.

“Aku mau lihat kamu mandi...” seringainya penuh arti.

“No! Sejak kapan kamu jadi mesum begini?” dengan berkacak pinggang langkahnya terus maju mendekati Richard.

“Sejak kamu mengancam awas kalau aku nggak perkasa,” jawabnya santai tanpa mempedulikan mata Arin yang sudah hampir melompat keluar saking kagetnya. Tidak menyangka bahwa kata-katanya itu akan jadi bomerang bagi dirinya sendiri.

Richard yang malas berdebat memilih meninggalkan gadis itu dalam kamar mandi, karena ia melihat bahwa Arin siap untuk berdebat saat membuka mulutnya. Dan hal itu adalah hal yang ia paling tidak suka dari gadis itu. Kalau dengan Jenny ia bisa berdebat hebat dengan argumennya, tapi entah mengapa dengan Arin ia merasa sangat malas. Bukan karena kemampuan berargumen yang dimilikinya, melainkan gadis itu terkadang keluar dari arah pembicaraan mereka saat berdebat. Dan bukan tidak mungkin kalau Arin akan membuatnya sakit kepala dengan mengungkit kejadian 8 tahun lalu.

Selesai mandi Arin menggunakan kemeja yang dipinjamkan Richard, walau ukurannya jelas kebesaran ditubuhnya namun cukup untuk menutup bagian tubuh terdalamnya. Tangannya sibuk mengganti-ganti channel TV yang sebenarnya tidak ingin ditonton. Tidak ada yang menarik batinnya. Kalau bukan karena Richard yang meninggalkannya sendirian di kamar karena ada rapat mendadak, ia tidak akan merasa bosan seperti ini. Hingga satu suara yang cukup ia kenali terdengar dari balik pintu menghilangkan kejenuhannya.

“Arin... Are you there?” suara yang halus itu sangat akrab di telinganya.

Ia berjalan menuju pintu kamar yang memang terkunci sedari tadi, bukan apa-apa. Hanya tidak ingin ada orang lain yang masuk dan melihatnya nyaris telanjang seperti ini. Kemeja Richard yang dikenakannya tidak cukup tebal untuk menutupi bagian tubuhnya, sehingga sekarang ia harus menggunakan bathrobe ketika membuka pintu.

Alisnya naik sebelah ketika melihat Anna dengan beberapa tas belanjaan di tangannya menerobos masuk ke dalam kamar tanpa permisi. Lebih tepatnya tanpa dipersilakan oleh Arin selaku pemilik kamar ini. Arin lebih memilih untuk mengikuti langkah Anna dan duduk pada sofa tepat berhadapan dengan wanita hamil itu.

Second WifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang