Chapter 2

508 19 0
                                    

Selama perjalanan kami tidak banyak bicara dan aku lebih memilih menyibukkan diri dengan laptopku. Memeriksa beberapa pekerjaan yang akan aku lakukan nanti setibanya di Tanah Air, dan Adit sibuk mendengarkan musik dari iPod nya. Sesekali ia melirikku, dan akupun menyadari lirikannya yang penuh arti.

“Kamu kalo mau nanya, tanya aja cumi” tanganku masih sibuk memeriksa email-email yang masuk.

“Aku heran aja, ya, kamu kok cepet banget baliknya? Biasa betah lama-lama,” kupicingkan mataku pada Adit yang kini melepas earphone dari telinganya dan berbalik menghadapku.

“Actually, I don’t know what happen. But, I feel there’are something happen,” ku tatap Adit yang sepertinya mau berbicara tapi diurungkannya sambil menggelengkan kepalanya.

“Ya sudah deh. Aku gantuk, nite Rin.” Adit menarik pembatas di antara tempat duduk kami, karena kami menaiki pesawat dengan fasilitas first class seperti biasanya. Walau ayah seorang pengusaha, kami tidak memiliki pesawat jet pribadi. Berbeda dengan sahabat ayah, Om Arya Wirajaya yang memiliki banyak perusahaan, hotel dan tentunya ke manapun Om Arya pergi selalu menggunakan pesawat jet pribadinya. Jadi ingat waktu menumpang pesawat jet pribadi Om Arya ketika bepergian ke Australia. Aku diajak tante Marry berlibur, walau aku merasa tidak nyaman karena mesin es batu itu ikut.

Dasar Arin. Masih inget aja sama mesin es batu itu. Pasti sekarang anaknya sudah banyak. Dia kan kelihatan liar walaupun pendiam.

Gumamku dalam hati sebelum akhirnya tertidur karena mengantuk akibat perjalanan yang begitu panjang dan melelahkan. Hingga akhirnya pagi telah tiba, ku buka penutup jendela pesawat yang ada di sisi kiriku. Karena aku sangat menyukai pemandangan dari udara, jadi aku selalu memilih untuk duduk dekat dengan jendela. Mataku menatap takjub saat melihat matahari yang berwarna jingga mulai menyinari langit. Dan kumpulan awan putih yang menyerupai tumpukan kapas, sungguh pemandangan yang indah.

“Aah... Akhirnya kita sampai juga ya Kareena Kaur. Capek duduk mulu dan transit,” Adit mengangkat kedua tangannya khas orang baru bangun tidur.

“Sudah dibilang jangan panggil begitu,” gerutuku sembari mengeluarkan tas dari cabin dan segera berjalan menyusuri lorong pesawat.

“Eeh, jangan tinggalin kali, Rin!” teriak Adit yang tidak kuhiraukan. Kurang lebih 1 jam aku menunggu bagasiku keluar, sebagian barang-barang memang telah aku kirimkan kembali beberapa hari sebelum keberangkatan. Karena aku tahu akan sangat sulit jika aku membawanya sekaligus. Kuikat rambut ikalku sebelum menaikkan tas ransel ke punggungku.

Kurogoh ponsel di saku ketika kurasakan getarannya dipaha, ku lihat sekilas nama yang muncul dilayar pemanggil sebelum mengangkatnya.

“Kak Fazlan yang jemput Arin?”

“Iya, kamu di mana?”

“Ini baru mau keluar sama Adit,” ku lirik Adit yang kerepotan membawa kopernya dan koperku.

Teman terbaik memang. Batinku.

“Kakak sudah di depan, Rin.”

Mataku mencari-cari sosok yang katanya sudah menunggu untuk menjemputku, dan akhirnya mataku tertuju pada satu titik. Segera kuputus sambungan telepon dari Kak Fazlan yang sudah kutemukan sosoknya. Ia berdiri di depan mobil SUV kesayangannya, dengan kaos putih dilapis kemeja flannel kotak-kotak sebagai outernya. Kakak terbaik memang, dan dialah orang yang selalu mendengarkan curhatku selain Ibu. Tentu saja sebelum ia menikah dan punya anak, karena sekarang ia sudah berkeluarga jadi jarang ada waktu untuk memperhatikanku.

“Kakak...” aku segera berlari dan menghambur kepelukannya. Sudah lama sekali kami tidak bertemu, kurang lebih selama kepergianku untuk melanjutkan S2 di New York. Pelukanku dibalasnya sembari dia mengusap-usap kepalaku.

“Wah, Arin masih manja, ya,” ia mencubit pipiku yang sedikit cubby sebelum akhirnya melepaskan pelukanku. Dia berjalan ke arah Adit untuk mengambil koper milikku yang sedari tadi berdiri mematung melihat pertemuan rindu antara kakak beradik Mahesa.

“Hey, Dit. Tumben pulang, biasa betah banget di US?” kak Fazlan sedikit tersenyum saat mengucapkan kalimat yang kutahu itu adalah sindiran untuk Adit.

“Hey, Kak, aah biasa tuh pulang. Kita aja Kak yang gak pernah ketemu.”

Aah... Adit ini jago banget emang berkelit.

Kak Fazlan dan Adit telah memasukkan semua barang bawaan kami ke dalam mobil, dan akhirnya kami meninggalkan bandara. Sepanjang perjalanan Adit banyak bercerita mengenai pekerjaan dan gadis-gadisnya tentu saja. Adit dan wanita itu ibarat perangko dan post card, sesuatu yang sulit untuk dipisahkan. Kak Fazlan menurunkan Adit lebih dulu di rumahnya yang hanya berjarak tiga rumah dari rumah kami. Sesampainya di rumah aku disambut pelukan tangan-tangan kecil di kakiku, yang kutahu siapa mereka. Keponakan kembarku Zenira dan Zehara yang saat ku tinggal pergi masih berusia 2 tahun.

“Hey... Yang mana Zenira dan Zehara, ya? Aunty lupa nih.” Godaku pada mereka yang langsung berebut untuk menyebutkan diri mereka. Karena mereka kembar identik, jadi sangat sulit untuk dibedakan jika kurang fokus.

“Zenira di sini, Aunty Ailin,” bahasa cadel khas anak kecil keluar dari bibir mungil gadis berambut ikal pendek dengan bando merah muda.

“Zehara di sini, Aunty Ailin,” gadis kecil yang lebih cubby dengan rambut ikal yang sedikit lebih panjang dengan jepit berwarna merah muda menarik tanganku. Mereka sangat lucu, terlebih lagi bahasa mereka yang masih cadel.

“Okay. Aunty tahu, kok. Yuk, ke dalam, sampairin Kakek sama Nenek.”

Tanganku tidak lepas dari genggaman tangan mungil mereka berdua saat berjalan memasuki rumah dengan arsitektur klasik ini.

“Arin...” Ibu langsung memelukku saat melihatku memasuki ruang keluarga. Dilepaskannya tubuhku dari pelukannya, ditatapnya wajahku dalam. Dan aku mulai sadar kalau tatapan Ibu kali ini sesuatu tampak sangat berbeda. Bukan tatapan rindu yang ku tangkap, walau aku tahu ada sedikit tatapan rindu itu. Namun yang lebih Ibu tunjukkan adalah tatapan cemas, khawatir dan menyesal. Hanya saja aku tidak berani menanyakannya, lebih baik aku diam untuk saat ini. Ku tatap Ayah yang sedang duduk menikmati sesuatu dalam cangkirnya, dan aku tahu itu pasti teh mawar kesukaannya.

“Ayah. Arin rindu sekali sama Ayah,” segera ku peluk Ayah yang masih memaku diri di sofa ruang keluarga. Kurasakan tangan besar Ayah sedang menepuk-nepuk punggungku, sesuatu yang sangat kurindukan ketika jauh dari mereka. Kehangatan keluarga dan kasih sayang mereka yang aku tahu tidak akan pernah mengkhianatiku.

“Gimana kabarnya, Dik?” kulirik arah suara dan sosok wanita yang sedang mengendong bayi laki-laki bertubuh gemuk.

“Kabar baik Kak Mai. Itu Zeidan ya? Wah montok banget,” aku segera menghampiri kakak ipar dan keponakan laki-laki yang lahir saat aku masih kuliah. Ku tatap wajah bayi laki-laki berumur 6 bulan itu, begitu gemuk dan menggemaskan rasanya ingin ku cubit pipi cubbynya.

Kulangkahkan kakiku menaiki anak tangga di sudut rangan menuju kamar tidurku yang berada di lantai 2. Kutarik pegangan pintu dan mendorongnnya pelan, karena jujur saja sudah lama sekali aku tidak pulang. Rasanya kepulanganku kali ini sungguh janggal dan aku tahu Ayah tidak pernah membelikanku tiket pulang sebelum aku memintanya.

Aaahhh...

Aku mendesah panjang sebelum menghempaskan tubuhku ke tempat tidur berukuran king size. Tanpa terasa aku mengantuk dan terlelap tanpa mengganti pakaian atau bebersih.

Second WifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang