Chapter 7

419 20 0
                                    

“Mommy mau lihat Arin pakai lehenga yang cantik-cantik seperti ini.”

Tangan Marry berhenti pada satu lehenga yang memang sangat cantik menurut Arin dan Ratna. Ibu dan Anak itu pun terpukau dengan gaun berwarna merah dengan aksen emas itu. Dan akhirnya mereka pun sepakat untuk menggunakan gaun itu untuk acara henna night.

“Akadnya Arin mau yang sederhana aja, Bu.”

“Seperti apa, Miss Arin?”

Designer dari gaun-gaun indah di tempat itu telah hadir dengan buku sketsa di tangannya. Kebetulan ini bukan pertemuan pertama mereka dengan Alizeh Kumar, seorang designer khusus pakaian India yang berkarier di Indonesia. Hasil karyanya pun sudah mendunia, dan semua itu benar-benar cantik.

“Alizeh, saya mau yang cantik seperti untuk acara Diwali waktu itu?”

Wah... Mommy mertua ini kenapa heboh benar, ya? Gue yang mau nikah aja biasa banget, eeh dia request macem-macem.

Arin bergumam dalam hati dengan senyum kecut melihat Marry yang tampak lebih antusias darinya. Beruntungnya Alizeh adalah orang yang rendah hati, jadi dia bisa dengan mudah menanggapi nyonya bule yang cerewet dan banyak maunya ini.

“Alizeh... Bisa tidak lehenga di sana colly nya tidak usah seksi, aku kurang nyaman kalau harus seksi seperti itu. You know what I mean?”

“Baiklah, berlengan dan perutnya jangan ditampakin kan maumu?”

“Exactly. You know me so well laa...”

“Sudah. Jadi untuk akadnya yang seperti apa?”

Ratna yang sedari tadi diam memperhatikan putri dan calon besannya akhirnya buka suara.

“Warna peach atau agak pink gitu ya, terus tidak usah lehenga, deh, untuk akad. Anarkali aja cukup, yang penting gue harus tetep cantik lho Ms. Lizeh. Kalo nggak awas aja, gue tumbangin tuh manekin satu-satu.”

“As always, Rin. Cantik, sih, cuma somplaknya tuh nggak pernah hilang. Kasihan aja Richard nikah sama kamu yang galaknya ampun-ampun gini.”

Alizeh adalah wanita yang masuk dalam jajaran sahabat Richard bersama dengan Rendra, Kenny, dan Miranda. Jadi Alizeh tahu benar seperti apa karakter Arin dan dia tahu itu semua tidak lebih dari candaan yang garing.

“Jaga sikapmu, Nak.”

Ratna memukul pelan tangan Arin yang sedang mengacungkan 2 jari ke matanya dan mata Alizeh. Marry yang melihat kelakuan calon menantu dan sahabat anaknya hanya bisa terkekeh.

Selesai dengan semua urusan gaun di boutique milik Alizeh, mereka bertolak menuju hotel sebuah resort tempat akan dilangsungkannya pesta resepsi. Di sana mereka sibuk mengatur apa-apa saja yang dibutuhkan dan diinginkan calon pengantin. Sebenarnya bukan calon pengantin yang menginginkannya. Tetapi kedua Nyonya yang sedang duduk di sisi Arin lah yang menginginkannya.

Rasanya tidak relevan untuk membuat sebuah pesta pernikahan yang wah saat tahu bahwa putrinya tidak lebih dari seorang istri kedua. Dan sangat tidak relevan sekali untuk terlihat sangat bahagia saat tahu ini adalah pernikahan kedua bagi putranya. Dua orang Nyonya yang sedang sibuk berbicara dengan Wedding Organizer ini memang sangat aneh.

Aah mereka berdua ini bukan aneh, tapi sungguh unik.

Arin yang sedari tadi hanya menjadi pendengar keinginan membara tentang sebuah pesta resepsi dari ibu dan calon mertuanya hanya berdecak kesal dalam hati. Kalau bisa teriak sudah pasti ia akan berteriak dari tadi.

Tapi memang dasarnya Arin ini cantik tapi polos, entah polos atau bodoh yang memang berbeda tipis. Pasrah saja harus menikah dengan pria beristri dan dingin seperti lemari es. Semua yang masuk ke kehidupannya akan membeku seperti dia.

Jam di tangan kirinya sudah menunjukkan pukul 4 sore, yang artinya cukup sekian untuk hari ini. Hari yang panjang dan melelahkan, lebih melelahkan daripada mendengarkan mata kuliah Management Business dari Ms. Smith yang terkenal menyeramkan itu. Sayup-sayup matanya mulai terpejam di dalam mobil SUV milik keluarga Wirajaya yang tengah melaju kencang di jalan menuju kediaman keluarga Mahesa Kaur.

Marry sudah menurunkan Ratna dan Arin yang sibuk berdadah ria pada calon mertuanya. Sedangkan Ratna hanya menggelengkan kepala melihat tingkah putrinya yang masih seperti anak kecil.

“Bu, nanti pas acara Dadi datang kan ya?”

“Kata Ayah kamu sih datang, nggak sejahat itu kali Dadi kamu untuk tidak hadir di hari bahagiamu.”

Ratna mengusap puncak kepala Arin, yang sedang memeluknya dengan menenggelamkan kepala pada pelukan hangatnya.

Bahagia gimana? Berasa di neraka yang ada Bu. Ibu nggak tahu aja sih kalo itu Richard gay, makanya bini yang atunya kagak punya anak. Disentuh aja kagak kali yee...

Arin tidak bisa membohongi perasaan gundahnya yang memang tidak bisa dia ungkapkan pada keluarganya. Keluarga yang seharusnya membuat perasaannya nyaman tapi justru menjerumuskan dirinya. Menikah dengan pria beristri terlebih lagi seorang gay bukanlah pilihan yang tepat.

Arin kini telah berada di kamarnya, tempat yang sama dan masih arah yang sama untuk ditatap. Ya! Langit-langit kamarnya yang tragisnya masih berwarna putih dengan lampu gantung kristal yang menghiasi bagian atas kamar tersebut.

“Sial!!! Demen banget ya gue natapin lo langit-langit. Nggak tahu apa lo kalo gue lagi sedih. Mau dikawinin tapi nggak bakalan diapa-apain. Kan gue juga pengen rasain itu yang enak kaya orang-orang.”

Umpatnya sesaat sebelum air matanya menetes membasahi pipi. Sebenarnya apa yang dia sedihkan dari pernikahannya dengan Richard? Jadi istri kedua kah? Pikiran orang lain tentang perebut suami orang kah? Tentang keluarganya yang tega kah? Atau karena selama pernikahannya dia tidak akan disentuh Richard?

“Sedih banget hidup gue, Pan. Coba lo bayangin deh jadi gue,” Arin diam sesaat sebelum dia menyambung kalimatnya.

“Lo juga kok diemin gue sih? Kasih solusi napa? Gue galau kali Pan, baru balik dari negeri orang cuma buat dikawinin sama laki orang. Parahnya dia gay pula. Hiks...”

Arin makin terisak memikirkan bahwa Richard adalah calon suaminya yang sudah beristri dan seorang gay. Mendapati bahwa Richard seorang gay rupanya menjadi pukulan keras bagi batin dan pikiran Arin. Hingga akhirnya ia mampu untuk mengendalikan emosinya dan berbicara kembali.

“Maafin gue, ya, Pan, sudah bentak-bentak lo. Gue nggak ada maksud bikin lo ngerasa gue sudah nggak sayang lo lagi. Entar kalo gue nikah lo tetep ikut ke manapun, bodo amat sama Richard Wirajaya itu.“

Arin masih sedikit terisak sembari memeluk boneka Panda kesayangannya. Boneka Panda tersebut merupakan kado ulang tahun yang pernah diberikan Richard padanya. “Panpan” itulah panggilan untuk boneka kesayangannya tersebut. Tempat ia berkeluh kesah selain pada Allah, Ibu, Dewi, Adit, Anna dan Rendi.

“Sudah yuk, Pan, kita bobo. Gue sudah ngantuk.”

Akhirnya Arin memejamkan mata sambil memeluk Panpan sebagai teman tidur. Walau sesekali masih terisak, namun memeluk Panpan bisa membuatnya tenang.

Second WifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang