Chapter 11

416 24 0
                                    

Di dalam mobil Richard kembali pada mode mesin es batu yang siap membuat Arin beku. Tapi sepertinya kali ini ia gagal untuk membekukan Arin yang tampaknya sangat panas dan marah. Bahkan gadis itu berani menggigit lengan kekar milik Richard, walau tidak berhasil membuat lelaki itu bereaksi.

“Maksudnya apa kamu bahas tentang pertunangan 10 tahun lalu? Toh kamu juga sudah memilih istrimu sendiri waktu itu. Dan lagi apa-apaan itu kamu bilang pada mereka tentang pernikahan kita?”

Ia membalikkan badan menghadap Richard dan menatapnya lekat. Pria itu hanya meliriknya sekilas dan kembali sibuk dengan tablet di tangan. Richard yang diam tanpa bereaksi, sukses membuat Arin semakin marah. Kali ini ia tidak melampiaskan marahnya seperti tadi, dengan menggigit lengan kekar Richard. Melainkan sesuatu yang tak terduga berhasil dilakukannya.

Tangannya meraih tablet yang sedari tadi menjadi perhatian Richard dan segera memposisikan diri untuk duduk di pangkuan pria itu. Bukan membelakanginya, melainkan menghadap dengan tangan yang merangkul leher tegas Richard.

Richard terbelalak melihat ekspresi kemarahan Arin kali ini, sesuatu yang berbeda dari sebelumnya. Ia menelan saliva saat wajah penuh emosi gadis itu berada begitu dekat dengannya. Panas napas Arin terasa di wajahnya dan membuat panas tubuhnya meningkat.

Arin membenarkan posisi duduknya, menekan benda di balik celana Richard yang telah mengeras. Mendekatkan wajah emosinya pada wajah Richard yang ditumbuhi rambut halus. Dikecupnya bibir tipis itu, bibir yang sudah menjadi candu baginya sejak 10 tahun lalu.

Namun bibir itu juga yang ia benci selama 8 tahun ini, karena bibir itu telah menjadi milik orang lain. Richard hanya memejamkan matanya menikmati kecupan-kecupan kecil yang diberikan Arin, gadis yang sangat dicintainya.

Napas mereka semakin berat seiringan dengan kecupan Arin yang sedari tadi didaratkan pada wajah kembali mendarat pada bibir tipis milik Richard. Kecupan-kecupan kecil yang berubah menjadi sebuah ciuman. Entah siapa yang memulai, tapi bibir Arin dan Richard telah mergantian mengecap satu sama lain.

Richard mengencangkan rengkuhan di pinggul Arin yang masih duduk di pangkuannya. Merasakan bagian bawahnya tertekan bokong besar milik calon istrinya. Ciuman mereka semakin panas dan berubah menjadi lumatan, bahkan kini saling membelit lidah bergantian.

Napas mereka tersengal saat melepaskan ciuman sesaat untuk mengambil napas yang nyaris habis. Mata Arin masih metampakkan kemarahan, berbeda dengan mata Richard yang terlihat sendu. Pria itu tahu bahwa gadis ini teramat marah padanya dan melampiaskan kemarahannya seperti tadi.

Mata mereka masih menatap satu sama lain, hingga akhirnya Richard bergerak untuk mengecup leher jenjang Arin. Kecupannya beralih menjadi isapan dan gigitan yang membuat gadis itu mengerang karena gairah. Tangannya tidak tinggal diam dan meraih rambut pria yang masih mengecup lehernya. Meremas gemas rambut Richard dan refleks menggerakkan pinggulnya di bawah sana.

Membuat Richard berhenti dari mengecup leher jenjang tunangannya karena mendesah sesaat. Ia merasa nyaris lepas kendali untuk menyetubuhi calon istrinya. Bibirnya kini kembali beraksi namun tidak pada leher jenjang Arin, kecupannya beralih pada dada besar yang sedikit terekspose. Tangan kanannya turun untuk membelai paha Arin karena gaun yang dikenakannya telah tersingkap.

Lenguhan Arin terdengar sangat merangsang pria dewasa yang memang belum pernah berhubungan seksual dengan wanita manapun. Termasuk istri yang telah dinikahinya selama 8 tahun, bukan karena dia gay seperti pemberitaan di luar sana. Melainkan karena dia sedang menunggu untuk disentuh gadis yang tengah duduk di pangkuannya saat ini.

“A--- aah...” Arin mendesah saat tangan besar Richard menyentuh celana dalamnya.

Kini ia tidak lagi berada di pangkuan Richard, melainkan terlentang pasrah di jok limosin mewah milik tunangannya. Matanya sendu menatap Richard, bukan tatapan marah seperti diawal. Melainkan tatapan yang dipenuhi kabut gairah yang sudah menjalar keseluruh tubuhnya.

“Ja-jangan di sini. Nanti sopirmu dengar,” rupanya kesadaran Arin mulai kembali saat pria itu telah memasukkan tangannya ke balik celana dalam berbahan lace yang dikenakannya.

“Mobil ini kedap suara, Sayang...” ucap Richard serak tidak peduli pada wajah memohon Arin.

Tangannya terus membelai bagian tubuh Arin yang tersembunyi di balik lace berwarna maroon itu. Senyumnya mengembang saat melihat gadisnya memejamkan mata dengan menggigit bibir bawahnya. Karena ia tahu benar bahwa gadis itu sedang diliputi gairah yang sama seperti apa yang ia rasakan.

Napasnya semakin tersengal ketika jari-jari besar itu membelai satu titik sensitif akan sentuhan. Desahan demi desahan lolos dari bibir tipisnya. Richard yang mendengarnya hanya bisa menggigit bibir, mencoba untuk menahan diri. Karena ia tidak ingin mengambilnya saat ini sebelum gadis itu sah menjali miliknya. Terlebih lagi di dalam mobil dan ada orang lain di depan sana sedang mengemudi.

“Sayang, a...” nada bicara Arin tercekat saat gairahnya semakin memuncak.

“Lepaskan, Sayang...” kata Richard yang kini membungkam mulut Arin yang sedari tadi terbuka seakan menantang lidahnya untuk menerobos masuk kemulutnya.

Ciuman mereka semakin panas seiring dengan tangan terampil Richard pada kulit basah di antara paha Arin. Lumatan-lumatan bibir mereka menghasilkan bunyi yang bersahutan dengan bunyi basah di bawah sana. Membuat mobil yang masih melaju dengan AC full itu hawanya menjadi panas. Bukan karena pendingin mobil yang rusak, tapi karena gairah kedua orang yang saling merindukan itu.

Richard melepaskan ciumannya untuk memgambil napas dan membiarkan gadis itu merasakan klimaks yang sudah dekat.

“Lepaskan, Sayang... Jangan ragu...”

Ucap Richard yang tengah mengecup dada Arin yang sedikit menyembul keluar dari gaunnya. Membuat Arin melenguh panjang saat mencapai klimaks dan dihadiahi kecupan di keningnya.

“Aku, ca--pek,” kata Arin yang kini telah duduk sembari memeluk Richard.

“Maaf, Sayang, harusnya aku bisa mengontrol diri,” Richard memeluk Arin dari belakang dan membenamkan wajahnya disela rambut panjang yang sudah berantakan.

“Harusnya aku tidak melampiaskan kemarahanku seperti tadi,” nada bicara menyesal keluar dari bibir tipis Arin.

“Aku bahagia artinya kamu sudah memaafkanku kan?”

“Belum,” jawab Arin singkat.

“Setelah apa yang kita perbuat tadi?” Richard menangkup wajah eksotik gadis yang masih tersengal setelah membersihkan tangannya.

“Kamu sudah menyentuh wanita lain juga, jadi tidak semudah itu.”

“Aku tidak pernah menyentuhnya. Kamu akan jadi yang pertama untukku.”

Ada ketulusan yang mengalir dari kalimat Richard pada Arin yang kini telah menyandarkan kepala di bahu bidang calon suaminya.

Richard menjawab panggilan dari intercom yang ia tahu dari sopir pribadinya. Ia berbicara sebentar sebelum memutus sambungan. Tangannya membantu merapikan rambut serta penampilan Arin yang berantakan. Membersihkan lipstick yang sudah sangat kacau dengan sapu tangan. Senyumnya mengembang saat melihat bibir yang tipis itu menjadi tebal juga kiss mark mengisi nyaris seluruh leher jenjang Arin.

“Kenapa tersenyum? Bisa juga ice maker machine senyum?” ia mengenakam kembali blazer yang tadi dilemparkan Richard sembarangan.

“Still I am a ice maker machine after we do something hot, Jaan?” tatapan menggoda itu nyaris membuat Arin lepas kendali lagi.

“Whatever,” jawabnya acuh.

Richard menggandeng tangan Arin saat turun dari mobil, dan membuat gadis itu nyaris berteriak senang. Karena pria yang dulu meninggalkannya, sebentar lagi akan kembali. Matanya menatap terpesona pada sesuatu yang ada di depannya. Bagunan kokoh dengan gaya mediterania seperti mansion impiannya selama ini.

“Mansion siapa ini?” tanyanya melirik ke arah Richard.

“Milik kita dan anak-anak kita nanti.”

Pria itu tersenyum puas saat melihat wajah terpesona milik Arin. Karena mansion ini memang dibuat khusus untuk mereka tempati setelah menikah, tapi semuanya tidak terealisasi karena kejadian 8 tahun lalu. Dan kali ini mansion ini akan benar-benar mereka tinggali.

Aku tidak sabar untuk mengisi rumah ini dengan suara lenguhan dan desahanmu, Sayang.

Ucap Richard dalam hati sembari melirik ke arah Arin yang masih digandengnya memasuki mansion mereka.

Second WifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang