Pernahkah kau merasa, bahwa eksistensimu di muka bumi ini tak sekadar menjalankan peran sebagai suatu substansi yang hanya datang, pergi, tergantikan, lalu dijemput ketiadaan makna semata?
Asa merasakannya. Panggilan semesta yang bergema di setiap peredaran tubuhnya. Panggilan untuk memenuhi makna namanya dengan benar: Asa Nabastala, harapan yang melangit di angkasa raya.
Sayangnya, Asa tak terlahir untuk mengangkasa begitu saja. Jejak kehidupan Asa sudah diguratkan untuk melalui berbagai halang rintang selama menuju puncak sana. Suatu perjalanan yang tak akan pernah usai sebelum buku kehidupannya sendiri yang berkata bahwa ini halaman terakhirnya.
Asa sudah tahu sejak awal, bahwa dirinya tidaklah memiliki jalan itu sepenuhnya. Asa tidak memiliki kendaraan yang bisa mengantarnya ke puncak sana, selain kedua kakinya sendiri. Karena itulah, Asa tidak akan pernah menyerah walau hanya jeda sesaat. Sekali saja kakinya berhenti melangkah, maka segalanya hanya berakhir sampai di sana. Itu pulalah yang selalu menjadi alasannya untuk tak pernah menyia-nyiakan segala kesempatan yang ada.
Jika bukan ia yang keras terhadap diri sendiri, maka jangan harap semesta akan bersikap lunak untuk mengasihaninya.
"Ada yang mau mengerjakan pembagian bilangan polinomial di depan ini?"
Jam pelajaran matematika minat telah berlalu setengah jalan. Begitu Pak Prana mengajukan tawaran favoritnya, jelas saja Asa langsung mengacungkan tangan. Namun, ada lima tangan lain yang juga terangkat kala itu. Tangan Iris, Mat, Alfis, Kiano, dan Bintang. Di depan sana, Pak Prana tertawa kecil seraya mengetuk-ngetukkan spidol pada papan tulis.
"Seperti biasa, anak-anak MIPA-1 semangat selalu, ya, meski hari mulai siang. Duh. Panas banget, padahal." Pak Prana malah santai mengibas-ngibaskan tangan ke depan muka. Entah panas apa yang ia maksud, entah itu merujuk pada cuaca di siang ini, atau malah persaingan antara golongan ambis di kelas XI MIPA-1 yang begitu sengit. Pantang kendor.
Lihat? Kalau Asa berhenti sesaat saja, ia akan tertinggal jauh sekali, beribu-ribu langkahnya. Di saat Asa terus mengangkat tangan seraya menegakkan badan supaya dapat terlihat lebih tinggi, panik, khawatir ia tak kebagian kuota soal, mengingat soal pembagian polinomial yang Pak Prana maksud hanya terdiri atas tiga anak pertanyaan, pria berusia tiga puluhan itu pun kembali angkat suara.
"Karena kelebihan sumber daya manusia, biar Bapak tambah soalnya jadi sepuluh, ya. Ayo, yang lainnya juga acungkan tangan!" Apa boleh buat? Mengajar di kelas unggulan ini memang selalu saja menambah-nambah pekerjaan baru, apalagi jika jumlah soal lebih sedikit dari jumlah peserta didik yang aktif dan ingin menjawab.
Keenam orang yang tadi mengangkat tangan, satu demi satu maju ke depan dan menyelesaikan soal dengan cepat. Papan tulis sampai dihapus berkali-kali karena tidak cukup untuk menampung semua pengerjaannya. Enam soal tuntas.
"Ayo, empat soal lagi? Acungkan tangan!"
Segala sesuatu harus ia jadikan kesempatan, begitulah prinsip selanjutnya yang selalu Asa pegang teguh. Tidak ada yang mengacungkan tangan lagi selain dirinya. Asa memasang tampang yang begitu bangga. Ya! Ini adalah salah satu langkah kakinya untuk menuju ke puncak sana ... dengan selalu aktif dalam setiap pembelajaran. "Asa, Pak!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Ambis Kronis!
Teen FictionAmbis itu keren abis! Yakin? Kalau ambis-nya udah kronis, gimana? Katanya, anak ambis itu selalu didekati teman sekelas karena banyak benefitnya. Akan tetapi, tidak berlaku pada Asa Nabastala. Kepribadiannya yang ambis dan egois membuat Asa tidak be...