Purnama menyiram rumah kecil itu dengan sinarnya yang paripurna, menciptakan bayangan sempurna dari kedua anak manusia yang tengah menghubungkan garis-garis gemintang dalam diam. Keduanya sama-sama terhanyut dalam semesta masing-masing hingga mengabaikan detik-detik yang menitik, maupun bundar rembulan yang kian meninggi di atas sana.
Iya. Keduanya adalah insan yang tak pernah bisa selaras. Jika Asa adalah utara, maka Alfis selatan-nya. Jika Asa adalah white hole, maka Alfis-lah black hole-nya. Selalu saja begitu. Kontradiksi, antitesis. Asa dan Alfis bagai dua garis berlanggaran yang selalu berseberangan jalan. Tidak pernah ada persimpangan yang bisa mempertemukan keduanya untuk saling beriringan.
Akan tetapi, di bawah naungan gemintang dengan berjuta kedip kisahnya, kali ini, Asa dan Alfis duduk bersisian. Pelita dan gulita itu berdampingan dalam spektrum warna yang sama. Bagaikan warna hitam dan putih yang hanya dipisahkan oleh sekat transparan hingga keduanya tak mempengaruhi satu sama lain. Atau bagaikan siang-malam yang berjalan sama-sama, beriringan, tanpa mengalahkan salah satunya untuk berkuasa.
Tak ada lagi yang bicara tentang persaingan, perdebatan, atau adu nilai semata. Suara kehidupan mereka seolah diredam malam ini. Tidak ada yang mau mengungkit permasalahan soal kecurangan siswa dalam ulangan, maupun saling berargumen untuk menentukan siapa yang lebih baik. Jika Venus dan Uranus memiliki gerak retrograde yang berlawanan dengan objek lain di sistem tata surya kita, maka perdamaian antara Asa dan Alfis ini merupakan gerak berlawanan dalam peredaran kehidupan keduanya yang biasa.
"Bintang yang tak terang ...." Kalimat lirih Alfis diiringi helaan napasnya. Udara menusuk di malam hari itu memasok paru-parunya, menghadirkan sepenggal kebebasan untuk meneruskan perkataan. "Iya. Itu aku, apalagi kalau dibandingkan sama Kak Naya. Magnitudoku jauh lebih besar, lebih redup. Tapi kamu tahu, kenapa aku enggak pernah merasa kesepian di antara langit kelam?"
Senyap sejenak. Angin malam yang menerobos lewat celah-celah jendela memainkan rambut panjang Asa yang terurai, senada dengan partitur musik yang diembuskan udara. Manik cokelat terang itu tak kunjung melepaskan cengkeramannya pada salah satu bintang yang tampak bersinar paling terang di atas sana. Asa tak membiarkan dirinya berkelana begitu jauh dalam pikiran. Ada jawaban yang tak kunjung ia dapatkan. "Kenapa?"
"Menurutmu ... apakah bintang-bintang itu merasa kesepian?" Alfis mendongakkan kepala, dengan kedua tangan yang menopang badan di kedua sisi tubuhnya. Tak lagi menunggu Asa menyahut, Alfis sudah lebih dulu menimpali, "Aku tidak. Aku ditemani oleh bintang lainnya di rasi bintang yang kutempati, aku juga berteman dengan benda langit lain, seperti planet, komet, asteroid ... walau terentang ribuan tahun cahaya, aku tetap tidak sendiri. Dan mereka itulah yang kubilang sahabat, anak-anak MaFiKiBi Society."
Tunggu ... Asa mengerjap lambat-lambat. Kenapa pembicaraannya jadi ke arah sana? Teman dan kesepian, dua hal yang entah kenapa terdengar cukup sensitif di telinga Asa. Karena label dari orang-orang—sebenarnya Prima saja yang bilang—bahwa dirinya benar-benar sendirian? Atau malah Asa sendiri yang terus menyangkal bahwa dirinya tak pernah membutuhkan seorang teman?
KAMU SEDANG MEMBACA
Ambis Kronis!
Teen FictionAmbis itu keren abis! Yakin? Kalau ambis-nya udah kronis, gimana? Katanya, anak ambis itu selalu didekati teman sekelas karena banyak benefitnya. Akan tetapi, tidak berlaku pada Asa Nabastala. Kepribadiannya yang ambis dan egois membuat Asa tidak be...