17. Juang yang Hilang

108 31 4
                                    

Katanya, habis gelap, terbitlah terang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Katanya, habis gelap, terbitlah terang. Sebagaimana terjadinya siang-malam di planet kita yang disebabkan gerak rotasi Bumi ... sehabis kelam malam, terbitlah terang siang mentari.

Asa kira, jika kemarin saat ia hujan-hujanan itu merupakan hari tersuram dalam satu pekan, maka hari ini akan menjadi satuan waktu yang cerah. Dengan kata lain, Asa kira, setelah berbagai hal kurang baik yang dialaminya di hari Senin, di Selasa ini akan jadi hari yang lebih baik lagi!

Akan tetapi, fajar di hari-harinya tak kunjung datang menghampiri. Asa salah duga. Ternyata, yang dilaluinya kemarin belumlah sampai pada puncak malam, sebab di Selasa ini ... Asa justru mendapati bahwa dunianya jauh lebih gelap dan gelap. Semua itu berawal ketika Asa tengah menyongsong hari dengan semangat seperti biasa. Pagi-pagi sekali, anak perempuan itu sudah mengisi bangku baris kedua dari depan, tepat di belakang bangkunya Mat.

Amboi. Sungguh sibuk sekali anak itu. Bolak-balik YouTube, membuka channel Crash Course Astronomy yang berbahasa Inggris, mencermati soal-soal TOASTI—Tim Olimpiade Astronomi Indonesia—dan kembali mengerjakan latihan soal dari olimpiade tahun-tahun sebelumnya yang sebenarnya sudah Asa tuntaskan sejak dulu. Tidak ada salahnya mengulang-ulang latihan soal agar dirinya memiliki hubungan lebih mendalam lagi dengan astronomi, 'kan?

Iya! Asa percaya itu. Dengan frekuensi pertemuan yang begitu sering, Asa harap dapat bersahabat dekat dengan astronomi. Sehingga ketika tiba waktunya pelaksanaan OSN nanti, astronomi tidak akan berperan sebagai musuh, dan Asa tidak mengikuti olimpiade untuk sekadar menaklukkannya. Asa dan astronomi akan berhadapan sebagai kawan. Bukankah itu terdengar jauh lebih menyenangkan?

Di saat tangan kanannya asyik sekali mengecek hasil perhitungan fokus objektif suatu teleskop dan mencocokkannya dengan jawaban, meja Asa bergetar karena ditendang seseorang yang baru saja datang. Tanpa sempat mencerna segalanya, kerah Asa sudah ditarik Prima untuk berdiri menghadapnya. "Aku peringatkan terakhir kali. Jangan pernah sok ngadu lagi ke guru mana pun."

Bisikan itu penuh akan intimidasi sekaligus napas tak beraturan karena kesulitan mengendalikan emosi yang terasa menggebu-gebu. Prima tak berniat mengendurkan cengkeramannya sama sekali. Amarahnya tidak bisa mereda karena tatapan Asa yang sama-sama menyorotkan keteguhan. Asa tampak tidak terpengaruh sedikit pun.

Prima tambah kesal. Di kelas XI MIPA-1 baru tiba segelintir siswa. Itu pun tidak ada yang berani menegur keduanya. Mat yang anak OSIS sedang piket di gerbang untuk memastikan setiap siswa memasuki kawasan sekolah tanpa melanggar peraturan.

Kesempatan yang begitu tepat bagi Prima. Dikencangkannya cengkeraman itu pada kerah Asa. "Jangan sok, dan jangan usik hidupku. Aku enggak pernah masalahin kamu yang rebut jawaban orang, jadi enggak usah ngadu pas aku enggak merugikan kamu. Paham?"

"Nyontek itu hal berbeda. Itu tindakan curang. Aku enggak bisa diam aja." Bukannya merasa terancam dan mengiakan saja perkataan Prima, Asa malah balas melotot tak terima. Asa tak pernah goyah. Begitulah suara dari kenyataan. "Aku enggak suka kecurangan. Nyontek hanya untuk anak yang tidak percaya diri pada proses belajarnya sendiri. Jika seandainya kamu enggak bisa mengerjakan dengan baik, bisa tolong hargai usaha orang lain dengan tidak menyontek?"

"Buat apa? Apakah dengan menghargai usahamu, kamu bakalan menghargaiku juga?" Prima terkekeh getir, lantas emosinya langsung meledak. "Aku yang dimarahin Papa! Bisa enggak, sih, diam aja? Dasar, cupu. Cuma bisa cepu!"

Cengkeraman di kerah Asa seketika berubah haluan. Prima menjambak rambut panjang Asa yang diikat. Susah payah, Asa menjauhkan tangan itu dari kepalanya. Demi mendengar teriakan Prima barusan, Alfis melangkah cepat di koridor, bergegas memasuki kelasnya. Sesuatu yang buruk pasti telah terjadi.

Benar saja. Di dekat bangkunya, kini Asa tak mau tinggal diam, mulai balas menjambak rambut Prima yang diurai. "Salah kamu sendiri. Jelas-jelas nyontek itu tercela. Dimarahi itu risikomu!"

"Hentikan, kalian!" Alfis menghampiri, langsung memisahkan kedua anak perempuan yang tengah baku hantam itu. Alfis menciptakan jarak antara Asa dan Prima dengan merentangkan kedua tangannya agar kedua anak itu diam di posisi masing-masing, tidak saling melancarkan serangan lagi.

Asa dan Prima tak bisa menjangkau satu sama lain. Akan tetapi, amarah itu masih saja membuncah. Napas keduanya terengah-engah. Tidak ada satu pun yang mau mengalah. Di dekat bangkunya, Asa tampak berantakan sekali, dengan ikatan yang tak sanggup menahan sebagain rambutnya yang dijambak Prima. Di bagian depan kelas, berdirilah Prima yang tak kalah kacaunya, dengan rambut kusut dan pipi berdenyut nyeri karena terkena tonjokan Asa.

Tak mau peperangan ini berakhir begitu saja, Asa kembali berteriak, "Hargai usaha orang lain! Enggak cuma ekspektasi orang tua yang mereka pertaruhkan, tapi juga seluruh hidup mereka! Tindakan curangmu bisa membuat anak lain berpikiran untuk menghalalkan segala cara dan mengorbankan kejujuran mereka!"

"Asa, udah aku bilang buat enggak mengungkit itu lagi, 'kan? Kamu enggak dirugikan."

Mendapati malah Alfis yang menjawab, lekas saja Asa kembali menyembur, "Apa! Ini soal prinsip!"

Di saat Alfis masih lengah karena mencoba mendinginkan kepala Asa, anak perempuan di depan kelas itu merangsek maju ke arah Asa. Prima memanfaatkan celah yang ada dengan menghalau punggung Alfis. Tak perlu waktu lama, Prima sudah sampai ke bangku Asa. Namun, tujuannya bukan untuk meneruskan perang jambakan atau membalas tonjokan Asa, melainkan untuk meraih sebuah buku yang terbuka di atas meja.

"Persetan soal prinsip. Omong kosong! Enggak akan pernah ada yang mau paham aku!" Detik berikutnya, tangan itu menyobek buku astronomi Asa. Sekali, dua kali, sobek hingga nyaris tak berbentuk.

Di posisinya, Asa tenggelam dalam pikiran. Semua yang terjadi di hadapannya ini terasa bagai video slow motion. Asa melihat bukunya disobek di depan mata, tetapi setiap sendi geraknya seakan terkunci di tempat begitu saja. Bahkan suaranya pun menolak keluar. Asa tidak bisa apa-apa dalam waktu yang cukup lama. Lima detik. Sepuluh detik.

Alfis tersentak ketika menyadari bahwa Asa tak lagi berontak untuk menyelamatkan buku astronominya. Alfis bisa langsung tahu bahwa yang disobek itu buku astronomi karena ia sempat melihat sampul catatan yang digunakan Asa untuk pembinaan bersama Kak Daniel, juga materi fotometri yang sempat Alfis tangkap dari sobekan Prima. Kenapa Asa malah diam saja?

Detik berikutnya, Alfis langsung menahan pergelangan tangan Prima. Kencang sekali. Anak perempuan itu sampai kesulitan meneruskan aksinya. "Kembalikan. Ini udah keterlaluan, Prima."

Sebal karena pergerakannya dikunci begitu saja, Prima pun mengempaskan kertas-kertas tersisa di tangannya dengan berang. "Persetan soal semua prinsip dan metode ambis-mu, Asa! Kamu enggak pernah memikirkan siapa pun. Hidupmu hanya tentang dirimu sendiri. Sekarang, mau sok nyuruh aku buat menghargai usahamu? Oh, iya. Buku itu juga usahamu, kan, ya? Ups ...."

Prima kembali mengoceh panjang. Alfis tak sempat menghentikan. Anak laki-laki itu jauh lebih memprioritaskan buku astronomi Asa. Dengan cepat, Alfis mengumpulkan sobekan kertas-kertas yang berhamburan di lantai. Tergesa sekali. Ia ingin segera menuntaskan pekerjaan ini sebelum peperangan di antara Asa dan Prima kembali meletus. Akan tetapi, kalimat yang diteriakkan Asa sekencang-kencangnya—bahkan mungkin terdengar hingga ke seluruh penjuru Persatas—sukses membuat Alfis tertegun di tempat.

"Kalian enggak tahu perjuangan aku di balik sebuah buku yang menurut kalian enggak lebih dari sampah ... kalian enggak akan pernah tahu ataupun mau tahu!"

[   π    β    ¢   ]

[   π    β    ¢   ]

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Ambis Kronis!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang