"Apa benar kamu menyontek, Prima?"
Sebuah pertanyaan yang dilontarkan Pak Prana itu bagaikan black hole yang menyerap keseluruhan suara sekecil apa pun yang ada di ruang kelas. Mulai dari suara kaki salah satu anak yang diketuk-ketukkan ke penyangga meja dalam ritme cepat, sampai gumaman keresahan yang mengudara di sana-sini.
Semua pergerakan kehidupan di dalam kelas itu seolah lenyap begitu saja. Hanya menyisakan senyap juga ketukan sepatu Pak Prana yang menghampiri bangku Prima dengan kecepatan konstan. "Apa benar?"
"Tidak, Pak!" Oh, sial. Prima kalang kabut menyelipkan telepon genggamnya ke dalam seragam PSAS yang panjangnya melebihi pergelangan tangan Prima. Tidak menutupi seluruhnya, tetapi ketika telapak tangan Prima berbalik hingga hanya menampakkan bagian punggung tangannya, ponsel itu jadi tidak terlihat begitu mencolok.
Seluruh pasang mata dalam kelas XI MIPA-1 sempurna terarah pada bangku paling kiri di barisan kedua dari depan. Pak Prana berdeham. "Bisa perlihatkan apa yang kamu sembunyikan di balik lengan bajumu itu?"
Percuma. Tidak ada gunanya mengelak sekeras apa pun. Prima berdecak kesal. Bisa saja dirinya kembali menyangkal dengan berkata bahwa telepon genggam yang dinyalakannya tidak bisa menjadi bukti kuat untuk menyatakan Prima benar-benar menyontek. Sempat terlintas berbagai alasan seperti ... 'Aku ada kepentingan, Pak. Aku buka WhatsApp aja, kok, buat kabarin Mama'.
Akan tetapi, Prima tahu bahwa semua itu hanya akan berakhir sebagai suatu kesia-siaan. Sudut mata Prima mendelik ke arah daun pintu yang menutup. Dari suara percakapan di koridor kelas yang nyaris tak terdengar itu membuat Prima yakin sepenuhnya. Asa Nabastala, pasti anak itulah yang selalu melancarkan aksi sok pahlawan seperti ini.
Sejak tadi, Pak Prana lama sekali berdiam diri di kursinya, belum berkeliling kelas untuk mengontrol berjalannya ulangan dadakan hari ini. Jika memang aksinya sudah kelihatan guru itu sedari tadi, kenapa Pak Prana baru menegurnya sekarang, persis setelah Asa menyelesaikan pekerjaannya dan keluar kelas lebih dulu?
Asa Nabastala ... sejak pertama kali bertemu dengan anak perempuan itu di kelas sepuluh, Prima tahu bahwa keduanya tidak akan pernah merasa cocok satu sama lain. Sejujurnya, Prima memang memiliki suatu alergi tertentu terhadap anak-anak ambis yang dicap sok paling benar. Selama ini, satu-satunya anak ambis yang ia hargai adalah Mat.
Prima pernah menciptakan perseteruan besar dengan Bintang, sewaktu kelas sepuluh. Akan tetapi, jika dibandingkan dengan pribadi Asa yang cenderung apatis, egois, dan selalu berlaku seenaknya, bagi Prima, Asa jauh berkali-kali lipat lebih menjengkelkan daripada Bintang.
"Bapak tidak akan memeriksa ponselmu. Itu privasi. Bapak cuma minta kamu menyimpannya di tas, lalu kerjakan kembali ulangan itu. Bapak tidak akan menghukum. Hanya saja, jangan kaget kalau Bapak melapor pada ayahmu. Bagaimanapun, wali siswa berhak mengetahui setiap aktivitas dan perkembangan putra-putrinya selama di sekolah. Bapak, sebagai wali kelas, bertanggung jawab penuh atas itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ambis Kronis!
Teen FictionAmbis itu keren abis! Yakin? Kalau ambis-nya udah kronis, gimana? Katanya, anak ambis itu selalu didekati teman sekelas karena banyak benefitnya. Akan tetapi, tidak berlaku pada Asa Nabastala. Kepribadiannya yang ambis dan egois membuat Asa tidak be...