10. Melodi Sepi Menepi

151 45 47
                                    

Tidak ada satu patah pun kata yang keluar dari bibir pucat Ola selain maaf

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tidak ada satu patah pun kata yang keluar dari bibir pucat Ola selain maaf. Di matanya, tatapan setiap orang seolah tengah menusuknya tanpa ampun. Ya. Tatapan orang-orang terasa lain, layaknya memandangi makhluk paling menjijikkan yang pernah ada. Ola ... merasa takut. Dunia seakan hendak melahapnya bulat-bulat.

Sudahlah. Tidak ada yang bisa diubah. Nilainya akan dikurangi Bu Rika. Itu sepertinya sudah menjadi ketentuan mutlak tak terbahasa. Toh memang salah Ola sendiri, kenapa tidak mendalami materi walau di luar yang Asa sisipkan ke dalam power point. Ola kira, semua jawaban akan tersedia di sana. Ola terlalu menggampangkan pekerjaan, mentang-mentang ada Asa di kelompoknya.

Kelima anak perempuan yang tengah berbaris rapi di depan kelas itu kini kembali ke bangkunya masing-masing dengan kepala tertunduk, kecuali Asa. Ternyata, satu kelompok dengan orang ter-ambis sekalipun tidak akan membuat segalanya langsung menjadi serba-mudah. Mereka memang senang karena Asa yang gerak cepat membuat kelompok mereka bisa tampil pertama, tetapi kesalahan tetaplah kesalahan.

Begitu kembali ke bangkunya, barulah Asa menyadari sesuatu. Selagi ia ke depan dan meninggalkan kursinya yang jadi kosong, Alfis menempati tempat duduknya tanpa alasan. Kini, Asa berusaha mengusirnya seraya menggerutu dalam hati. Yang tadi itu ... semuanya gara-gara dia! Badak Galak! "Awas! Aku mau duduk!"

Alfis bangkit dari duduknya, tetapi tak berniat untuk beranjak dari posisinya saat ini. Anak laki-laki itu menangkap pergelangan tangan Asa yang rempong mendorong-dorong bahu Alfis untuk segera menjauh dari sekitarnya.

Tatapan netra hitam legam Alfis yang tajam itu tak melunak sedikit pun. "Kamu sadar, enggak, sih? Ola dimarahi, jadi korban kamu hari ini. Kenapa? Padahal kamu yang enggak ngasih kesempatan, kenapa orang-orang jadi lihat dia kayak orang jahatnya? Coba aja kalau kamu bagi-bagi tugas ke yang lain buat cari materi sendiri, terus kamu yang rangkum. Ini namanya kerja kelompok, tahu. Enggak paham, ya?"

Rahang Asa mengeras. Apa katanya? "Suruh yang lain kerja walau cuma searching materi? Itu memakan waktu yang lebih lama! Kalau gitu caranya, aku jadi harus kasih waktu ke mereka, enggak mungkin deadline-nya sebelum pulang sekolah, 'kan? Tanpa aku yang bikin power point, kelompok aku enggak akan maju dan tampil pertama hari ini!"

"Maju dan tampil hari ini? Itu maunya siapa? Apakah teman satu kelompokmu juga benar-benar menginginkan hal itu?" Alfis melepas cengkeramannya pada Asa yang mulai sedikit tenang. "Kamu enggak tahu, Sa. Enggak semua orang se-ambis kamu. Mereka punya prinsip dan sudut pandang yang berbeda. Tapi yang pasti, mereka harus menguasai materi. Kenapa Bu Rika memberi tugas presentasi? Biar semua siswa bisa mempelajari dan memahami sendiri."

Meski kesal setengah mati, Asa hanya mengepalkan tangan dan membiarkan Alfis kembali mengoceh seenaknya.

"Kamu tahu esensi kerja kelompok, enggak, sih? Bukan tanpa alasan. Kerja kelompok bisa melatih leadership, tanggung jawab, kebersamaan, profesionalitas, komunikasi, kemampuan decision maker yang bisa disepakati semua anggota, juga saling memahami satu sama lain. Enggak semuanya bisa didapatkan dari tugas yang hanya dikerjakan sendirian. Tugas ini emang bukan sekadar dapat power point, presentasi, terus udah. Ada banyak hal yang bisa kamu dapat dari tugas kelompok."

Ambis Kronis!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang