Benar saja apa yang dikatakan Alfis. Untuk memperbaiki hubungan, Asa tidak boleh menunda-nunda dan membiarkan masalahnya jadi bertambah besar lebih dulu. Kalau memang ingin memperbaiki segalanya, maka mulai dari saat itu juga. Cukup berat bagi seorang Asa yang memiliki gengsi dan harga diri tinggi untuk mengakui kesalahannya. Akan tetapi, Asa menyadari bahwa ia tak ingin guratan kisah hidupnya malah berlanggaran dengan garis edar kehidupan orang lain.
Asa berhasil mengalahkan egonya untuk meminta maaf terlebih dahulu pada teman sekelasnya, di hari terakhir Persatas Day. Kala itu, Asa belum bisa tenang. Resah-resahnya masih asyik berkuasa. Akankah jalan yang ia ambil ini bisa menjanjinkan kehidupan yang lebih baik lagi? Iya. Asa sering kali termenung di persimpangan, memikirkan akan seperti apa jadinya jika ia mengambil jalan yang satunya.
Meski begitu, Asa tak pernah menyesal telah memilih untuk mengalahkan gengsi dan memutuskan untuk meminta maaf. Semalam, ketika Asa memimpin jalannya belajar bersama via Zoom, Asa dapat melihat dunia teman sekelasnya yang kini terbuka lebar bagi Asa. Asa tak lagi berperan sebagai patogen asing yang eksistensinya tidak diinginkan kehidupan. Kini, Asa bisa menembus membran semesta teman lainnya.
Dua hari berlalu lagi dengan Asa yang tambah dekat dengan teman sekelasnya. Setiap kali ada jam kosong ataupun istirahat, Asa bersama Iris dan anak MaFiKiBi bergantian memimpin proses belajar bersama di dalam kelas. Mereka sepakat untuk membekal nasi dari rumah agar tidak perlu jajan ke Kantin Mang Dod atau Bi Ita di waktu istirahat. Dengan begitu, mereka bisa menikmati makan siang sembari memperdalam materi bersama-sama.
Selepas permohonan maaf Asa, kelas XI MIPA-1 berkembang jadi lebih aktif dari sebelumnya. Efek ini sangat terasa setelah diberlakukannya kontrak yang Asa rencanakan sejak berakhirnya Persatas Day. Tak heran, tenaga pendidik yang hendak mengajar di kelas pun jadi semangat karena kesenjangan antara golongan yang aktif dan tidak aktif itu tiba-tiba saja menjadi baur, tak lagi ada sekat antara si ambis dan si santai. Semuanya serempak mengikuti pembelajaran dengan aktif, walau satu-dua masih ngang-ngong-ngang-ngong ketika ditunjuk.
Sejak hubungan Asa dengan teman sekelasnya yang membaik pada hari Senin, waktu jadi berlalu lebih cepat lagi bagi Asa. Setiap kali selesai membahas suatu materi di Zoom meeting, tiba-tiba saja Asa merasa tak sabar untuk lekas-lekas dijemput pagi dan bisa bertemu lagi dengan kawan-kawan di ruang kelas.
Hari Kamis, Asa berangkat pagi-pagi sekali. Keadaan jalanan masih cukup sepi, dan angkotnya pun tidak mengetem terlalu lama. Asa tiba di sekolah sebelum pukul tujuh kurang seperempat. Hari ini memang jadwalnya untuk piket jaga gerbang. "Pagi. Pagi. Pagi ...." Asa terus menyapa setiap siswa yang memasuki gerbang dengan senyuman terkembang. Ini memang sudah menjadi standard operating procedure yang berlaku di kalangan anak OSIS.
Akan tetapi, kali ini, Asa lebih senang melakukannya karena setiap kali teman sekelas Asa lewat, mereka akan melambaikan tangan dengan heboh dari kejauhan. "Pagi, Asa!" Begitulah sapaan balik temannya yang tampak sangat hangat dan semangat. Demi mendengarnya, mood asa jadi tambah membaik saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ambis Kronis!
Teen FictionAmbis itu keren abis! Yakin? Kalau ambis-nya udah kronis, gimana? Katanya, anak ambis itu selalu didekati teman sekelas karena banyak benefitnya. Akan tetapi, tidak berlaku pada Asa Nabastala. Kepribadiannya yang ambis dan egois membuat Asa tidak be...