"Kak Nay, Kak Nay! Bumi kan bulat, ya. Mengalami gerak rotasi dan revolusi dalam suatu periode." Anak laki-laki berusia sembilan tahun yang sudah berkacamata itu antusias sekali menarik-narik lengan kakak perempuannya.
Naya yang sedang mengerjakan tugas sekolahnya pun balas menatap adiknya, lantas mengangguk-angguk kecil, mengisyaratkan Alfis untuk meneruskan kalimatnya.
"Nah! Pertanyaannya ... kenapa lautan di bumi enggak tumpah ke luar angkasa, Kak Nay? Oh, oh! Orbit planet juga ... kok planet-planet pada patuh, sih? Enggak melanggar garis edar?"
Demi mendapati binar penasaran dari kedua manik hitam legam adiknya yang memang selalu ingin tahu itu, Naya pun mengulas senyuman lebar. Sejenak, ditutupnya buku yang sedang ditulisi. Perhatian Naya sepenuhnya tertuju pada Alfis. "Pertanyaannya bagus! Ini materi fisika dasar, lho, Fis."
Detik berikutnya, Alfis tenggelam dalam penjelasan Naya yang disampaikan dengan lembut dan menggunakan analogi-analogi dari hal-hal kesukaan Alfis yang membuat anak laki-laki itu tambah penasaran. Matanya serasa tak mau berkedip sama sekali. Cara penyampaian Kak Nay memang yang terbaik, Alfis seakan tengah menonton film dalam imajinasi yang dibangun oleh penjelasan Kak Naya.
Inilah salah satu momen terbaik yang membuat Alfis jatuh hati pada Fisika. Kalau sudah mendengar Kak Naya menceritakan alam semesta dan seisinya, kata demi kata dari kamus kehidupan Alfis jadi raib seketika. Hilang. Semuanya hanya menyisakan gumaman kagum dengan bibir tipis yang lupa caranya dikatupkan. Tampang anak laki-laki itu masih begitu polos dan dipenuhi binar antusias untuk mempelajari banyak hal.
Hanya saja, penjelajahan Alfis di semesta imajinasinya terpaksa berhenti ketika mendengar suara pagar rumah yang dibuka dari luar. Alfis langsung mengintip ke jendela, lantas menatap kakak perempuannya dengan sorot panik. Iya. Manik hitam legam itu terlihat meminta pertolongan. "Kak Nay, aku maunya belajar sama Kak Naya. Enggak mau sama Papa ... pukulan Papa kemarin aja masih sakit."
Lagi-lagi begitu. Semangat Naya untuk berbagi lebih banyak pada adik laki-lakinya itu seketika pudar dan digantikan kekosongan. Situasi semacam ini ... Naya benci setengah mati. Benci ketika mendapati tatapan lugu yang mengharapkan bantuannya, tetapi Naya malah dihantam kesadaran bahwa dirinya tak bisa melakukan apa-apa. Naya juga terperangkap dalam suatu ketidakberdayaan tak berkesudahan. Bedanya, Naya tak tahu harus menggantungkan keresahannya pada siapa.
Naya tidak pernah menginginkan semua ini. Naya marah dengan segala hal yang terjadi pada keluarganya, tetapi Naya lebih marah lagi ketika menyadari bahwa dirinya tidak bisa memasang badan untuk melindungi adik kecilnya yang dipukuli sana-sini. Naya tak berdaya. Begitulah yang dikatakan semesta. Hingga perlahan, garis pembatas itu benar-benar menjadi dinding tinggi yang merenggut satu-satunya kehidupan Naya dari dekapan.
Alfis tak lagi tergapai. Tak ada lagi ruang yang bisa ia anggap sebagai rumah untuk pulang.
"Kakak ini baru pulang, Saka. Jangan dulu tanya ini-itu." Alfis tersadar dari lamunan begitu mendengar teguran Ibu yang masih berdiri di depan bingkai pintu dengan berkacak pinggang. Matanya memelototi laki-laki kecil dengan kaus kumal dan kaki yang tampak kotor oleh tanah juga cipratan lumpur yang tidak sempat dibersihkan. "Kamu juga, dari tadi main terus. Kotor sekali ... cepat mandi!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Ambis Kronis!
Teen FictionAmbis itu keren abis! Yakin? Kalau ambis-nya udah kronis, gimana? Katanya, anak ambis itu selalu didekati teman sekelas karena banyak benefitnya. Akan tetapi, tidak berlaku pada Asa Nabastala. Kepribadiannya yang ambis dan egois membuat Asa tidak be...