Dua minggu berlalu lagi tanpa merasa perlu menunggu langkah kaki anak manusia yang tertatih-tatih mengguratkan kisah. Menjemput hari baru seraya meninggalkan hari yang lama, begitulah rotasi kehidupan yang tidak memberikan jeda untuk sekadar bertegur sapa dengan ketiadaan.
Dua minggu ini, anak kelas XI MIPA-1 tak lagi belajar bersama di Zoom meeting maupun di kelas secara offline. Usaha mereka sudah dimaksimalkan sebelum H-2. Setelah melalui ujian akhir semester dua, barulah mereka bisa menghela napas lega, rebahan hingga sepuasnya. Meski begitu, setiap siswa Persatas masih harus datang ke sekolah di hari Jumat ini.
Kegiatan belajar mengajar memang belum efektif lagi, sudah menjelang pekan liburan, malah. Yang diwajibkan ke sekolah hanyalah anak yang remedial untuk perbaikan nilai, maupun yang hendak mengikuti ulangan susulan. Oh, sebenarnya, sebagian besar siswa masuk sekolah karena ingin menikmati detik-detik jam kosong sebelum liburan. Asa sendiri sengaja hadir untuk menjaga presensinya dari noda catatan hitam. Demi menjaga kesucian daftar hadir!
Asa melangkah di koridor kelas dengan senyuman yang terkembang lebar. Langkahnya ringan sekali, seolah tengah menari-nari di atas awan. Asa tak punya beban hidup saat ini. Dan lagi, Jumat pagi ini memang terlalu cerah untuk ia habiskan dengan bermuram durja tanpa alasan.
"Asaaa!" Baru menginjakkan kaki di dalam kelas, Prima sudah berhambur ke arahnya, lantas meloncat-loncat kegirangan sambil menggenggam pergelangan tangan Asa agar ikut hiperaktif. "Tahu, enggak? Tahu, enggak? Aaaa, akhirnya!"
Bukannya bersikap kalem untuk sejenak, kini Prima malah berputar-putar tidak jelas, masih dengan tangan tertaut dengan Asa, membuat rok abu keduanya terkembang bagai rok-rok putri kerajaan di film Princess. "Enggak ... enggak, Prim! Tahu apa? Tapi sebelumnya, udahan dulu, dong, muternya! Pusing aku!"
Ketika Prima menghentikan aksinya, Asa langsung oleng dan nyaris terjatuh kalau saja tidak refleks berpegangan pada bingkai pintu. Asa menggelengkan kepala untuk mengusir pusing yang berdesing. Tanpa merasa berdosa, Prima hanya tertawa pelan. "Plot twist terbesar abad ini, aku cuma remed di matematika wajib, lho!"
Sejenak, Asa mengerjap untuk memproses segalanya. "Oh, ya? Pelajaran lainnya?"
"Aman! Bahkan fisika aku 82, Asa!" Dengan rengekan penuh haru yang didramatisir sedemikiran rupa, Prima merangkul bahu Asa erat-erat. "Ya ampun! Semalam, pas tahu nilainya, aku langsung nangis sambil guling-guling di depan Papa! Makasih, ya, Asa!"
Asa terbatuk keras. Pelukan Prima ini sangat tidak tahu diri. Asa sesak sekali! Ia sampai kesulitan untuk sekadar menarik napas. Sekali lagi, Asa terbatuk-batuk. "Kok aku, sih? Kita, kan, berjuangnya bareng-bareng. Enggak cuma aku sendiri."
"Tapi kamu yang memprakarsai terciptanya kelas ambis!" Prima menjerit-jerit untuk mengekspresikan perasaannya yang tak terdefinisi, hingga Asa harus menutup telinganya rapat-rapat jika masih ingin selamat. Ya ampun. Sejak kapan Prima jadi manusia berisik begini? Mana nada sinisnya? Asa tiba-tiba saja jadi merindukan Prima yang teramat kejam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ambis Kronis!
Teen FictionAmbis itu keren abis! Yakin? Kalau ambis-nya udah kronis, gimana? Katanya, anak ambis itu selalu didekati teman sekelas karena banyak benefitnya. Akan tetapi, tidak berlaku pada Asa Nabastala. Kepribadiannya yang ambis dan egois membuat Asa tidak be...