04. Badak Galak Menyalak

247 58 80
                                    

Sungguh, demi mi ayam pangsit Mang Dod yang sangat legendaris di tanah Persatas

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sungguh, demi mi ayam pangsit Mang Dod yang sangat legendaris di tanah Persatas ... pernahkah kamu merasa sebegitu inginnya menghantamkan batu bata berbahan logam ke kepala seseorang dengan telak? Itu yang Asa rasakan saat ini. Lihatlah anak laki-laki menyebalkan yang tiada angin tiada petir, tahu-tahu datang menceramahinya begitu saja.

Asa mendengkus kesal. "Apa, sih? Kamu pernah ngaca, enggak, Fis? Tampang kamu sok banget soalnya. Terus, ya ... kalau kamu bilang aku sok, bukannya itu berarti kamu juga sok, sok tahu? Kamu, kan, enggak tahu apa-apa tentang aku."

Pusing dengan banyaknya kata 'sok' yang tengah mereka perbincangkan, Alfis pun menggeleng singkat. "Dengar aku. Kita belajar di kelas begini agar bisa saling menghargai dengan teman. Jangan seenaknya sendiri."

"Aku salah apa? Aku kurang menghargai di sebelah mananya? Aku cuma mau jadi murid yang aktif. Salah?" sewot Asa. Buku di pangkuannya lekas-lekas Asa simpan kembali ke atas meja, menciptakan bunyi yang cukup keras. Ya, kelihatannya, ini tidak akan selesai secepat itu.

"Alfis! Eh, eh, copot. Pssst!" Di bingkai pintu kelas, Kiano yang tadinya teriak-teriak macam ibu-ibu rempong saat menawar harga daster yang sudah diskon, kini anak lelaki itu langsung tersentak dan menurunkan volumenya jadi bisik-bisik saja begitu mendengar hantaman buku Asa pada mejanya yang terdengar sangat mengerikan. "Pssst, Alfis! Kita mau ke kantin!"

Bocah prik. Alfis berdeham singkat. Manik hitam legam di balik kacamata tebalnya menatap Kiano dengan lekat, seolah tengah mengantarkan pesan telepati. Detik berikutnya, Kiano mengangguk-angguk seraya mengacungkan ibu jari.

"Oke, sip. Kita duluan!"

Alfis mengembuskan napas lega. Iklan tak berguna telah berhasil diurus. Saatnya kembali ke suasana tegang yang tengah mengungkung kawasan tempat berdirinya Asa dan Alfis. Anak laki-laki itu berdeham untuk kedua kalinya, lantas melipat kedua tangan di depan dada. "Kamu cuma mau jadi murid yang aktif? Kamu?" Alfis menarik salah satu sudut bibirnya, menghasilkan tawa pahit. "Enggak cuma kamu yang mau aktif. Bisa, enggak, sekali aja, kalimatmu enggak usah terus-terusan pakai perspektif aku, aku, aku, dan aku?"

"Maksudnya? Kamu mau aku pakai sudut pandang mereka?" Tak mau kalah, Asa pun turut bersedekap, meniru gaya Alfis agar terlihat lebih garang. Netra cokelat terang Asa tak pernah goyah meski menghadapi tatapan Alfis yang lebih tajam dari silet. "Enggak bisa gitu, Fis. Aku enggak menghalangi orang lain buat aktif, kok. Pas mereka ditanya terus aku yang jawab, ya ... salah sendiri, kenapa mereka enggak bisa jawab?"

"Itu yang aku bilang seenaknya."

Kening Asa mengernyit dalam. Apa-apaan, sih, orang di depannya ini?

Mendapati Asa tampak belum juga menerima, segera saja Alfis menambahkan, "Pak Prana bertanya itu tidak semata-mata untuk dapat jawaban saja. Kalau Pak Prana cuma mau jawaban, jelas beliau lebih pintar, kenapa tanya ke murid? Beliau hanya ingin mendidik semua muridnya agar aktif, mau mencoba, mau belajar, mau memahami. Tolong garisbawahi kembali kata 'semua', se-mu-a, semua murid, enggak cuma seorang Asa Nabastala."

Ambis Kronis!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang