Muak, retak, sesak, tak pelak Asa meledak. Segala perasaan abstrak ini hanyalah salah satu dari bentuk pelampiasannya untuk memberontak. Berontak pada kata semesta, melodi sepi, nyanyian kesendirian, juga kenyataan bahwa hidupnya tidaklah baik-baik saja sebagaimana yang Asa kira selama ini.
Hancur, lebur, gugur, dan berakhir sebagai keruntuhan secara berangsur. Begitulah keadaan pertahanan Asa ketika merasakan alur kisah hidupnya mulai keluar jalur. Keluar dari jalan ambis-nya, jalan prinsipnya, juga jalanan mulus menuju puncak yang tak lebih dari angan-angan kosong di siang hari.
Semua itu sudah menggemakan adanya sesuatu yang salah dalam diri Asa, tetapi anak perempuan yang keras kepala itu tetap merasa bahwa masalahnya ada di faktor eksternal. Usaha yang kurang, nilai yang kurang, kepercayaan guru yang kurang, peringkat yang kurang ... Asa hanya terus merasa berkekurangan, tanpa memikirkan bahwa masalah itu bersumber dari dirinya sendiri. Ia mengatasi masalah dengan cara yang salah. Dan lebih salahnya lagi, Asa tak pernah merasa bahwa dirinyalah yang salah.
Dengan langkah tergesa karena diliputi selaksa amarah, Asa menuju belakang panggung dan berusaha mengalihkan sakit hatinya pada pekerjaan. Manik cokelat terang itu memelototi lembar rundown acara tanpa ada yang benar-benar ia baca atau pikirkan. Lagi, semua itu hanyalah pengalihan. Keahlian Asa adalah mencari pelarian untuk memperlihatkan bahwa ia manusia kuat ketika menghadapi segala masalah, tanpa benar-benar menyelesaikannya.
Mendapati aura kelam yang begitu pekat di sekitar Asa, tidak ada satu pun anak OSIS yang berani menegurnya. Bahkan ketika anak MaFiKiBi dipanggil ke atas panggung untuk menerima penghargaan atas peraihan juara empat besar paralel—khusus kelas XI MIPA-1, pihak sekolah selalu mengapresiasi hingga juara keempat, karena posisinya sudah mutlak dikuasai oleh empat monster Persatas, dengan selisih jumlah nilai yang tidak begitu jauh—Asa menunduk saja di pojok pinggir panggung.
Hingga keempat agen MS bersama tiga besar paralel di angkatan kelas sepuluh turun dari panggung, Asa masih bertahan di posisi yang sama. Bintang yang menegurnya lebih dulu. "Hai, Sa! Sibuk, nih?"
Tidak ada tanggapan yang terlontar. Asa terus menunduk, seolah tidak mendengar suara Bintang karena kehidupannya berbeda alam. Dengan tampang sedih, Bintang pun berlalu saja dengan perasaan bersalah. Iya. Asa pasti sakit hati dan merasa tertekan karena perkataan teman sekelas, juga kenyataan bahwa dirinya tidak memasuki peringkat yang diinginkan. Bintang mengetahui perasaan itu dengan baik, kok. Bintang bisa merasakannya.
Di sebelah Bintang, anak laki-laki berkacamata tebal itu hanya melirik Asa sekilas, lantas membenamkan tangan ke dalam saku celana tanpa menjeda langkahnya sedikit pun. Tidak ada yang bisa lagi ia lakukan selain membiarkan Asa mencari ketenangan dan menemukan kembali kendali dirinya sendiri. Alfis tak bisa terus-terusan menceramahi Asa untuk menciptakan perubahan. Asa-lah yang harus menyelesaikan masalahnya sendiri.
Menit demi menit berlalu. Setelah menyimpan uang pembinaan yang diterimanya ke dalam tas, Alfis kembali ke atas panggung untuk bernyanyi dan memetik gitar bersama personel Hexatas Voice lainnya. Pertandingan basket sudah menuju puncak, babak penyisihan berlalu tanpa terasa. Kini, di tengah sorotan sinar sang raja siang yang begitu gagah menguasai singgasana cakrawala, berlangsunglah babak perempat final antara kelas XI MIPA-1 dan XII MIPA-5.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ambis Kronis!
Teen FictionAmbis itu keren abis! Yakin? Kalau ambis-nya udah kronis, gimana? Katanya, anak ambis itu selalu didekati teman sekelas karena banyak benefitnya. Akan tetapi, tidak berlaku pada Asa Nabastala. Kepribadiannya yang ambis dan egois membuat Asa tidak be...