Sekali Asa angkat suara, maka begitu pulalah kenyataan berbicara. Prinsip selanjutnya yang berlaku dalam semesta Asa: pegang kata-katamu dengan erat, maka pijakanmu akan jauh lebih stabil dan terjamin.
Benar saja. Dengan memanfaatkan sela-sela waktu istirahat, jam kosong pada pelajaran seni budaya, juga menahan diri untuk tidak pulang lebih dulu ketika bel tanda berakhirnya jam pelajaran hari ini berbunyi nyaring memenuhi setiap penjuru Persatas, Asa berhasil menyelesaikan tugas PPT kelompoknya.
Di bangku sebelahnya, Ola yang sedari tadi hanya mengamati seraya menahan kantuk, kini menyenggol perlahan pinggang Asa yang masih memandangi hasil kerjanya dengan puas. "Ssstt, Sa! Itu suara siapa?"
"Hah?" Asa berhenti tersenyum, lantas menajamkan indra pendengarannya dengan serius. Ternyata iya. Ada suara langkah kaki yang cukup cepat di koridor sana, juga suara denting pagar penyekat lantai dua dengan anak tangga menuju lantai bawah.
Tak lama kemudian, terdengar seruan dari arah lorong kelas. "Hei, yang masih di kelas! Ayo, cepat pulang ke rumah. Nanti mama-papa khawatir ... cepat, cepat! Mang mau kunci pintunya!"
"Bentar, Mang! On the way!" Asa balas berteriak-teriak. Anak perempuan itu lekas mengirimkan file PPT yang baru selesai dikerjakannya ke grup WhatsApp kelompok mereka. Setelah itu, dimatikannya laptop Ola untuk dikembalikan pada pemilik aslinya. Senyuman lebar terkembang. "Makasih banyak, Ola! Besok bawa lagi laptopnya, ya."
Benar. Jadwal pelajaran biologi memang dua hari berturut-turut, setiap Senin dan Selasa. Asa tidak memiliki alasan besar untuk terburu-buru. Toh, Bu Rika juga paham bahwa tugas kelompok seperti pembuatan presentasi ini tidak cukup hanya dengan satu hari. Akan tetapi, karena Asa sudah menyelesaikannya hari ini, bukankah itu berarti, Ola tidak perlu membawa laptopnya esok hari? Laptop hanya dibawa ketika pelaksanaan dan pengerjaan, 'kan?
Meski dipenuhi beberapa pertanyaan mengenai permintaan Asa, tanpa pikir panjang, Ola pun menganggukkan kepalanya saja. Ya sudahlah. Ia memang tidak suka membuat masalah atau mempersulit suatu hal yang sudah jelas adanya. Yang pasti, besok, ia bawa saja laptopnya ke sekolah. Cukup. Ola merasa tak perlu meminta penjelasan lebih lanjut.
Ya sudahlah. Mungkin, Asa akan mengedit beberapa hal lagi di file tadi. Begitulah yang terpampang dalam bayangan seorang Viola. Sepertinya memang jarang sekali menemukan seseorang yang dapat memahami jalan pikiran anak perempuan itu. Pasalnya, Ola baru dapat jawabannya ketika hari Selasa telah menjemput bersama tibanya jam pelajaran biologi.
"Ada yang sudah siap untuk tampil presentasi, hari ini?" Pertanyaan Bu Rika membuka kegiatan belajar mengajar pada pagi yang cerah ini. Dengan cekatan, guru berusia menjelang empat puluhan itu menyalakan laptop untuk mencari file yang akan ia tampilkan di proyektor. Sistem koordinasi manusia. Selagi kursor menyusuri penyimpanan, Bu Rika kembali bersuara. "Kalau belum ada, Ibu lanjut dulu materi kemarin."
"Saya, Bu! Kelompok saya sudah siap." Anak perempuan di baris kedua itu mengacungkan tangannya dengan semangat, sukses menyedot keseluruhan atensi di kelas XI MIPA-1 kala itu. Asa tersenyum lebar. Dengan tampang sok mengatur seperti biasa, ia melambaikan tangan pada teman sekelompoknya. "Ayo, Guys!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Ambis Kronis!
Teen FictionAmbis itu keren abis! Yakin? Kalau ambis-nya udah kronis, gimana? Katanya, anak ambis itu selalu didekati teman sekelas karena banyak benefitnya. Akan tetapi, tidak berlaku pada Asa Nabastala. Kepribadiannya yang ambis dan egois membuat Asa tidak be...