27. Bintang yang Tak Terang

89 28 0
                                    

"Lima belas menit habis!" Asa berseru galak, sudah seperti seorang rentenir yang mengingatkan para peminjam ketika jatuh tempo

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Lima belas menit habis!" Asa berseru galak, sudah seperti seorang rentenir yang mengingatkan para peminjam ketika jatuh tempo. Kedua tangannya terlipat, dengan manik cokelat terang yang memelototi Alfis. "Nyaris setengah jam, malah. Cukup sudah. Saatnya kembali ke habitatmu sendiri!"

Iya. Selesai makan dan berbincang ringan, Alfis tampak masih kebingungan menemukan dirinya sendiri. Alfis seperti tersesat di tengah pengembaraan, padahal kakinya tak melangkah ke mana pun sedari tadi.

Di tengah lamunan ke sekian di petang ini, Alfis tersadar begitu Asa mulai mendorong-dorong punggungnya. Oh, ini ceritanya pengusiran, ya? Alfis mendengkus. Walau ia tidak enak juga jika berdiam diri di rumah orang lain sampai larut malam, tetapi Alfis adalah anak yang selalu merasa gengsi dan malah ingin melakukan hal sebaliknya jika disuruh-suruh. Konsepnya tidak jauh berbeda dengan kebanyakan anak yang lebih rajin beres-beres ketika sendiri, dan langsung merasa malas ketika malah disuruh ini-itu oleh orang tuanya.

Alfis juga begitu. Kalau ia disuruh menjadi bilangan positif, maka ia akan menggapai bilangan negatif. Bahkan selama ini, begitulah kehidupannya bersama Papa, bukan? Papa menyuruh Alfis memenangkan olimpiade fisika hingga nasional sebagai langkah awal ke kancah dunia, memasuki universitas luar negeri yang terbaik, lantas menyabet Nobel Fisika. Detik itulah Alfis langsung mengambil jalan sebaiknya, mengundurkan diri pada olimpiade fisika tahun lalu.

Sekali Alfis, tetaplah Alfis. Tak heran jika dirinya malah menolak beranjak dari atas gelaran tikar. Tubuhnya bergeming sempurna. Tak peduli pada Asa yang sudah sepenuh tenaga mendorongnya agar lekas pergi dari sini. Anak laki-laki itu malah memandangi Saka yang menyaksikan prosesi pengusiran Alfis dengan mata mengerjap polos.

Merasa bisa memanfaatkan keadaan, kalimat yang keluar dari bibir Alfis langsung membuat Asa menghentikan tindakan anarkinya. "Kamu, kamu, adiknya Asa, mau dengar soal teori-teori pembentukan alam semesta, 'kan?"

Manik cokelat madu yang sedari tadi mengerjap dan menganalisis sekitarnya dalam diam itu kini berhiaskan binar-binar antusias. Saka menggeser tempat duduknya untuk terus mendekati Alfis. "Mau, Kak! Kakak temannya Kak Asa mau jelasin?"

"Mau, dong, adiknya Asa!"

Pusing dengan pekikan riang Saka dan keputusan dadakan Alfis yang sengaja sekali mengulur waktu untuk tetap di sini, membuat Asa mendesah pasrah. "Sebelum itu, jangan pakai panggilan adiknya Asa sama Kakak temannya Kak Asa, dong! Kepanjangan. Sangat tidak efektif dan efesien. Alfis, ini Saka. Saka, ini ... Badak Galak. Panggil aja Kak Badak."

"Heh." Alfis melotot sempurna pada Asa, kedua netra hitam legam itu bahkan seolah mau keluar dari tempatnya. "Saka, kamu anak kece. Kenapa kakakmu malah Bebek Jelek?"

Ditanyai dengan maksud pembalasan itu tidak begitu tertangkap indra pendengaran Saka. Anak laki-laki itu telanjur dalam memikirkan kalimat Asa sebelumnya. Saka mengernyitkan kening. "Kak Badak ... Kakak yang suka bikin Larutan Cap Badak?"

Ambis Kronis!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang