Pernahkah kamu membenci pukul satu siang, jam terakhir sebelum pulang sekolah? Biasanya tidak. Siswa mana pun sepakat bahwa jam-jam tersebut adalah waktu paling ditunggu agar lekas terbebas dari kegiatan belajar mengajar di sekolah. Seperti akhir pekan versi dalam satu hari, tidak terasa. Akan tetapi, teori tersebut tidak berlaku bagi anak kelas XI MIPA-1 pada Rabu siang kali ini.
Pasalnya, di kala posisi mentari tepat berada di titik zenit, dan sinarnya memancar maksimal begitu terik, sekarang adalah jadwalnya pelajaran olahraga! Jarang sekali anak yang membenci olahraga, mengingat pembelajarannya yang menyenangkan karena tidak hanya lumutan di bangku kelas. Pada pelajaran satu ini, mereka bisa terbebas dari alat tulis juga otak yang mengepulkan asap tidak kuat.
Namun, kenapa wakasek kurikulum sekolah malah menjadwalkan olahraga di siang terik yang sangat tidak tepat begini, sih? Ini proses pembakaran anak yang berkedok olahraga, ya? Di jam pulang nanti, tak hanya matang, mereka bisa-bisa sudah gosong semua! Yang benar saja? Meski mengeluh panjang, sebagian demi sebagian siswa mulai berjalan ke toilet untuk mengganti seragam dengan gontai.
Kondisi Asa pun tak jauh berbeda. Belum apa-apa, tetes keringat sudah meluncur deras di pelipis dan punggungnya, sisa kompetisi tidak resmi tadi bersama Alfis selama pengerjaan latihan soal fisika. Ah ... Asa jadi teringat persaingan keduanya di UAS dan OSN nanti. Kalau begitu, Asa harus semangat! Panas, peluh, dan rasa malas bukanlah alasan yang keren untuk berleha-leha!
Dengan semangat, Asa berlari-lari kecil dari toilet, lantas menjadi orang pertama yang datang ke lapangan dan berteduh di dekat pohon kersen bersama Pak Zul, guru Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan mereka.
Kedua alis Asa mengerut dalam untuk menahan intensitas cahaya matahari yang keterlaluan memasuki retina selagi memandangi teman sekelasnya yang masih berjalan di koridor. Aduh, panas sekali. Pengap. Biasanya, sore nanti akan turun hujan deras. Siklus belakangan ini begitu terus polanya.
Demi mengusir bosan dan mengalihkan pikiran dari keluhan soal panas menyengat, Asa mengajak gurunya berbicara seperti biasa. "Hari ini materi apa, Pak?"
"Masih bola basket. Kita tes, ya." Pak Zul menoleh ke arah Asa. Pria yang sudah menikah dan punya satu anak itu sempat heran karena Asa tampak tidak kaget atau mengajukan protes keberatan sebagaimana siswa pada umumnya, lantas lekas menyadari bahwa di sampingnya adalah seorang Asa. Pak Zul terkekeh ringan. "Kamu, sih, siap terus, ya? Tesnya pass, dribble, sama shoot doang, sih. Oh, ada percobaan latih tanding juga kalau waktunya belum habis."
Dua jam pelajaran. Jika siswa yang mengulang tes tidak memakan waktu lama, latih tanding itu bisa saja dilaksanakan. Asa mengangguk-angguk paham. "Aku latihan duluan, ya, Pak."
"Hei, kamu belum pemanasan!"
Teriakan Pak Zul tidak dihiraukan Asa sama sekali. Anak perempuan itu sudah lebih dulu merebut bola basket yang tergeletak di dekat gawang, lantas memantul-mantulkannya dengan penuh gaya. Asa meloncat dari area three points, lantas menembakkan bola ke arah ring ... tidak masuk. Ish! Asa mendengkus sebal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ambis Kronis!
Teen FictionAmbis itu keren abis! Yakin? Kalau ambis-nya udah kronis, gimana? Katanya, anak ambis itu selalu didekati teman sekelas karena banyak benefitnya. Akan tetapi, tidak berlaku pada Asa Nabastala. Kepribadiannya yang ambis dan egois membuat Asa tidak be...