"Misal, nih, ya. Saka dibeliin Kakak tiga bungkus es krim sama dua batang cokelat." Baru saja Asa hendak memulai penjelasannya, mulut Saka sudah menganga lebar. Imajinasi anak laki-laki itu langsung aktif begitu mendengar dua makanan favoritnya yang jarang sekali bisa ia dapatkan selain dari bibinya jika pulang kampung dari Cikarang. Demi mendapatkan atensi Saka kembali, Asa bertepuk tangan satu kali. "Mau, enggak?"
"Iya, iya, mau!" Jelas saja Saka mengangguk berulang kali hingga kepalanya seolah mau copot dari pangkal leher. Siapa yang akan menolak makanan mewah tersebut? Bagi Saka, es krim dan cokelat adalah segalanya! "Terus gimana, Kak? Terus Saka makan?"
"Eit, belum. Dengar dulu. Kakak punya materi matematika bagus, nih. Yang lain baru mempelajari ini di kelas delapan, harusnya. Namanya, metode eliminasi. Materi utamanya dari aljabar, sih, materi kelas tujuh. Tapi enggak apa-apa. Teman sekelasmu enggak akan ada yang tahu!"
Meski menyadari sepenuhnya bahwa es krim dan batang cokelat itu hanya ada di dalam imajinasinya, Saka tetap mengangguk-angguk semangat. Ini yang paling Saka suka dari Asa. Kakak perempuannya itu selalu mengetahui banyak hal. Kira-kira, apa saja yang akan Kak Asa beritahukan padanya, malam ini?
Mendapati adik laki-lakinya yang tampak sudah bersiap menerima ilmu baru, Asa pun berdeham singkat. "Gini, gini. Tiga bungkus es krim sama dua batang cokelat tadi harga totalnya tiga puluh lima ribu. Karena uangnya enggak cukup, akhirnya Kak Asa cuma beli dua bungkus es krim sama satu batang cokelat. Harganya jadi dua puluh ribu. Kira-kira, berapa harga satu bungkus es krimnya?"
"Hah?" Untuk beberapa saat lamanya, Saka menatap kakak perempuannya tanpa berkedip. "Satu bungkus es krimnya ... tanya penjualnya aja."
Dengan polos, Saka malah memamerkan deretan gigi putihnya yang rapi. Asa mendengkus geli. "Enggak bisa gitu. Anggap aja pembelinya lagi kebelet, cepirit, udah lari ke kamar mandi, enggak bisa ditanya lagi. Selain itu, struk belanjaannya udah Kak Asa buang. Gimana cara Saka buat tahu harganya?"
Kali ini, Saka berpikir dengan serius. Tangan kecilnya mengelus-elus dagu, berpose layaknya seorang detektif yang hendak memecahkan kasus rumit. "Berarti tinggal harga totalnya yang dibagi dua bungkus es krim tambah satu batang cokelat, jadi dua puluh ribu dibagi lima ... eh, enggak! Enggak bisa! Es krim sama cokelatnya, kan, beda harga, ya, Kak?"
"Iya, dong." Dengan gemas, Asa mengelus puncak kepala adiknya yang berambut tipis dan halus. Meski terbilang sudah kelas enam, bagi Asa, Saka itu masih kecil. Lagi pula, penelitian membuktikan bahwa masa pubertasnya laki-laki baru tampak ketika masa-masa SMA. Asa jadi tidak bisa membayangkan kalau Saka tumbuh begitu tinggi, nanti. "Dengan mengetahui harga total dan jumlah es krim sama batang cokelat yang dibeli, udah bisa menemukan harga satuannya, lho."
Binar mata cokelat Saka berpendar, penasaran. Anak laki-laki itu mencondongkan tubuhnya ke depan. "Kok bisa, Kak? Gimana caranya? Pakai eliminasi tadi?"
"Iya! Seratus buat Saka!" Semangat sekali, Asa meraih pulpen yang tergeletak di lantai, bekas Saka mengerjakan tugasnya, lantas menciptakan coretan-coretan di buku Saka yang memang khusus untuk menghitung. "Kita pakai variabel, Ka. Anggap aja es krim itu huruf x, dan cokelat itu sebagai y. Es krimnya, kan, ada dua, ya. Jadinya 2x. Kalau cokelatnya ada satu, berarti?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Ambis Kronis!
Teen FictionAmbis itu keren abis! Yakin? Kalau ambis-nya udah kronis, gimana? Katanya, anak ambis itu selalu didekati teman sekelas karena banyak benefitnya. Akan tetapi, tidak berlaku pada Asa Nabastala. Kepribadiannya yang ambis dan egois membuat Asa tidak be...