Jika ada suatu benda yang nilainya melebihi apa pun di dunia ini, maka dalam semesta Asa, benda itu adalah dua belas buku bersampul roket yang berisi rangkuman materi juga latihan soal astronomi selama lebih dari tiga tahun ini. Dua belas buku itu semacam monumen, jembatan bersejarah yang mengantarkan Asa hingga melangkah sampai ke titik ini. Perjalanan Asa tidak ada apa-apanya tanpa belasan buku astronomi yang berperan sebagai pijakan sejauh ini.
Kini, pada Selasa pagi yang cerah ini, Asa harus kehilangan salah satu bukunya begitu saja? Membiarkannya dihancurkan di depan mata, seakan lupa begitu saja atas berbagai pengorbanan siang-malam, dari minggu ke minggu, hingga menyulam tahun tak sebentar, yang ia dedikasikan untuk semua itu? Jangan bercanda. Drama macam apa lagi yang sedang Asa saksikan kali ini?
Sungguh, Asa tak pernah berhenti untuk lari di jalannya, lari menyongsong segalanya. Di saat ia masih berupaya untuk mengatur pergerakannya supaya tetap stabil dan tidak berhenti di tengah jalan, apakah semesta merasa semua itu masih saja kurang, hingga mengguratkan kembali begitu banyak rintang yang tak sekali? Apakah jalan mendaki yang Asa tempuh dengan berjalan kaki itu masih saja kurang, hingga kehidupan menghadirkan kerikil-kerikil penghalang, yang membuat juangnya terasa hilang?
Apakah segala pengorbanannya selama ini ... terdengar tak lebih dari omong kosong bagi semesta yang berpaling tidak peduli?
Sejak kertas-kertas dari buku astronominya itu tercerai-berai berserakan di atas lantai, tak ada suara Asa yang sampai. Manik cokelat terang Asa hanya mengamati setiap pergerakan Alfis yang sigap mengumpulkan sobekan kertas. Kosong. Hampa. Ketiadaan makna. Tidak ada energi yang terpancar dari netra kelam Asa.
Seisi kelas hanya diisi sunyi. Akan tetapi, kali ini, sejumlah pasang mata di XI MIPA-1 hanya menyoroti sosok Prima yang kini ikut mematung begitu mendengar kalimat Alfis yang menegur bahwa dirinya sudah kelewatan. Apa maksud dari tatapan itu? Apakah lagi dan lagi ... Prima harus menyandang gelar antagonis itu untuk kedua kalinya?
Oh, tidak. Lebih tepatnya tiga kali. Antagonis di kisah Bintang tahun lalu, antagonis Asa di lembaran ini, dan antagonis di kehidupan ayahnya sendiri. Selalu saja begitu. Prima yang selalu salah, tidak berperasaan, seorang anak yang durhaka, tidak bisa membalas jasa orang tuanya, hanya bisa merepotkan dan membuat masalah ....
Sampai kapan Prima harus mendapatkan peran seperti itu?
Prima sungguh tak tahan dengan kehidupannya sendiri. Bel masuk berbunyi nyaring, memenuhi setiap penjuru Persatas. Detik itu pulalah Prima memilih untuk meraih kembali ransel yang sempat dijatuhkannya di lantai ketika duel tadi, lantas melarikan diri keluar kelas. Entah ke mana kakinya akan membawa Prima pergi kali ini. Halaman belakang? Pojokan Kantin Mang Dod? Ruang sempit di bawah tangga dekat Ruang Inspirasi?
Apa pun jawabannya, Prima hanya mau melarikan diri.
Di saat yang sama, Asa masih bergeming di posisinya. Kepalan tangan itu melemah. Manik cokelat terangnya tidak semangat seperti biasa begitu mendengar suara bel masuk, juga decitan halus pintu dan ketukan konstan sepatu guru yang menyapa lantai. Asa terdiam. Dirinya tak lagi peduli pada buku astronomi ataupun kenyataan bahwa jalannya baru dihadang begitu saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ambis Kronis!
Teen FictionAmbis itu keren abis! Yakin? Kalau ambis-nya udah kronis, gimana? Katanya, anak ambis itu selalu didekati teman sekelas karena banyak benefitnya. Akan tetapi, tidak berlaku pada Asa Nabastala. Kepribadiannya yang ambis dan egois membuat Asa tidak be...