Bicara tentang strategi baru yang ia rancang, Asa sudah memikirkannya semalaman suntuk. Cara untuk memperbaiki nilai olahraganya ... baiklah. Soal ketangkasan maupun keahlian, sebenarnya tidak ada yang begitu dikeluhkan dari nilai olahraga Asa. Apalagi jika dibandingkan dengan anak perempuan lainnya yang memang rata-ratanya berada di bawah kemampuan kaum lelaki.
Akan tetapi, nilai dan ranking di akhir semester nanti tidak akan membedakan laki-laki dan perempuan, 'kan? Semua itu akan ditentukan menggunakan standar seluruh siswa di angkatannya. Mau tidak mau, Asa tetap harus mengalahkan Alfis. Sekolah tidak akan mengategorikan juara untuk putra dan putrinya. Pilihannya hanya dua: mengalahkan atau dikalahkan.
Jelas saja Asa tidak berniat untuk kalah! Sejak kecil, dirinya selalu memenangkan banyak hal. Memiliki kemampuan membaca lebih dulu dari tetangga seusianya, meraih ranking tiga besar dari kelas satu SD hingga tahun terakhir di SMP-nya, lantas memenangkan berbagai olimpiade dan perlombaan di bidang akademis sedari dulu.
Rekor peringkat tiga besar Asa selama sembilan tahun berturut-turut itu baru terpecahkan ketika ia masuk ke Persatas dan berhadapan dengan anak-anak ambis dari setiap penjuru kota maupun provinsi. Asa kalah jauh oleh anak-anak MaFiKiBi Society. Jangan lupakan Iris juga, meski polos, absurd, dan terbilang pasif selama pembelajaran di kelas, nilai-nilai Iris tidak bisa dianggap remeh.
Namun, bukan berarti Asa kalah begitu saja, 'kan? Baginya, game over sesungguhnya adalah ketika memutuskan berbalik arah dan berhenti meneruskan perjalanan. Bukankah menghadapi lawan yang sudah jauh di depan kita, akan menjadi pemicu sekaligus bahan bakar terbaik agar kita bisa melangkah lebih cepat?
Oke, kembali pada pelajaran olahraga. Ketangkasan dan kecepatan Asa tidak perlu dikhawatirkan. Hanya satu yang selalu menjadi permasalahan Asa: daya tahan, kebugaran, dan kemampuan kardiovaskular. Asa mudah lelah dan terengah ketika lari. Bisa saja ia lari paling cepat, tetapi hanya perlu menunggu waktu saja untuk membuatnya jadi urutan terakhir di antara barisan siswa lainnya.
Tidak boleh ... Asa harus mengubahnya! Mungkin diawali dengan pembiasaan melenturkan otot kaki dan pengolahan frekuensi pernapasannya ketika berlari. Kesimpulannya, Asa perlu membentuk rutinitas berolahraga setiap hari, walau hanya sekadar jalan kaki lima belas menit.
Selama ini, Asa menggunakan angkot untuk transportasi dari rumah ke sekolah. Begitu pula sebaliknya. Untuk mendistribusikan jualan ibunya ke warung-warung tetangga, atau menjualnya dengan berkeliling kampung pada hari libur, biasanya Asa meminjam sepeda ontel milik pamannya. Oh, benar. Asa bisa mulai dari sana! Mulai besok, Asa akan melakukannya dengan berjalan kaki dan sedikit lari-lari kecil.
Selain itu, program tambahan yang akan ia jalankan setiap pekan inilah yang menjadi alasannya untuk bangun sejak pagi-pagi buta di hari Minggu ini. Bahkan binatang malam saja belum berniat kembali ke tempat persembunyiannya, masih sibuk dengan nyanyian pelan yang nyaris ditelan embun pagi.
Akan tetapi, Asa Nabastala, anak perempuan berusia enam belas tahun itu sudah bersiap dengan kaus hitam berbalut jaket abu-abu yang mulai kusam. Asa mengikat rambutnya secara asal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ambis Kronis!
Teen FictionAmbis itu keren abis! Yakin? Kalau ambis-nya udah kronis, gimana? Katanya, anak ambis itu selalu didekati teman sekelas karena banyak benefitnya. Akan tetapi, tidak berlaku pada Asa Nabastala. Kepribadiannya yang ambis dan egois membuat Asa tidak be...