Asa sebal kuadrat! Sisa-sisa kekesalan yang terus menumpuk hanya karena mengingat tindakan Alfis yang selalu saja menyambar pertanyaan Kak Daniel di pembinaan astronomi tadi, kini meledak begitu Asa sampai ke rumah dan mengempaskan badan ke atas kasur lantai. Alfisetan! Badak Galak! Tadi itu penghinaan besar ... Alfis jelas-jelas sengaja!
Awas saja, Asa tidak akan tinggal diam. Asa akan membalasnya di pertemuan pembinaan selanjutnya! Setelah menendang-nendang udara kosong, Asa mengeluarkan alat tempurnya yang berupa kalkulator saintifik, sebatang pulpen dari kotak hadiah yang diterimanya karena berhasil memenangkan lomba menulis esai, juga tumpukan buku astronomi hasil meminjam dari perpustakaan.
Dengan kernyitan halus yang menghiasi dahi, Asa begitu menikmati setiap prosesnya dalam memahami berbagai hukum fisika yang banyak digunakan di astrofisika. Asa suka sekali sensasi menyenangkan ketika otaknya terus-terusan mencari jawaban dari betapa banyaknya tanda tanya atas misteri-misteri yang disimpan semesta.
Ada apa di balik kelamnya black hole yang memiliki kekuatan gaya tarik mahabesar dengan singularitasnya? Apa saja yang akan terjadi ketika matahari mencapai fase evolusi lanjut, tahap akhir bintang yang tidak akan mengalami evolusi lagi? Bagaimanakah perubahan yang terjadi pada tata surya kita jika orbit planet tak lagi beraturan?
Pertanyaan demi pertanyaan yang tiada habisnya itu akan selalu hidup di kepala Asa. Selagi belum terjawab, Asa tak akan pernah berniat untuk berhenti dari dunianya ini. Beberapa tanda tanya yang ia pikirkan sejak kecil memang telah menemui jawabannya seiring bertambahnya buku astronomi yang ia baca, tetapi masih ada beribu tanya lainnya yang hanya didengar senyap. Asa harus belajar lebih banyak lagi.
Ini adalah jalan yang Asa pilih. Sejak masih kelas tiga SD, di saat teman-teman sebayanya masih asyik menggandrungi buku cerita bergambar atau hiburan di gawai orang tuanya masing-masing yang tergolong berkemampuan, Asa malah tertarik dengan buku antariksa untuk anak kuliahan yang lebih tebal dari kasur lantai di rumahnya.
Kemampuan kognitif dan usianya yang belum matang memang membuat Asa tidak mengerti setiap rumus di buku tersebut. Saking penasarannya, Asa sampai memaksa Bu Yuli, penjaga perpustakaan di sekolah dasarnya, untuk menjawab rasa ingin tahunya. "Yang ini namanya apa, Bu? Kenapa kayak huruf E yang dikapital?"
Aduh. Itu mimpi buruk bagi Bu Yuli yang latar belakangnya memang lulusan Pendidikan Bahasa Indonesia. Ia hanya mengenal dunia sastra dan linguistik. Apa itu rumus-rumus fisika? Sudah hilang dari kamus kehidupannya sejak lulus SMA!
Apa daya, karena Asa terus saja memaksa sampai menarik narik ujung baju batiknya, Bu Yuli pun menyerah dan memanggilkan Bu Deudeuh, guru MIPA yang mengajar di kelas enam. "Itu namanya tanda sigma, Asa."
Sesaat, Asa Kecil mengerjapkan mata. Bu Yuli senang sekali karena Asa akhirnya mau diam meski hanya untuk beberapa detik lamanya. Manik cokelat terang yang ditaburi binar-binar antusias itu menatap Bu Deudeuh dengan penuh harapan. "Sigma? Sigma itu apa, Bu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Ambis Kronis!
Teen FictionAmbis itu keren abis! Yakin? Kalau ambis-nya udah kronis, gimana? Katanya, anak ambis itu selalu didekati teman sekelas karena banyak benefitnya. Akan tetapi, tidak berlaku pada Asa Nabastala. Kepribadiannya yang ambis dan egois membuat Asa tidak be...