19. Asa Berbahasa Aksa

95 30 0
                                    

Tidak

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tidak. Sesakit apa pun perasaan Asa ketika mendapati buku astronominya berakhir sebagai kertas cabik-cabik tak berbentuk, Asa tidak menitikkan air matanya barang sekali pun sejak kejadian itu. Sudah lebih dari dua belas jam berlalu. Asa memang belum mampu menerima kenyataan tersebut, tetapi semua tindakan Prima hanya membuat amarahnya bergejolak dan meledak.

Asa justru berderai air mata di sepanjang malam ini. Bukan. Bukan karena baru menyadari bahwa perjuangannya dirobek Prima begitu saja. Bukan juga karena menangisi kondisi perekonomian keluarganya yang di ambang batas. Sesulit apa pun keadaannya, Asa selalu punya jalan keluar yang lebih baik daripada menangis. Akan tetapi, air mata itu langsung meluncur bebas ketika mendengar kalimat Bapak di bawah lautan gemintang kala itu.

"Maaf ... maaf karena menghadirkanmu ke dunia dalam kondisi yang serba-terbatas ini, Asa."

Maaf, katanya? Apakah Bapak adalah seorang tersangka utama yang pantas divonis bersalah atas sesuatu yang memang telah ditentukan di luar kendali dan kehendaknya sendiri?

Kalimat singkat Bapak yang dilanjutkan oleh senyap itu membuat semesta Asa serasa ditelan kelam. Bapak memang hanya tersenyum tulus, berdiri dari duduknya, menepuk pelan puncak kepala Asa, lantas melangkah masuk ke dalam rumah. Asa tak bisa melanjutkan dialog bersama gemintang di tengah malam ini. Ibu akan meneriakinya untuk lekas tidur dan mengunci pintu.

Tak seperti biasanya, materi suplemen astronomi tidak menjadi nyanyian pengantar tidur Asa. Anak perempuan itu tak kunjung bisa memejamkan mata walau jarum jam dinding sudah menunjukkan pukul setengah tiga malam. Entah kapan waktu tepatnya Asa terlelap. Yang pasti, rasanya baru sebentar sekali Asa mengunjungi alam mimpi, tahu-tahu alarm tubuhnya berbunyi, membuatnya terbangun secara otomatis. Hari sudah pagi.

Kalau saja tak ingat bahwa ini masih Rabu, belum akhir pekan, ingin rasanya Asa berlama-lama merebahkan badan di atas kasur lantai. Kedua netranya menolak dibuka. Belek, mata panda, bengkak dan jejak-jejak tangisan sepanjang malam membuat segalanya tambah buruk. Suram sekali penampilan Asa.

Akan tetapi, ternyata ada yang jauh lebih suram dari itu: kenyataan bahwa Asa baru bersiap mengenakan seragam setelah mendistribusikan jualan ibunya, persis ketika pukul tujuh kurang seperempat. Lima belas menit lagi! Bapak sudah berangkat menarik angkutan sejak pagi buta. Kalau menaiki angkot lain, mengetem tidak akan bisa dihindari!

Benar saja. Di dekat Lawang Condong dan Lanud TNI AU Wiriadinata, angkot mengetem lama. Terus saja maju-mundur untuk menawari penumpang yang tak kunjung memberikan kepastian. Satu-dua anak SMA yang muncul dari balik kelokan jalan tampak terburu-buru naik angkot. Satu penumpang lagi naik, seorang wanita berusia lanjut dengan keranjang besar di genggaman, mungkin hendak ke Pasar Cikurubuk.

Kepadatan jalanan di pagi yang mulai menggeliat ini membuat Asa tambah khawatir. Ujung sepatunya diketuk-ketukkan ke lantai angkot dalam irama yang tidak beraturan, mengiringi detik demi detik yang dirasa begitu cepat menitik. Sudah nyaris pukul tujuh pagi, dan Asa belum sampai setengah jalan ....

Ambis Kronis!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang