16. Bebek Jelek Merengek

105 30 7
                                    

Teman, ya? Sebenarnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Teman, ya? Sebenarnya ... sepenting apa eksistensi suatu substansi bernama sahabat, dalam sistem kehidupan manusia?

Tidak. Tidak. Sejak awal, Asa percaya bahwa hubungan semacam itu tidaklah begitu krusial. Terkadang, terjalinnya hubungan spesial malah menambah banyaknya konflik yang bermunculan dan memiliki kemungkinan untuk menghadang perjalanan menggapai angan. Asa tidak mau memperumit dirinya sendiri. Cukuplah kepalanya hanya fokus memikirkan mata pelajaran dan olimpiade astronomi.

"Kamu selalu egois, Asa. Pantas aja enggak pernah punya teman."

Tidak pantas? Seorang Asa tidak memenuhi standar kepantasan? Yang benar saja. Dari dahulu kala, Asa selalu menyabet juara apa pun. Mendengar kalimat Prima itu terasa menggores sebagian kecil hatinya.

Enggak pernah punya teman? Jadi selama ini ... tidak pernah ada yang benar-benar menganggapnya sebagai teman? Asa punya salah apa, sih? Kenapa Prima sampai sejahat itu kepadanya?

Asa tak pernah peduli dengan seburuk apa pun orang memperlakukannya. Iya. Asa sudah cukup sadar diri, kok. Dirinya berasal dari keluarga yang tidak berkecukupan. Jauh berbeda dengan teman lainnya yang ... yah, jangankan siswanya, Persatas ini, sekolah yang Asa dapatkan dengan beasiswa saja sudah terbilang begitu elit di daerah Tasikmalaya, bahkan nyaris menembus ke Jawa Barat, juga sebagian pulau Jawa, mengingat siswanya tak sedikit yang berasal dari Banjar, Subang, sampai Probolinggo.

Sebelum hari pertamanya masuk sekolah, Ayah juga sudah berkali-kali menyuntik Asa dengan begitu banyak kalimat motivasi dan penyemangat. "Di sekolah nanti, kamu mungkin akan bertemu dengan orang-orang yang jauh lebih berbeda dari yang biasa kamu temui. Anak yang lebih pintar, lebih keren, lebih baik, lebih ahli, lebih memiliki segalanya ... begitulah sejatinya kehidupan, Asa."

Pada malam yang telah lalu itu, Asa menanggapi perkataan ayahnya dengan senyap singkat. Masih lekat dalam ingatan, saat itu, Asa terlalu bersemangat untuk hari pertamanya sekolah sampai-sampai tidak bisa tidur. Ayah-lah yang datang menghampirinya. Bukan untuk memarahi atau meneriaki seperti Ibu, melainkan untuk menemani putri sulungnya.

"Jadilah anak yang baik di sana, Asa. Jangan pernah lupa dari mana kamu berasal. Kita ini ... hanya orang biasa. Bapak tidak punya apa-apa." Sunyi beberapa detik. Di samping Ayah, anak perempuan yang tengah duduk di teras sempit sembari mengamati langit bertabur gemintang itu, diam-diam menahan air mata yang hendak meluncur bebas.

Ayah ... andaikata Asa punya kekuasaan untuk berbicara satu kali saja, Asa ingin menyatakan bahwa dirinya sungguh begitu bahagia memiliki Ayah yang katanya tidak memiliki apa-apa ... Asa tidak pernah meminta lebih. Kehadiran Ayah yang selalu menguatkan langkah kakinya saja sudah lebih dari cukup. Banyak sekali kata-kata yang hendak Asa tumpahkan. Akan tetapi, semua itu dilahap senyap. Asa tak mau mendengar suaranya sendiri yang parau.

Menyadari bahwa pembicaraan mereka mulai terasa menyedihkan, Ayah langsung merekahkan senyuman lebar, lekas-lekas membelokkan topik pembicaraan. "Asa ... orang-orang di luar sana itu jauh lebih tinggi dari kita. Tapi, kalaupun begitu, Ayah tahu anak Ayah juga hebat. Seriuslah dalam belajarmu, Nak ... kalaupun orang lain lebih pintar, jangan pernah kamu menyerah dalam berusaha semaksimal mungkin. Kalau kamu menguasai sesuatu, niscaya tidak akan pernah ada yang merendahkan kamu, Asa ...."

Ambis Kronis!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang