Bab 3

17.3K 683 16
                                    

Sial. Saat ini Maya terjebak hujan ketika perempuan itu tengah membeli sesuatu ke dekat balai desa. Bahkan, perempuan itu sama sekali tidak membawa persiapan payung karena tidak tahu jika hujan akan melanda desanya.

Kedua kaki Maya saling menendang satu sama lain seolah sedang menyalurkan rasa kesalnya. Sudah lebih dari dua puluh menit dia duduk di depan sebuah toko perlengkapan rumah tangga. Namun, hujan tidak sedikit pun mereda.

Hari semakin gelap membuat Maya mengeratkan tubuhnya saat merasakan angin sore berhembus menusuk kulitnya. Kedua mata perempuan itu mengedarkan pandangannya melihat para pengunjung lain yang bernasib sama dengannya. Kepegat hujan.

Tin tin!

Suara klakson mobil yang berhenti tepat di depan Maya membuat perempuan itu mendongakkan kepalanya menatap mobil tersebut dengan tatapan heran. Tak berselang lama kemudian, kaca mobil tersebut diturunkan oleh sang empunya.

“Masuk.” ujar pemilik mobil itu sembari menatap Maya dengan tatapan sulit diartikan.

Maya memutar kedua bola matanya. Niatnya sih baik, mau menolongnya. Akan tetapi, hati kecilnya menolak keras saat Gerry—pemilik mobil itu menyuruhnya untuk masuk ke dalam mobil. Hell, Maya masih sebal dengan pertengkaran tadi dengan Gerry.

“Ck, masuk Maya!” ujar Gerry sedikit berteriak karena suaranya teredam oleh suara hujan yang masih deras.

Maya terdiam memikirkan sesuatu di kepala cantiknya. Setelah bersiteru dengan hati dan pikirannya, perempuan itu pun berdiri dari duduknya. Maya sedikit berlari menuju mobil Gerry.

Namun, saat perempuan itu membuka pintu samping kemudi alangkah terkejutnya dia mendapati seorang perempuan memakai pakaian kurang bahan yang sudah terlelap nyaman dengan kepala bersandar.

“Duduk di belakang.” titah Gerry tanpa menatap wajah Maya.

Dengan berdecak sebal perempuan itu menutup pintu mobil tersebut dengan kencang membuat perempuan yang terlelap tadi tersentak kaget dalam tidurnya.

Maya tidak menghiraukannya. Perempuan itu beralih mendudukkan pantatnya di kursi belakang.

“Sayang, tadi suara apa?” cicit perempuan yang duduk disamping kemudi itu.

Gerry mengusap surai perempuan itu lembut. “Bukan apa-apa. Ayo tidur lagi,” ucapnya dengan nada halus.

Maya mencibir Gerry yang berkata selembut itu dengan perempuan lain. Maya sudah paham akan tabiat yang dilakukan pria itu. Entah perempuan yang keberapa yang Gerry bawa itu. Maya paham akan sifat playboy Gerry.

Mobil yang dikendarai oleh Gerry pun melaju meninggalkan area toko perlengkapan rumah tangga. Tidak ada percakapan yang terjadi di dalam mobil itu. Gerry yang sedang fokus menyetir, dan Maya yang sedang beradu dengan pikirannya.

Setelah menempuh waktu selama lima belas menit, akhirnya mobil Gerry pun memasuki kawasan rumahnya. Pria itu memarkirkan mobilnya tepat di halaman rumahnya yang terbilang cukup besar. Gerry mematikan mesin mobil kemudian menoleh ke belakang.

“Tidur di rumah gue.” ucap pria itu menghentikan pergerakan Maya yang hendak keluar dari mobil.

“Ogah.” Tolak Maya mentah-mentah.

Gerry menggeram pelan. “Lo mau tidur sendirian di rumah? Oma sama Tante Sarah lagi di Kota. Mereka nginap di villa karena suaminya Tante Sarah udah pulang.” tutur Gerry dengan napas tenang.

“Jadi, lo masih mau tidur sendirian di rumah lo itu? Lo ingat ‘kan apa kata Oma? Rumah lo itu ada penunggunya.” Lanjutnya lagi sedikit membuat Maya bergidik ngeri.

“Ck, iya-iya.” Maya berdecak sebal sembari melipat kedua tangannya di depan dada.

Maya mendengus sebal dalam hatinya. Perempuan itu menggerutu tatkala sang Tante tidak mengabarinya sama sekali jika hendak pergi ke Kota. Bahkan, Oma pun turut andil dengan rencana yang dibuat Tantenya. Pantas saja ia disuruh untuk ke balai desa, yang mana cukup jauh dari rumahnya.

“Turun. Lo mau terus di mobil gue?” Pertanyaan Gerry membuyarkan lamunan panjang Maya.

Dengan perasaan tak karuan perempuan itu membuka pintu mobil dan menutupnya dengan kencang. Maya sedikit berlari memasuki rumah Gerry yang memang tidak terkunci itu. Perempuan itu langsung merebahkan tubuhnya diatas sofa.

Gerry menyusul langkah Maya dari belakang dengan menggendong tubuh Gita—kekasihnya ala bridal style. Pria itu mengggeram kesal tatkala melihat kelakuan Maya yang seenaknya.

“Mandi sana. Badan lo bau, jangan harap bisa rebahan di sini.” usir Gerry membuat Maya memutar bola matanya jengah.

“Udah sana urus tuh simpanan lo. Awas ya, nanti malem gue nggak mau denger desahan sialan lo itu.” Maya mengibaskan salah satu tangannya menyuruh Gerry untuk segera pergi dari hadapannya.

Gerry menatap Maya tidak suka. Perempuan itu malah semakin menjadi saja. Padahal ‘kan, disini yang menjadi Tuan rumah ialah dirinya. Dengan perasaan kesal Gerry melangkah menuju kamarnya.

•••

Maya menguap kecil tatkala rasa kantuk mulai menyerang perempuan itu. Tatapan matanya menatap jam dinding yang sudah menunjukkan pukul sembilan malam.

Selepas kepergian Gerry menuju kamarnya, pria itu sama sekali tidak menampakkan batang hidungnya. Maya mengendikkan bahunya acuh. Tidak perduli dengan keberadaan pria yang sedang menampungnya itu.

Maya menatap layar TV di depannya dengan tatapan bosan. Sudah lebih dari dua jam ia menonton TV yang bahkan tidak ia sukai itu.

Niat hati ingin bermain ponsel dan melupakan rasa bosannya, baterai ponselnya malah habis. Maya menggeram frustasi. Perempuan itu tidak bisa berada di posisi ini. Setelah mengisi perutnya dengan stok mie instan yang ada di lemari makanan, membuat Maya mengantuk.

Akan tetapi, perempuan itu gengsi jika harus menanyakan tempat ia tidur kepada Gerry. Gengsi Maya itu sangatlah besar. Bahkan mengalahkan rasa takutnya dengan seekor cicak.

Karena sudah tidak dapat menahan rasa kantuknya lagi, perlahan kedua kelopak mata Maya tertutup sempurna. Dengkuran halus yang terdengar menandakan jika ia sudah terlelap menuju alam bawah sadarnya.

Suara derap langkah kaki terdengar menuju ruang tengah, dimana Maya berada. Gerry menggelengkan kepalanya saat netranya menatap Maya yang sudah terlelap dengan posisi sangat tidak aesthetic. Bagaimana mungkin? Salah satu kaki Maya terbuka sedikit lebar.

Dengan sedikit jengkel dan sangat terpaksa, Gerry menyelipkan salah satu tangannya pada lipatan lutut Maya. Pria itu menggendong Maya ala bridal style dan membawa perempuan menyebalkan itu ke dalam sebuah kamar.

Gerry merebahkan tubuh Maya di atas kasur. Tak lupa pria itu menarik selimut putih yang menutupi tubuh Maya hingga sebatas dada. Sejenak Gerry terdiam menatap wajah cantik Maya.

Maya terlihat sangat menggemaskan ketika ia sedang tertidur seperti ini. Lain ceritanya jika perempuan itu terbangun. Maya akan terlihat sangat menyebalkan bagi Gerry. Perempuan yang selalu mencari masalah dengannya.

Padahal, dahulu ketika masih kecil mereka sangatlah dekat. Bahkan hari-hari Gerry selalu ditemani oleh si cerewet Maya. Entah mengapa keduanya kini sangatlah jauh. Dalam artian, tidak sedekat dulu. Maya terlihat enggan jika berdekatan dengan Gerry.

“Good night Aya,” bisik Gerry setelah pria itu mematikan saklar lampu kamar.

Gerry melangkahkan kaki jenjangnya meninggalkan Maya yang sudah terlelap.

•••

🐅Jangan lupa vote dan komen🐅

Married with Playboy (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang