Dua garis merah.
Maya menatap sebuah benda di tangannya dengan tatapan tidak percaya. Jantungnya berdebar lebih cepat dari kapasitas biasanya.
Setelah insiden tadi, Ibu mertua Maya itu berinisiatif membelikan testpack berbagai macam untuk Maya. Intan hanya ingin memastikan terlebih dahulu dari benda tersebut, sebelum meminta Gerry membawa menantunya menuju dokter kandungan.
"Gimana hasilnya? Sudah keluar belum?!" teriak Intan dari luar kamar mandi.
Wanita setengah baya itu terlihat heboh sendiri ; mondar-mandir tak jelas, dengan mulut berkomat-kamit. Namun tak urung tatapan matanya yang menyiratkan harapan penuh akan sesuatu.
Pintu kamar mandi dibuka oleh Maya. Sontak saja Intan beringsut menghampiri sang menantu dan meraih testpack tersebut dari tangan Maya.
"Dugaan Papa benar," lirih Intan yang tidak dapat menyembunyikan perasaan bahagia yang tengah menyelimutinya.
Anton tersenyum tipis seraya mengusap bahu Maya-menantunya lembut. Maya hanya tersenyum simpul melihat Papa mertuanya yang kini tengah menenangkan istrinya yang tengah menangis bahagia.
Tatapan wanita itu beralih menuju Gerry yang sejak tadi hanya diam tidak memberikan reaksi apa pun. Pikiran negatif mulai menghampiri Maya. Apakah Gerry benar-benar bahagia atas kabar ini? Namun, kenapa pria itu hanya diam saja?
Maya terhenyak tatkala tubuhnya didekap oleh Gerry dengan erat. Pria itu mengusap punggungnya dengan perlahan. Maya dapat merasakan debaran jantung Gerry yang kini berdetak dengan cepat.
"Terima kasih," bisik Gerry seraya masih mendekap istrinya.
Intan saling bersitatap dengan suaminya. Kedua pasangan suami istri itu mengulas senyum melihat interaksi Maya dan Gerry.
•••
Hari demi hari berlalu. Tak terasa sudah satu minggu lamanya kedua mertua Maya menginap di rumah mereka. Tepatnya hari ini kedua mertua Maya itu akan berpamitan kembali menuju desa, tempat dimana mereka tinggal.
"Ingat pesan Mama ya, jaga pola makannya. Jangan terlalu kecapekan, jangan stress. Kalau ada apa-apa, jangan sungkan hubungi Mama dan Papa." tutur Intan sembari memegang kedua lengan Maya.
Maya mengangguk patuh. "Terima kasih ya Ma, sudah jauh-jauh datang kesini." balas wanita itu.
Kedua sudut bibir Intan tertarik. "Iya sayang, Mama senang bisa tinggal sementara disini. Apalagi sebentar lagi nanti Mama bisa momong anak kalian," seru Intan yang tak dapat menyembunyikan raut bahagianya.
Gerry berdecak kecil. "Ck, masih lama kali Ma," ujarnya santai.
Plak!
Gerry memberengut tak suka tatkala sang Ibu memberikan sebuah pukulan pada lengannya. Memang tidak terasa apa-apa, hanya saja ekspresi Gerry yang terlalu dilebih-lebihkan.
"Cucuku sehat-sehat ya, sampai ketemu nanti," ujar Intan sembari mengelus perut Maya lembut.
"Ger, Papa titip Maya. Ingat, Istrimu sedang mengandung darah dagingmu. Jangan pernah sekali-kali membuatnya terluka." Anton berkata dengan tenang namun sorot matanya menyiratkan keseriusan.
Gerry berdeham kecil.
Gerry heran dengan kedua orang tuanya. Padahal, disini dia 'kan yang menjadi anak kandungnya. Tetapi, kenapa mereka menganggapnya seolah ia orang lain? Ah tidak tahu lah, Gerry tidak ingin memusingkan hal itu.
"Kalau begitu, Mama dan Papa pamit ya. Nanti kapan-kapan kami kesini lagi," ujar Intan sembari memeluk singkat tubuh sang menantu.
"Hati-hati di jalan ya Ma, Pa," Maya berucap pelan.
Intan meraih tubuh putranya. Kini, putra bungsunya sudah akan menjadi seorang Ayah. Intan berharap Gerry akan selalu menjaga Maya dan keluarga kecilnya kelak.
"Sehat-sehat disini. Kalau masih mual, makannya ganti pakai bubur saja," tutur Intan setelah melepaskan pelukan keduanya.
Gerry hanya mengangguk. Pria itu merangkul pundak Maya saat melihat kedua orang tuanya sudah memasuki mobil. Tak berselang lama kemudian, mobil milik kedua orang tuanya pun meninggalkan kawasan perumahannya.
"Yuk, masuk!" ajak Gerry yang masih setia merangkul pundak Maya, sembari berjalan memasuki rumah.
•••
"Lo senang?" pertanyaan Maya sontak menghentikkan Gerry yang tengah asik bermain game.
Pria itu menaikkan salah satu alisnya. "Tentu, gue udah lama nunggu kehadiran dia." sahutnya dengan senyum simpul.
Maya menghela napas sejenak.
"Kenapa?" Gerry balik bertanya saat melihat tingkah istrinya.
Maya hanya menggeleng kecil. "Gue.. Takut Ger," cicitnya pelan.
Gerry berhenti bermain game. Pria itu beringsut mendekati sang istri. Salah satu tangannya memegang bahu Maya.
"Lo nggak usah takut. Disini, kita dikasih kesempatan sama Tuhan buat belajar banyak hal. Salah satunya, buat belajar menjaga dia." Gerry tatap kedua mata Maya dengan lekat.
"Lo tahu? Sebelumnya gue nggak pernah ngerasain perasaan seperti ini. Gue bahagia, senang, terharu.. Saat tahu di perut lo ada anak kita." Gerry berkata dengan tenang.
Maya hanya diam. Gerry memaklumi sikap istrinya. Pasti Maya sedang merasakan perasaan yang sangat campur aduk. Satu yang pasti, Gerry tidak akan membiarkan Maya melewati semuanya sendirian.
"Banyak diluar sana yang pengen merasakan hal kayak kita. Jadi, jangan sia-siakan kesempatan yang sudah Tuhan kasih ya?" Gerry meraih salah satu tangan Maya dan mengecupnya singkat.
Perasaan Maya menghangat setelah mendengar perkataan Gerry. Wanita itu bertekad mencoba menjalani semuanya dan menghalaui rasa takut yang selalu hadir menghantuinya.
Semoga, apa yang diucapkan Gerry benar adanya. Semoga pria itu selalu berada disisinya. Batin Maya penuh harap.
🐅Jangan lupa vote dan komen🐅
KAMU SEDANG MEMBACA
Married with Playboy (End)
General FictionKehidupan Maya terasa jungkir balik setelah perempuan itu terikat perjodohan konyol yang diusulkan oleh Oma-nya. Terlebih yang menjadi calon suaminya ialah Gerry si laki-laki playboy cap badak yang tak lain merupakan teman semasa SMA-nya dulu. Kira...