Bab 7

15.3K 606 8
                                    

Satu minggu sudah berlalu dengan cepat. Tepatnya hari ini, pernikahan Maya dan Gerry akan dilaksanakan di kediaman rumah perempuan itu.

Siap tidak siap, rela tidak rela, dalam hitungan detik status Maya akan berubah menjadi seorang istri untuk Gerry.

Acara pernikahan ini dilaksanakan secara sederhana. Hanya mengundang sanak saudara dari kedua belah pihak keluarga. Tak lupa, beberapa teman dekat dari mempelai pengantin pun turut hadir menyaksikan acara pernikahan keduanya.

“Saya terima nikah dan kawinnya Maya Bethari binti Arhan Nugroho dengan mas kawin lima puluh gram emas dan uang tunai sebesar satu miliar dibayar tunai!”

Suara lantang Gerry terdengar tatkala lelaki itu mengucapkan ijab kabul dalam satu tarikan nafas. Para tamu yang menyaksikan pun sontak mengucap syukur dan serentak mendoakan agar kedua pengantin baru itu menjalani pernikahan yang sakinah, mawadah, dan warohmah.

Entah mengapa, hati Maya bergetar saat ia mendengar suara lantang Gerry tadi. Perempuan itu mengepalkan kedua tangannya berusaha menormalkan kembali perasaannya yang sedang gundah.

“Papa lega. Akhirnya Maya sudah menemukan pendamping hidupnya.” ujar seorang lelaki setengah baya yang tampak gagah mengenakan jas hitam di tubuh tegapnya.

Gerry tersenyum tipis mendengar ucapan Ayah mertuanya.

“Gerry, Papa titip Maya ya. Papa yakin, kamu pasti bisa membahagiakan putri Papa.” lanjut lelaki setengah baya itu seraya menatap wajah menantunya dengan tatapan hangat. 

Gerry mengangguk singkat. Lelaki itu melirik ke sampingnya. Maya, perempuan yang sudah sah menjadi istrinya beberapa menit yang lalu, hanya diam tidak bereaksi apapun saat Ayahnya menghampiri keduanya.

“Maya.. boleh Papa peluk kamu?” pinta Arhan dengan suara lirihnya.

Maya membuang muka ke lain arah. Perempuan itu muak dengan lelaki setengah baya yang ada di hadapannya. Sialnya itu adalah Ayahnya sendiri. Lelaki yang menjabat sebagai Ayahnya itu, meninggalkan kenangan buruk di masa kecilnya.

“Kalau Maya nggak mau nggak-papa. Papa nggak maksa Maya,” tutur Arhan yang sejak tadi tidak mengalihkan tatapannya dari wajah cantik putrinya.

“Dua menit.” ketus Maya dengan suara cukup pelan.

Kedua bola mata Arhan membulat tidak percaya. Tanpa berkata apa pun, lelaki setengah baya itu melangkah mendekati putrinya. Arhan mendekap tubuh Maya erat. Bibirnya mengecup puncak kepala Maya berulang kali.

Ah, rasanya Arhan ingin sekali mengulang waktu. Akhirnya setelah bertahun-tahun lamanya, Arhan bisa kembali merasakan dekapan putrinya. Sudah lama sekali lelaki itu menantikan momen ini. Tanpa sadar, kedua matanya berkaca-kaca.

Gerry yang sejak tadi menyaksikan interaksi Ayah dan anak itu hanya bisa diam. Matanya sejak tadi melihat ekspresi wajah istrinya saat Ayah mertuanya mendekapnya. Gerry tahu, saat ini Maya sedang tidak baik-baik saja.

“Pa, dipanggil Oma ke ruang tengah.” Celetukan seorang remaja laki-laki berhasil menghentikan interaksi antar Ayah dan anak itu.

Maya menguraikan pelukan Ayahnya dan melangkah mundur menjauhi sang Ayah. Arhan hanya bisa tersenyum pedih melihat respon putrinya.

Padahal, lelaki itu masih merindukan Maya. Arhan rindu dengan Maya, putri kecilnya. Arhan rindu dengan rengekan manja Maya. Arhan rindu dengan semua yang melekat tentang putrinya itu.

Arhan mengangguk singkat. “Papa tinggal dulu.” Pamitnya seraya melangkah meninggalkan ketiga manusia dengan berbagai pikiran yang berbeda.

“Mbak, selamat ya. Semoga cepet dikasih momongan. Udah nggak sabar nih, gendong ponakan!” Celetuk remaja lelaki itu sembari cengengesan tak jelas.

“Oh ya, kata Papa, sekali-kali Mbak nginep di rumah Papa dong. Kasian Papa Mbak, Papa selalu nungguin Mbak Maya ke rumah.” lanjutnya lagi dengan raut wajah sedikit memelas.

“Hm, kapan-kapan.” sahut Maya cuek bebek.

Remaja yang sudah memasuki usia tujuh belas tahun itu berdecak gemas. Dia adalah adik Maya. Adik tiri lebih tepatnya. Mereka memang satu Ayah. Namun, mereka dilahirkan dari rahim yang berbeda. Remaja laki-laki itu bernama Revan.

“Yaudah Revan pamit mau nyusul Papa ke depan ya Mbak.” ujarnya yang hanya disahut anggukan singkat dari Maya.

Baru beberapa langkah menjauh, Revan kembali membalikkan tubuhnya. Melihat itu pun, Maya menaikkan salah satu alisnya.

“Semangat buat Mas Gerry, jangan lupa minum jamu penguat Mas!” seru Revan seraya cekikikan tidak jelas .

Gerry mengulum bibirnya dalam mendengar perkataan dari adik iparnya. Berbeda dengan Maya yang sudah menampilkan raut masam.

Maya mendelikkan matanya sebal saat punggung Revan sudah tak terlihat. “Ck, dasar bocah.” gerutunya dengan ketus.

•••

Acara pernikahan Maya dan Gerry berjalan dengan lancar. Sebagian sanak saudara dari kedua belah pihak mempelai sudah pulang. Sebagiannya lagi masih berada di kediaman Maya.

Suara riuh serta petikan gitar terdengar secara bersamaan. Memang, saat ini Gerry dengan beberapa sepupunya serta temannya sedang berada di halaman belakang. Mereka tengah mengadakan acara bakar-bakar.

Gerry yang tengah memegang gitar milik sepupunya pun mulai memainkannya. Jari jemarinya perlahan mulai memetik senar demi senar. Suara merdu khas seorang Gerry mulai terdengar membuat suasana malam ini menjadi sangat meriah.

Maya, yang duduk tak jauh dari Gerry hanya memperhatikan suaminya itu dalam diam. Maya akui jika kemampuan lelaki itu dalam bernyanyi sangatlah patut diacungi jempol. Tak hanya itu, Gerry juga bisa memainkan beberapa alat musik.

Maya sudah tidak heran lagi dengan kemampuan lelaki itu.

Karena semasa SMA-nya dulu, Gerry memang memasuki ekstrakulikuler band. Tak hanya itu, setelah hidup selama dua puluh empat tahun sebagai tetangga lelaki itu, Maya jadi mengetahui jika Gerry—suaminya memiliki hobi dalam bidang musik sejak dia kecil.

Tanpa sadar kedua matanya terpejam karena saking ia menikmatinya suara lembut Gerry yang sedang bernyanyi. Lirik demi lirik dari lagu You’re Gonna Live Forever in Me, Gerry nyanyikan dengan suara indahnya.

•••

“Eungghh,” Maya melenguh seraya mencoba membuka kedua matanya yang terasa berat.

Perlahan kedua mata indah itu terbuka sempurna. Maya mengerjapkan kedua matanya seraya mengumpulkan nyawanya.

Saat kepala perempuan itu menoleh ke samping, betapa terkejutnya dia mendapati seorang lelaki tertidur di kasurnya dengan kondisi shirtless. Bertelanjang dada.

“Aaaaaaa!” teriak Maya seraya menendang kaki lelaki itu dengan tidak berperasaan.

Gerry, yang merasa sakit di area kakinya pun sontak terbangun. Lelaki itu menatap Maya dengan tajam. Jangan lupakan wajah bantalnya serta rambutnya yang acak-acakan. Semakin menambah kesan hot pada lelaki itu.

Mungkin jika kebanyakan perempuan akan berteriak histeris melihat penampilan Gerry yang sangat menggoda iman mereka. Namun, tidak dengan Maya.

Maya meneguk salivanya kasar. “K-kenapa lo nggak pake baju sih?” gerutu perempuan itu seraya menutup wajahnya menggunakan kedua tangannya.    

Gerry memutar bola matanya jengah. “Suka-suka gue!” sewotnya seraya menggaruk rambutnya asal.

Maya bergidik seraya melangkah meninggalkan kamarnya. Gerry yang melihat kepergian Maya hanya mampu mengelus dadanya sabar.  

“Ck, sial. Hari pertama aja udah kdrt!” gumam Gerry menatap pintu kamar Maya kesal.

•••

🐅Jangan lupa vote dan komen🐅

Married with Playboy (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang