Bab 28

11.7K 381 0
                                    

Belum genap sehari wanita bernama Bia itu tinggal di rumah ini, Maya sudah dibuat kesal berkali-kali lipat olehnya. Dilihatnya Bia yang tengah berbaring di ruang keluarga seraya asik menonton sebuah tayangan lewat televisi, tanpa terganggu sedikit pun dengan tatapan menelistik Maya.

"Ekhem, berasa jadi nyonya di rumah ini heh," dengus Maya terang-terangan menyindir Bia dengan kalimat sarkasnya.

Bia hanya melirik tak tertarik pada Maya. Wanita itu sesekali tertawa kecil tatkala tayangan televisi menayangkan sebuah lelucon yang Maya pikir sangat tidak lucu sama sekali.

Dimana letak lucunya? Pikir Maya.

"Mau sampai kapan lo tinggal di rumah ini?" tanya Maya penuh penekanan.

Bia mengendikkan bahunya acuh. "Uhm, selamanya?" balasnya terlalu santai.

Maya melotot. "Cewek gila," umpat Maya, yang kemudian mengusap perut buncitnya berharap anak-anaknya tidak mendengar umpatan yang ia keluarkan.

Bia hanya terkekeh kecil melihat respon Maya. "Sudah berapa bulan?" tanya wanita itu sembari melirik perut buncit Maya.

"Kepo," balas Maya enggan memberitahu.

Tercipta keheningan sejenak tatkala Maya maupun Bia, sama-sama terdiam menikmati tayangan televisi. Kedua wanita itu sama-sama fokus tanpa menyadari kehadiran sosok Gerry yang saat ini tengah berjalan ke arah ruang keluarga.

Gerry menggeleng kecil saat pria itu melihat Maya dan Bia-temannya saling diam. Pria itu berdeham cukup keras membuat atensi Maya teralihkan dari tayangan televisi.

"Sudah pulang?" tanya Maya basa-basi.

"Hm, aku bawakan pesanan kamu." ujar Gerry seraya menyimpan dua buah kotak dus berisi martabak pesanan istrinya.

Sorot mata Maya berbinar melihat makanan yang dibawakan Gerry. Wanita itu tanpa sabar meraih salah satu kotak martabak dan membukanya.

Bia hanya melirik tak tertarik pada dua pasangan itu. Jauh di lubuk hatinya yang paling dalam, ia merutuki dirinya yang seakan iri melihat Maya diperlakukan sebaik itu oleh suaminya.

Andai saja Bia tidak menikah dengan pria bajingan itu. Bia menggeleng samar berusaha mengontrol dirinya dan menghela napas sejenak.

Maya mengernyit melihat tingkah aneh Bia.

"Kalau mau ambil aja kali, nggak usah sok-sok an gengsi. Ngiler 'kan lo?" cerocos Maya seraya melahap sepotong martabak dengan lahap.

Gerry mengusap sudut bibir Maya yang belepotan. Pria itu menatap ke arah Bia yang masih asik bergelung dengan pikirannya.

"Makan Bia, itu buat kamu. Sengaja beli dua, Maya yang minta." ucap Gerry seraya menyodorkan sekotak martabak ke arah Bia.

Maya mendelik mendengar ucapan Gerry. Hello! Sejak kapan Maya seperhatian itu dengan orang asing? Memang benar, Maya menyuruh Gerry untuk membeli dua kotak martabak. Tetapi 'kan.. Ah sudahlah!

Bia mengulum bibirnya. Perlahan wanita itu meraih kotak martabak dan memakannya perlahan.

"Baik juga ternyata," ujar Bia yang ditujukkan pada Maya.

Maya hanya meliriknya sinis.

•••

"Tumben belum tidur?" Gerry menutup pintu kamar tak lupa menguncinya.

Kepala Maya terangkat tatkala suara suaminya terdengar. Wanita itu hanya tersenyum simpul tanpa menjawab pertanyaan dari Gerry.

"Lihat apa sih? Serius banget," Gerry beringsut mendekati istrinya yang tampak asik dengan kegiatannya bermain ponsel.

"Hm jadi benar ternyata," gumam Maya dengan jemari lentiknya yang asik menyusuri setiap informasi yang ia baca di salah satu situs internet.

"Benar apa?" Gerry bertanya sembari mengintip ponsel Maya.

"Bia, teman kamu. Ternyata dia istri dari seorang pejabat papan atas? Tapi, suaminya dengan gila korupsi dan bermain wanita?" sambar Maya tak habis pikir.

"Mantan istri lebih tepatnya, Bia sudah menggugat cerai pria itu." ujar Gerry.

"Hm.. Nggak hanya itu, dia juga melakukan kekerasan terhadap Bia." tambah Gerry dengan suara pelan.

"What the fuck?!" umpat Maya tak sadar.

Gerry menatap Maya kesal. "Ck, Ibu hamil nggak boleh ngumpat sembarangan." nasihatnya yang langsung mendapat cengiran dari Maya.

"Padahal dulu banyak sekali yang tergila-gila dengan Bia. Nggak heran sih, dia cantik dan pintar. Dulu aja aku sempet kesemsem sama dia." celoteh Gerry yang tanpa sadar membuat suasana kamar menjadi panas.

Seperkian detik kemudian Gerry menoleh pada istrinya. Pria itu memasang wajah konyol seraya meringis kecil. Sadar kesalahan kecil yang telah diucapkannya.

"Oh gitu.. Pantas aja kamu mau nampung dia di rumah ini. Jadi itu alasannya." tekan Maya sinis.

Gerry memasang wajah melas. "Bukan gitu sayang, 'kan aku udah ceritakan kemarin. Masa kamu nggak percaya sama suami sendiri sih?" Gerry berujar panik.

"Aku udah tobat loh jadi playboy. Nggak akan macam-macam, apalagi sama kamu." janji Gerry terdengar sangat manis.

"Cih," Maya berdecih kecil.

Wanita itu sudah kebal. Maya hanya ingin menggoda Gerry dan melihat reaksi pria itu saja.

"Kok kamu nggak cemburu?" sulut Gerry saat menyadari jika Maya hanya terdiam dengan tenang.

"Cemburu? Sama kamu? Mana ada," balasnya terkekeh kecil.

Gerry memasang wajah kesal. "Ck, dasar macan betina." bisiknya sehalus sutra.

"Apa? Kamu ada bilang sesuatu?" tanya Maya sembari menelistik suaminya.

Gerry meneguk ludahnya kasar. "Nggak ada, udah ayo tidur. Sudah malam, nggak baik untuk kesehatan kamu dan anak-anak." ajak Gerry sembari menarik tubuh Maya untuk dibawa ke dekapannya.

Gerry sudah memejamkan kedua matanya. Namun ia kembali terbangun tatkala mendengar permintaan istrinya.

"Ger, anak-anak kangen kamu. Pengen dijenguk katanya." ucap Maya tanpa beban.

🐅Jangan lupa vote dan komen🐅

Married with Playboy (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang