Bab 4

16K 644 6
                                    

Keesokan harinya Maya terbangun pukul delapan pagi. Perempuan itu sejenak mengumpulkan kesadarannya yang belum sepenuhnya terkumpul. Kedua matanya menilik isi kamar yang tengah ia tempati.

Maya menggerutu sebal dalam hatinya. Sekarang ia ingat, jika ia sedang berada di rumah Gerry. Dengan segera perempuan itu menyingkap selimut tebal yang membungkus tubuhnya. Ah, ternyata pria itu juga yang memindahkannya semalam. Pikir Maya.

Maya memutar knop pintu dan melangkah keluar dari kamar tersebut. Langkah kakinya terbawa menuju dapur saat dirasa tenggorokannya merasa cekat. Setelah sampai di dapur, langkah Maya terhenti ketika kedua matanya melihat pemandangan di depannya.

Gerry—Pria pemilik rumah ini tampak menikmati kegiatannya bersama Gita—sang kekasih. Kedua sejoli itu tidak merasakan kehadiran Maya. Maya berdecih saat melihat kegiatan keduanya yang tengah berciuman.

Posisi Gita yang tengah duduk diatas meja memudahkan Gerry melancarkan aksi nakalnya. Pria itu mendorong pelan tubuh sang kekasih hingga tubuh Gita sedikit terbaring pada meja makan. Bunyi decapan keduanya memenuhi ruangan dapur.

Maya sungguh tidak kuat. Dia berdeham cukup keras hingga membuat Gerry serta Gita sontak menghentikan aktivitasnya sejenak.

Bahkan, Gita sudah mendorong lebih dulu dada bidang Gerry. Gerry menoleh pada sosok yang masih berdiri diujung sana.

“Udah bangun?” tanyanya sekadar basa-basi.

Maya memutar bola matanya jengah. “Nggak, masih molor.” sahutnya sembari melangkah meraih air dingin dari dalam kulkas.

Gita membenarkan posisi duduknya serta merapikan kembali pakaiannya yang sudah setengah terbuka akibat ulah ganas Gerry. Bahkan bibir perempuan itu menjadi bengkak karena Gerry. Begitupun dengan Gerry, pria itu sedikit berdeham kecil guna menghalaui atmosfir di dalam ruang dapur ini.

Setelah meneguk air dingin, Maya mendesis kecil. Tangannya kembali menutup pintu kulkas dengan kencang. Sengaja. Perempuan itu melirik sinis pada Gerry yang kini sudah mendudukkan pantatnya di salah satu kursi makan.

“Pagi yang sangat indah, bukan?” sindir Maya membuat semburat merah hadir di kedua pipi Gita.

Gerry berdecak pelan. “Nih, beli bubur di depan buat sarapan.” Gerry menyerahkan selembar uang berwarna biru kepada Maya.

“Lo nyuruh gue?” tanya Maya tidak percaya seraya menunjuk dirinya.

“Udah cepet sana.” Bukannya menjawab, Gerry malah berkata lain.

Wajah Maya memerah menahan rasa kesalnya. “Gue bukan pembantu lo. Beli aja sendiri.” Maya tidak menerima uang yang diberikan Gerry.

“Ck, lo itu bisanya ngapain sih May? Gue cuman minta lo buat beliin bubur di depan. Kasihan, Gita belum sarapan dari tadi.” Gerry menatap maya dengan tatapan jengkel.

Rasanya pagi hari yang cerah ini dapat membuat mood Maya memburuk. Perempuan itu melangkah mendekati Gerry dengan wajah datar. Salah satu telunjuknya mendorong dada bidang Gerry dengan pelan.

“Oh jadi buat dia? Suruh aja beli sendiri.” ucap Maya arogan serta melipat kedua tangannya di depan dada.

Gita yang baru mengetahui sikap Maya sontak membuatnya emosi. Perempuan itu bangkit dari duduknya dan menunjuk wajah Maya dengan tidak sopan.

“Heh, lo itu cuman numpang disini. Jangan sok meraja deh.” sambar Gita yang sudah tidak tahan dengan sikap Maya.

Maya tertawa geli melihat raut tidak bersahabat Gita. “Suka-suka gue lah. Emangnya lo siapa?” tantang Maya dengan mengangkat dagunya tinggi.

“Gue? Gue pacarnya Gerry lah..” jawab Gita tidak terima.

“Pacar? Hm… Gue rasa, lo itu lebih pantas disebut jalang?” Maya tersenyum miring melihat wajah marah Gita.

Saat Gita hendak melayangkan tamparan pada pipi Maya, sontak kedua mata Maya terpejam. Akan tetapi, perempuan itu tidak merasakan rasa sakit yang menjalar pada pipinya sama sekali.

Perlahan kedua matanya mulai terbuka. Maya melihat jika Gerry, menahan tangan Gita yang hendak menamparnya. Sudut bibir Maya sedikit terangkat keatas. Baiklah, ini akan sangat menyenangkan. Ujarnya dalam batin.

“See? Lo lihat? Cowok lo aja ngelindungin gue dari lo.” ejek Maya tersenyum penuh kemenangan.

Gita menghempaskan tangan Gerry yang menahan tangannya untuk menampar Maya. Matanya menatap kedua mata tajam Gerry dengan sedikit tidak percaya.

“Kamu kenapa tahan aku sih?” seru Gita menggebu-gebu.

Gerry menghela napasnya gusar. “Pulang Git.” ujar pria itu dengan nada tenang.

Gita membelalakan kedua matanya. “Apa? Pulang kamu bilang?” Rasanya gendang telinga Maya akan pecah mendengar teriakan Gita.

“Kamu kok bisa-bisanya belain dia sih. Disini aku yang jadi pa—“

“Pulang Gita. Jangan sampai gue ngulangin perkataan yang sama.” sarkas Gerry menatap Gita dengan tatapan dinginnya.

Hati Gita sakit tatkala ia mendapat perlakuan seperti itu dari Gerry—kekasihnya. Dengan napas menggebu Gita meninggalkan rumah Gerry dengan menghentakan kakinya kesal.

“Udah puas?” tanya Gerry saat pria itu melihat tawa Maya mengudara begitu saja.

Maya menghentikan tawanya kemudian menatap sorot tajam Gerry.

“Ya. Kali ini cukup menarik. Tumben banget lo belain gue.” Maya menatap aneh pada Gerry.

Tidak biasanya pria itu mau membelanya. Biasanya, Gerry akan selalu membela pacarnya jika Maya sudah melakukan aksi seperti tadi. Namun, berbeda dengan kali ini. Entah apa yang terjadi dengan pria playboy itu.

“Jangan ge’er. Gue tahu pasti lo bakalan ngadu sama Oma, ‘kan?” sindir Gerry seraya tersenyum miring.

Sial. Maya dibuat mati kutu oleh pernyataan Gerry.

“Dasar, tukang ngaduan.” Gerry mendengus sebal seraya melangkah meninggalkan Maya.

•••

Maya menatap pria di depannya dengan tatapan heran. Pasalnya, sedari tadi Gerry terus mendiamkannya. Biasanya, pria itu selalu mencari ribut dengannya. Tidak tahan dengan situasi ini, Maya pun membuka suara.

“Lo marah?” tanya perempuan itu dengan hati-hati.

Gerry tetap fokus menatap layar TV di depannya. “Buat apa marah?” sahutnya tanpa menatap sang penanya.

Maya menghembuskan napas kesal. “Terus kenapa lo diemin gue? Biasanya lo bakalan koar-koar kalau gue buat ulah. Itu artinya, lo marah ‘kan sama gue.” ujar Maya dengan suara lantang.

Gerry mengacak rambutnya kasar. “Gue lagi nggak mood buat ribut sama lo.” ucap Gerry sembari menatap datar pada Maya.

“Oh, gue kira lo marah sama gue. Hah, emang ya, cowok buaya kayak lo itu ngeselin.” Dengan santainya Maya menyandarkan kepalanya pada sofa.

Maya menikmati layar TV di depannya dengan serius. Tak ayal perempuan itu tertawa kecil. Berbeda dengan Gerry yang menatap lurus dengan tatapan sulit diartikan.

Hatinya sedang kacau sekarang. Kepalanya sangat mumet saat pria itu memikirkan hal lain yang akan mengubah alur hidupnya.

•••
🐅Jangan lupa vote dan komen🐅

Married with Playboy (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang