Bab 22

14.8K 461 2
                                    

Di dalam sebuah ruangan kamar, Maya masih berkutat dengan kegiatan rutin malamnya ; memakai skincare malam. Namun sesekali terdengar helaan napas berat dari wanita itu.

Gerry yang sedari tadi memperhatikan sang istri pun menatap Maya dengan tatapan heran. Pasalnya, tidak seperti biasanya Maya bersikap lebih pendiam dari hari-hari biasanya.

"Ada masalah?" tanya Gerry memecahkan keheningan diantara mereka berdua.

Maya menatap Gerry lewat pantulan kaca riasnya. Gelengen singkat menjadi respon yang Maya berikan untuk Gerry.

Gerry tidak tinggal diam. Pria itu beringsut mendekati Maya dan berdiri tepat dibelakang tubuh Maya.

"Jangan pakai krim yang itu," larang Gerry saat Maya hendak memoleskan salah satu krim malamnya.

Maya mengerutkan keningnya, "Kenapa?" tanya wanita itu penasaran.

"Ck, pahit. Enggak enak kalau dijilat," Gerry berdecak sebal.

Maya terkekeh kecil, "Alesan," gumam wanita itu, namun Maya tetap memoleskan krim malamnya membuat wajah Gerry cemberut.

"Hm, May." panggil Gerry.

Maya merespon dengan menaikkan salah satu alisnya seolah berkata ada apa.

"Soal perkataan Mama tadi, jangan terlalu dipikirkan ya? Gue nggak mau lo merasa terbebani karena Mama." tutur Gerry dengan ekspresi serius.

Maya menatap wajah tampan Gerry lewat pantulan kaca. Memang benar apa yang dikatakan oleh Gerry, wanita itu tengah memikirkan ucapan Ibu mertuanya.

"Tapi gue nggak mau bikin Mama kecewa sama kita," balas Maya dengan wajah resah.

"Memangnya lo udah siap kalau kita punya anak?" sarkas Gerry tepat sasaran.

Maya terdiam berusaha mencerna ucapan pria yang sudah menjadi suaminya dalam waktu satu tahun ini. Keterdiaman Maya membuat Gerry menghembuskan napas berat.

"Kalau boleh jujur, gue sebenarnya pengen banget punya anak secepatnya. Tapi 'kan harus ada kesepatan berdua. Gue nggak bisa egois tanpa mikirin perasaan lo." Gerry berucap sembari memejamkan kedua matanya.

Maya memutar tubuhnya menghadap Gerry yang kini tengah berbaring di atas kasur. Wanita itu merasakan ketulusan tatkala Gerry berucap demikian.

"Lo... Serius pengen punya anak sama gue?" Maya bertanya ragu.

Kedua mata Gerry terbuka saat mendengar pertanyaan dari Maya. Pria itu bangkit mendudukkan tubuhnya. Gerry menatap Maya lekat.

"Gue nggak pernah bercanda soal ini." balasnya tegas.

Maya menatap kedua bola mata Gerry lekat. Mencoba mencari kebenaran atas apa yang pria itu ucapkan. Dan hal itu benar-benar demikian adanya. Gerry benar-benar bersungguh-sungguh dengan keinginannya.

"Tapi, gue takut." cicit Maya.

"Gue takut nggak bisa menjadi Ibu yang baik buat anak gue. Lo tahu sendiri 'kan? Gue anak broken home. Gue nggak tahu gimana rasanya kasih sayang dari orang tua gue. Dan gue takut gagal, Ger." ujar Maya seraya menundukkan kepalanya.

Maya memainkan jemarinya tanda jika wanita itu tengah dilanda cemas dan gelisah. Melihat respon Maya pun, Gerry tak tinggal diam.

Gerry meraih kedua tangan Maya. Pria itu mengusapnya lembut. Tatapan teduh ia berikan kepada Maya. Senyum tipis terpatri di wajahnya, membuat ketampanannya bertambah berkali-kali lipat.

"Gue ngerti May, gue ngerti lo masih perlu waktu untuk mencerna semua ini." ujar Gerry.

Maya mendongak membalas tatapan suaminya.

"Tapi, mau sampai kapan lo kayak gini? Ingat, lo nggak sendirian. Ada gue, lo bisa berbagi semuanya dengan gue. Gue siap menjadi sandaran lo." tutur pria itu tanpa melepaskan tatapannya dari kedua mata Maya.

"Jadi, lo mau 'kan kasih kesempatan untuk memulai semuanya dari awal?" tawar Gerry dengan wajah sungguh-sungguh.

Maya tidak bisa berucap apa pun. Wanita itu hanya mengangguk kecil tanda ia menyetujui. Entahlah, Maya merasakan rasa aman dan nyaman tatkala wanita itu berada di dekat suaminya. Dan tidak ada salahnya juga untuk Maya mencoba membuka lembaran baru di hidupnya.

"Yuk," Gerry berucap tiba-tiba.

Maya mengerutkan keningnya tak paham.

"Ck, ayo kita nabung dari sekarang. Gue udah nggak sabar nunggu kehadiran Gerry versi junior," seru Gerry seraya tersenyum lebar.

Sontak Maya menggeplak bahu kekar Gerry. Pria itu, selalu saja bertingkah konyol. Namun tidak menutup kemungkinan, Maya bahagia atas segala kekonyolan yang Gerry buat.

Gerry tertawa terbahak-bahak melihat wajah masam Maya. Pria itu senang sekali menjahili istrinya. Sementara itu, Maya hanya tersenyum simpul.

"Oma, doakan Maya ya.. Semoga Maya selalu bahagia bersama Gerry." ujar Maya dalam hati.

🐅Jangan lupa vote dan komen🐅

Married with Playboy (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang