Tiga hari kemudian.
Sesuai perkataan Anton—Papa Gerry, hari ini kedua pengantin baru itu tengah mengemasi barang-barang pribadi mereka. Mereka akan pindah ke Kota setelah selesai packing dan lain sebagainya.
Maya menatap seluruh penjuru kamarnya. Kurang lebih sudah dua puluh empat tahun, kamar ini menjadi tempat favoritnya.
Kamar ini merekam jelas semua kenangan perempuan itu. Baik itu ketika dia tengah bersedih, kecewa, maupun saat ia bahagia.
Rasanya sedikit tidak rela jika Maya harus meninggalkan kamarnya ini. Tidak hanya kamarnya saja, rumah ini pun sudah menjadi tempat berpulangnya ketika ia merasa gundah gulana.
Maya menghempaskan napas kasar.
Mau bagaimana pun, sekarang dirinya sudah menjadi seorang istri. Tugas dan tanggung jawabnya bertambah.Meskipun Maya tidak rela menjadi istri dari seorang Gerry, tetapi perempuan itu harus tetap menghormati dan melayani suaminya, serta mengikuti kemana pun suaminya pergi.
Tangan perempuan itu terulur mengambil sebuha pigura berukuran sedang. Jari-jemarinya perlahan mengusap sosok perempuan yang berada di dalam pigura tersebut. Itu adalah foto mendiang Ibunya. Maya mengakui jika Ibunya memiliki paras yang sangat ayu.
Meskipun Maya tidak begitu mengenali sosok sang Ibu. Namun, Oma pernah menceritakan tentang sosok mendiang Ibunya. Oma bercerita jika dulu, Ibunya sangat disukai oleh para lelaki. Tidak hanya itu, Ibunya pun memiliki segudang prestasi ketika beliau duduk di bangku sekolah.
“Huft, kangen.” gumam Maya yang terus menatap pigura itu.
Walaupun Maya belum pernah bertemu langsung dengan sosok sang Ibu, akan tetapi perempuan itu sangatlah menyayangi Ibunya. Yang Maya ketahui ialah, jika mendiang Ibunya meninggal setelah berhasil melahirkannya ke dunia.
Maya menoleh ke belakang tatkala mendengar suara pintu kamarnya dibuka oleh seseorang. Ternyata Gerry-lah yang masuk ke kamarnya. Maya berusaha bersikap acuh. Maya lantas memasukkan pigura tadi ke dalam koper miliknya.
“Udah beres?” tanya Gerry seraya menatap Maya yang sedari tadi fokus dengan kegiatannya sendiri.
“Hm.” balas Maya singkat.
“Kalau udah beres packingnya, ayo kita ke ruang keluarga. Oma dan yang lainnya sudah berkumpul disana.”
Setelah mengatakan kalimat tersebut, Gerry kembali meninggalkan kamar Maya menuju ruang keluarga.
Maya pun beranjak berdiri. Ia kembali menatap setiap penjuru kamar. Huft, rasanya Maya ingin kembali mengulang waktu.
Maya menyeret kopernya seraya mengekori Gerry yang sudah lebih dulu menuju ruang keluarga.
•••
“Kok kamu nggak bantuin Maya sih, Ger?” omel Intan saat melihat anak laki-lakinya menghampiri tanpa membantu istrinya sedikit pun.
“Ck, Ma. Maya bukan anak kecil.” gerutu Gerry seraya memutar bola matanya jengah.
“Kamu ini gimana sih, istri sendiri bukannya di bantuin. Dasar suami nggak peka.” Intan menyerocos seraya membantu Maya membawa kopernya.
“Udah Ma nggak-papa. Lagian kopernya nggak berat kok.” sela Maya menghentikan keributan antar Ibu dan anak itu.
Oma, wanita paruh baya itu menatap cucu perempuannya dengan senyuman hangat. Berat rasanya jika beliau harus melepaskan sang cucu. Namun, ini juga demi kebaikan Maya sendiri. Oma khawatir jika Maya masih sendiri ketika beliau berpulang ke hadapan Tuhan nanti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Married with Playboy (End)
General FictionKehidupan Maya terasa jungkir balik setelah perempuan itu terikat perjodohan konyol yang diusulkan oleh Oma-nya. Terlebih yang menjadi calon suaminya ialah Gerry si laki-laki playboy cap badak yang tak lain merupakan teman semasa SMA-nya dulu. Kira...