Mentari pagi sudah memunculkan wujudnya sejak beberapa jam yang lalu. Di dalam ruang keluarga, terdapat beberapa orang dewasa dan beberapa anak kecil yang tengah berbincang-bincang ria. Suasana hangat sangat menyelimuti pagi hari ini.
"Cielah pengantin baru kok baru pada keluar kamar," celetukan Sarah membuat seluruh atensi beralih menatap Gerry dan Maya yang tengah berjalan beriringan keluar dari kamar.
Gerry hanya tersenyum simpul menanggapi ucapan Tante Sarah. Berbeda dengan Maya, yang sudah memutarkan bola matanya jengah. Lagi dan lagi, Tante-nya itu sudah memulai peperangan. Namun, kali ini Maya hanya diam mengabaikan ucapan Tante-nya.
"Kamu ini, kayak nggak pernah merasakan jadi pengantin baru saja. Wajar dong kalau Gerry dan Maya baru keluar kamar jam segini." Oma menyela ucapan putrinya membuat Maya tersenyum miring mendapati pembelaan dari sang Oma.
"Habis berapa ronde semalam Ger?"
Pertanyaan yang ditujukan oleh suami Sarah membuat Gerry tersedak ludahnya sendiri.
Boro-boro satu ronde, yang ada dia malah mendapatkan kdrt dari istrinya itu. Gerry membatin dalam hati.
"Sudah-sudah, kalian nggak lihat wajah menantuku? Kasihan, wajahnya sudah semerah tomat." tutur Intan seraya tersenyum geli.
Sontak Maya mengerjapkan kedua matanya.
Astaga! Kenapa semua orang malah menatap ke arahnya? Untuk menetralkan rasa malunya, perempuan berusia dua puluh empat tahun itu berdeham kecil seraya menggaruk lehernya yang sama sekali tak gatal.
"Oh ya, ada yang mau Papa sampaikan kepada kalian berdua." ucap lelaki setengah baya yang tak lain ialah Ayah Gerry.
Maya dan Gerry sama-sama mendudukkan pantatnya diatas karpet berbulu bergabung dengan keluarganya yang lain. Kedua pengantin baru itu terdiam menanti ucapan apa yang akan disampaikan oleh lelaki tadi.
Tiba-tiba perasaan tak enak menyelimuti hati Maya. Ayolah, dia tidak akan disuruh yang aneh-aneh 'kan? Maya dengan segala pemikiran absurdnya.
"Papa sudah memutuskan Gerry untuk menjadi CEO dan donatur tetap di salah satu sekolah milik Papa." ucapnya lugas dengan raut wajah serius.
Gerry sontak menampilkan raut wajah protes.
"Pa! Papa 'kan tahu, aku itu pengangguran selama ini. Mana mungkin aku tiba-tiba menjadi CEO dan donatur di sekolah Papa?!" protes lelaki itu tidak terima.
"Papa tidak menerima penolakan. Mau tidak mau, kamu harus tetap menuruti ucapan Papa." Lelaki setengah baya itu menatap tajam putra bungsunya.
"Sudahlah Ger, terima saja. Toh sekarang kamu sudah menikah. Bagaimana caramu memberi nafkah istrimu, kalau kamu saja seorang pengangguran?" tukas Galen membuat Gerry berdecak kesal dan menatap sang Kakak dengan aura permusuhan.
Maya sontak menatap Galen, yang sekarang notabene sebagai Kakak iparnya. Sungguh, Maya membenci situasi sekarang.
Kenapa harus Galen yang menjadi Kakak iparnya?
Bagaimana kalau Maya tidak bisa move on dari lelaki tampan itu?
Maya menggeram frustasi seraya mengacak rambutnya kasar.
Perlakuan Maya sontak mendapat respon berbeda-beda dari seluruh keluarganya.
"Kamu kenapa sih May? Tenang aja, suamimu itu pasti kerja kok. Jangan sampai frustasi gitulah," sambar Sarah terlalu santai.
"Iya benar, kamu tenang saja sayang. Mama pastikan Gerry menerima tawaran yang Papa ucapkan tadi." timpal Intan yang ikut-ikutan mencoba menenangkan menantunya.
Gerry mendengus sebal. "Ini namanya pemaksaan, bukan penawaran." gumam lelaki itu dengan wajah sedikit keruh.
Fyi, di usianya yang masih terbilang muda, Gerry mampu menyelesaikan study S2 nya di luar negeri. Namun, setelah lulus bukannya mulai menata kariernya, lelaki itu lebih memilih menjadi seorang pengangguran.
Bukan masalah besar untuknya menjadi seorang pengangguran. Toh, Mamanya tetap mengirimkan uang kepadanya. Selain itu, apa pun keinginannya pasti selalu dikabulkan oleh Mama-nya. Berbeda dengan sang Papa.
Sejak Gerry kecil, lelaki itu selalu dituntut untuk melakukan apa yang Papanya ucapkan. Makanya, Gerry lebih menyayangi Mamanya berkali-kali lipat dibandingkan Papanya yang sudah membuatnya hadir ke dunia ini.
"Papa sudah menyiapkan rumah baru untuk kalian berdua. Itu hadiah pernikahan dari Papa dan Mama." ujar lelaki bernama Anton-Papa Gerry.
"Jadi, tiga hari lagi kamu dan Maya akan berangkat ke Jakarta dan menetap disana." Lanjutnya lagi.
"Terus, rumah disini gimana? Mana mungkin aku kosongin rumah ini."
Gerry berucap dengan wajah masamnya. Mana mungkin dia meninggalkan rumah yang sudah menemani masa-masa kecilnya dulu.
"Kamu tenang saja, Mama dan Papa mulai sekarang akan menetap disini." balas Intan seraya tersenyum hangat.
"Kenapa tiba-tiba?" sahut Gerry yang masih tidak terima jika ia harus meninggalkan rumah yang terdapat sejuta kenangan indah di dalamnya.
"Papa sudah bosan hidup di Kota. Papa ingin menghirup udara segar dan menghabiskan masa tua Papa disini. Salah memangnya?" Belum sempat Intan menjawab, Anton lebih dulu membalas perkataan putra bungsunya.
Gerry hanya mampu mengangguk dengan lemas. Jujur saja, lelaki itu belum siap jika harus hidup di Kota. Apalagi, dia membawa seorang gadis yang berstatus sebagai istrinya.
Gerry tidak bisa menjamin jika hidupnya akan baik-baik saja. Terlebih dia akan hidup bersama dengan perempuan seperti Maya. Perempuan galak, cengeng, manja, terlebih lagi matre.
•••
Maya, Gerry, Galen, beserta Gisha-Istri Galen tengah berkumpul di halaman belakang. Lebih tepatnya diatas gazebo. Sejak awal mereka berkumpul, Maya hanya diam menyimak perbincangan ketiga manusia berbeda generasi itu.
Entahlah Maya sendiri bingung dengan sikapnya. Moodnya sedang tidak bagus. Perempuan itu seakan enggan mengeluarkan sepatah kata pun. Terlebih, pemandangan di depannya membuat matanya sakit. Ralat, hatinya lebih tepatnya.
Maya sebal melihat keromantisan Galen dengan istrinya. Maya kesal. Maya marah. Maya cemburu. Rasanya, perempuan itu ingin menghancurkan semua barang yang berada di sekitarnya.
Namun, Maya tahan perasaan kesal itu sekuat tenaga. Perempuan itu tidak mau Galen melihat sikapnya. Bisa mati jantungan lelaki itu jika mengetahui sikap asli Maya yang jauh dari kata anggun, elegant, dan lemah lembut.
Maya melirik Galen. Tak henti-hentinya perempuan itu mencuri-curi pandang pada lelaki yang disukainya. Pergerakan Maya ternyata tidak luput dari pandangan Gerry. Lelaki itu terkekeh sinis.
"Ekhem, sayang.. Nanti malam kita makan diluar yuk?" tanya Gerry seraya merangkul bahu Maya.
Maya yang mendapat perlakuan seperti itu sontak menoleh pada suaminya. Perempuan itu mengangkat salah satu alisnya. Maya merasakan bahunya dicengkram pelan oleh Gerry.
"O-oh boleh." balas Maya kikuk.
Sialan. Gerry ternyata sedang meledeknya.
Gara-gara dirinya yang terlalu sering curi-curi pandang menatap kemesraan Kakak iparnya itu, ia jadi tertangkap basah oleh lelaki playboy yang sayangnya adalah suaminya sendiri.
"Wah kita boleh gabung 'kan? Biar sekalian double date," seru Gisha dengan wajah cerianya.
Gerry mengangguk setuju. "Boleh dong. Iya 'kan sayang?" Gerry menatap wajah Maya dari jarak dekat seraya tersenyum miring.
Terpaksa.
Maya mengangguk seraya tersenyum kikuk.
•••
🐅Jangan lupa vote dan komen🐅
KAMU SEDANG MEMBACA
Married with Playboy (End)
General FictionKehidupan Maya terasa jungkir balik setelah perempuan itu terikat perjodohan konyol yang diusulkan oleh Oma-nya. Terlebih yang menjadi calon suaminya ialah Gerry si laki-laki playboy cap badak yang tak lain merupakan teman semasa SMA-nya dulu. Kira...