Bab 18

11.7K 375 0
                                    

Genap sudah tujuh hari semenjak kepergian mendiang Oma. Sudah selama satu minggu pula Maya dan Gerry berada di desa tempat kelahiran keduanya.

Gerry paham dengan kondisi Maya. Perempuan itu membutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk benar-benar mengikhlaskan kepergian sang Oma.

Sebenarnya, definisi ikhlas yang sebenarnya itu yang seperti apa? Yang Maya rasakan sekarang, dia sangat berat dan terpaksa untuk merelakan Oma nya pergi, lalu akan terbiasa dengan tanpa kehadiran Oma nya nanti.

Ikhlas ; Terpaksa, lalu terbiasa.

“May, jangan melamun terus.” tegur Intan—Ibu mertuanya.

Maya menoleh ke samping, mendapati sang mertua yang kini sudah mendudukkan tubuhnya di samping Maya. Kemudian, perempuan itu kembali menatap layar televisi di depannya. Tatapan matanya memang mengarah pada televisi, tapi tidak dengan isi kepalanya.

“Kalau ada yang mau kamu sampaikan, jangan sungkan ya sayang. Disini, Mama bukan hanya sekadar sebagai Ibu mertua kamu saja. Mama juga sudah anggap Maya sebagai anak kandung Mama sendiri,” tutur Intan dibarengi usapan tangannya pada tangan Maya.

Maya menatap wajah Ibu mertuanya dengan haru. Perempuan itu menganggukkan kepalanya. Tanpa segan, Maya bersandar pada bahu Intan. Intan pun tak tinggal diam, wanita itu mendekap Maya seraya mengusap punggung rapuh menantunya.

“Ck, anak itu. Gerry masih belum pulang, Ma?” Anton—Papa Gerry datang dari arah ruang dapur seraya berkacak pinggang.

Intan mendongak guna menatap wajah sang suami. “Belum Pa, biarin aja. Mungkin dia masih kangen dengan teman-teman tongkrongannya.” ucapnya mencoba menenangkan sang suami.

Anton menghela napas pasrah. Jika istrinya sudah berkata demikian, dia hanya bisa menuruti tanpa membantah sedikit pun. Anton ini tipe suami yang takut dengan istri. Anton membalik tubuhnya dan kembali menuju ruang dapur, untuk melanjutkan acara mengopinya.

Memang, sudah sejak pukul tiga sore tadi Gerry berkata akan keluar bersama teman-temannya semasa SMA dulu. Maya pun hanya mengizinkan tanpa berniat untuk ikut. Maya tidak tertarik saat Gerry mengajaknya ke tongkrongan lelaki itu dan para teman-temannya.

Maya ingat, saat dia duduk di bangku kelas sebelas dulu, Maya pernah digenitin sama teman setongkrongan Gerry dulu. Maya ilfeel. Sampai saat ini masih ingat dengan orang yang menggoda-nya dulu. Jadi, Maya tidak ingin bertemu dengan teman-teman Gerry.

Padahal, tidak semua teman-teman Gerry seperti itu. Maya hanya berasumsi dengan pemikiran dangkalnya.

•••

Pukul delapan malam, Gerry baru sampai di rumah. Kedua tangannya menenteng kresek lumayan besar. Lelaki itu meletakkan kantong kresek yang dibawanya diatas meja. Kedua matanya celingak-celinguk mencari keberadaan para penghuni rumah.

Kaki jenjangnya melangkah menuju ruang keluarga. Benar saja. Disana, sudah ada kedua orang tuanya yang sedang duduk diatas sofa panjang, Maya yang sedang bersandar manja pada bahu Ibunya, jangan lupakan dua sejoli yang tengah dimabuk asmara saling merangkul satu sama lain tanpa mengingat tempat. Siapa lagi kalau bukan Galen dan Gisha.

“Stop,” Intan mengangkat salah satu tangannya mengintrupsikan putra bungsunya agar berhenti saat ini juga.

Gerry tersentak. Lelaki itu menatap Ibunya dengan kening mengeryit.

“Kenapa sih, Ma?” tanyanya dengan nada kesal.

Intan memicingkan kedua matanya. “Kamu ‘kan habis dari luar. Mandi dulu sana.” titah sang Ibu kepada Gerry.

“Ck, nggak ah. Males, dingin tau mandi malam-malam.” tolak Gerry ringan seraya kembali melangkah ingin menduduki sofa.

Kedua mata Intan melotot, membuat Gerry kembali dibuat berdecak dengan tingkah Ibunya yang menurutnya berlebihan.

“Kamu nggak lihat berita hah? Sekarang ini, kita lagi diserang sama virus. Kamu juga ‘kan habis dari luar, mandi sana. Jangan sampai, pulang-pulang bawa virus ke rumah. Mama nggak mau ya, orang rumah tertular gara-gara kamu.” Intan berucap seraya berkacak pinggang.

Gerry menghela napas pasrah. “Virus sialan,” bisik lelaki itu lirih.

“Udah cepat sana, mandi.” Gerry hanya bisa mengangguk seraya melengos pergi menuju kamar mandi.

Maya tersenyum kecil melihat tingkah Ibu mertuanya. Intan memang begitu. Mertua Maya itu tidak akan segan mengomeli panjang lebar jika putranya berbuat salah atau tidak menuruti kata-katanya.

“Kenapa juga harus ada virus sih, kita ‘kan jadi terbatas. Nggak bisa kemana-mana.” celetuk Galen misuh-misuh.

Intan menoleh pada putra sulungnya. “Ya, mana Mama tahu! Kamu tanya sendiri sama virusnya sana, kenapa dia hadir di dunia ini dan merecoki kita semua.” balas Intan berkomat-kamit.

Hanya Maya dan Anton yang diam menyaksikan adu mulut keluarga ini. Anton melirik istri dari putra keduanya.

“Maklum ya May, keluarga kita memang kayak gini.” Anton berucap sembari tersenyum kaku.

Maya tersenyum kecil. “Nggak-papa. Justru, keluarga yang kayak gini yang Maya impikan sejak lama.” balasnya sembari tersenyum menyaksikan kembali Ibu mertuanya yang sedang mengoceh.

•••

Gerry terlihat sudah segar setelah lelaki itu membersihkan dirinya. Huh, kalau bukan karena berita itu, mana mau Gerry mandi malam-malam begini. Gerry beranjak menuju ruang keluarga, ikut mendudukkan pantatnya di samping sang Kakak—Galen.

“Nah, kan. Mama jadi tenang lihatnya, kalau kamu udah segar gini.” cetus Intan membuat Gerry mendelik.

Maya mendengus melihat Gisha yang tengah bersandar pada bahu tegap Galen. Maya juga bisa kali.

Maksudnya, bersandar di bahu Mama Intan. Mana berani Maya bersandar di bahu Gerry. Bisa-bisa, dirinya diolok-olok oleh sang pemilik nama—Gerry.

“Kalian mau pulang ke Kota kapan?” tanya Anton setelah seperkian detik hanya terisi oleh keheningan semata.

Gerry menoleh pada sang Papa. “Ngusir nih, ceritanya?” tanya lelaki itu jenaka.

Anton berdeham. “Kamu ‘kan tahu sendiri, sekarang kita nggak diperbolehkan keluar rumah. Papa bukan bermaksud mengusir kamu dan Maya. Papa hanya takut, jika kalian sudah di Kota nanti, kalian tertular virus. Apalagi di Kota sangat padat peraturannya.” kata Anton panjang lebar.

Maya mengerjapkan kedua matanya. Wow. Perempuan itu baru pertama kali mendengar Ayah mertuanya berucap panjang lebar seperti itu.

“Hm.” sahut Gerry malas.

“Mama sih, pengennya kalian tetap disini. Tapi, Mama juga nggak bisa egois. Gerry punya tanggung jawab untuk perusahaannya.” timpal Intan dengan nada sedih.

Maya mengusap bahu Intan pelan. “Mama tenang aja, meskipun kita nggak ketemu. Kita ‘kan masih bisa video call-an.” ujarnya mencoba menenangkan sang Ibu mertua yang mendadak mellow.

Intan mengangguk seraya tersenyum hangat.

🐅Jangan lupa vote dan komen🐅

Married with Playboy (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang