Bab 13

14.5K 542 10
                                    

Hingga malam tiba, Maya dan Gerry masih berperang dingin. Maya yang mengurung diri di kamar kosong yang berada tepat disamping kamarnya, dan Gerry yang sejak siang pergi entah kemana. Bukannya tidak ingin membujuk Maya, hanya saja Gerry memiliki urusan lain.

Di dalam kamar, Maya meringkuk bak seekor anak kucing. Sedari tadi rintihan kecil lolos keluar dari bibir mungilnya. Kedua tangan perempuan itu memegang erat perutnya yang terasa sangat sakit. Maya ingat, bahkan sangat sadar jika sejak pagi ia belum memakan apa pun.

Namun, Maya menikmati sensasi sakit seperti ini. Sudah sejak lama ia tidak merasakannya. Terakhir kali, mungkin saat ia kecewa terhadap Ayah kandungnya. Saat itu Maya menyiksa dirinya sendiri dengan cara mengosongkan perutnya dari pagi hingga malam.

Alhasil, maag perempuan itu kambuh.

Bahkan Maya ditemukan tak sadarkan diri dilantai kamarnya. Beruntung, Sarah bergerak cepat dan membawa keponakannya itu ke rumah sakit. Sejak saat itulah Oma-nya serta Sarah selalu menjaga pola makan Maya.

•••

Brumm!

Gerry mengemudikan mobilnya dengan kecepatan diatas rata-rata. Lelaki itu sejak tadi duduk tidak tenang. Gerry melirik jam tangan mewah yang melekat di pergelangan tangan kirinya. Ternyata waktu sudah menunjukan pukul sepuluh malam.

Gerry mengumpat saat melihat lampu lalu lintas berwarna merah. Lelaki itu menyandarkan punggungnya pada sandaran jok mobil. Siang tadi, Gerry mendapat pesan dari Papa-nya, jika hari ini dia harus pergi menuju sekolah yang akan didonaturi olehnya.

Setelah selesai urusan tentang donatur sekolah itu, Gerry bertemu dengan teman lamanya. Teman Gerry mengajaknya untuk berbincang-bincang di salah satu kafe. Gerry tidak bisa menolak. Hingga temannya itu mengajaknya ke apartemennya.

Sedikit info, teman yang Gerry temui tadi berjenis kelamin perempuan. Gerry pun menyetujui ajakan teman perempuannya untuk ke apartemen. Ternyata, apartemen milik temannya tidak jauh dari lokasi Perusahaan milik Gerry.

“Ck, sial.” Gerry melajukan kembali mobilnya saat lampu lalu lintas kembali berwarna hijau.

Gerry lupa jika dia meninggalkan Maya disaat kondisi perempuan itu tengah marah padanya. Gerry tidak yakin jika saat ini Maya tengah tertidur nyaman di kamarnya. Yang ada diotak Gerry saat ini ialah, wajah merintih serta kesakitan Maya.

Gerry pernah diberitahukan oleh Oma Maya, jika Maya sedang dalam kondisi kacau, perempuan itu tidak segan akan menyiksa dirinya sendiri. Dan Gerry baru ingat, jika sejak pagi dia tidak melihat Maya sarapan.

Setelah setengah jam kemudian, mobil milik Gerry sudah memasuki kawasan perumahannya. Gerry memarkirkan mobilnya terlebih dahulu. Dengan tergesa lelaki itu membuka sabuk pengaman dan membuka pintu mobil.

Gerry memasuki rumahnya dengan salah satu tangan menjinjing kantong kresek. Lelaki itu menaiki anak tangga dengan sedikit berlari. Setelah sampai dilantai atas, Gerry segera menuju kamar utama.

Ceklek!

Namun, naas. Maya tidak ada di dalam kamarnya. Gerry tidak habis akal, dia segera beralih menuju kamar yang berada di sebelah kamar utama. Perlahan tangannya memutar knop pintu.

Ceklek!

Gerry bernapas lega saat netra tajamnya melihat sosok Maya tengah meringkuk diatas kasur. Kaki jenjang Gerry mulai melangkah memasuki kamar. Lelaki itu menaruh kantong kresek yang dibawanya diatas nakas.

Gerry melipat tangannya di depan dada seraya berdecak kesal.

“Perempuan sinting! Ngapain coba nyiksa diri sendiri kayak gini.” maki Gerry tidak habis pikir dengan sikap Maya.

“Bangun, May! Lo harus makan.” Gerry mencoba membangunkan Maya.

Maya melenguh tertahan saat gendang telinga mendengar suara seseorang. Tapi Maya tidak membuka kedua matanya. Perempuan itu kembali meringkuk serta meringis tertahan.

“Shh,” desis Maya saat kembali merasakan sakit diperutnya.

Gerry menghembuskan napas lelah. Dengan sabar lelaki itu membantu mendudukkan Maya dan menyandarkan kepala Maya pada bantal. Maya yang mendapat perlakuan demikan, hanya dapat terdiam karena tidak sanggup berbicara disaat perutnya sakit seperti ini.

“Lo mau mati?” tanya Gerry sarkas seraya membuka kantong kresek yang tadi dibawanya.

Saat diperjalanan pulang tadi, Gerry melihat ada penjual pecel lele. Mengingat Maya yang pastinya belum makan, Gerry pun membelinya.

Maya mendengus. “Gue belum mau mati,” gumamnya.

“Makan.” Gerry menyodorkan piring yang sudah berisi nasi pecel yang tadi dibelinya.

Maya melirik piring dan wajah Gerry bergantian.

“Kenapa? Tenang aja, makanannya nggak gue kasih racun.”

Maya berdecih seraya menerima piring yang disodorkan oleh Gerry. Perempuan itu mulai melahap makanannya. Maya tidak berharap perhatian dari Gerry. Perempuan itu sudah kebal dengan sikap playboy suaminya.

Setelah menyelesaikan makannya, Gerry kembali meraih piring Maya dan menyodorkan segelas air putih. Lelaki itu beranjak meninggalkan kamar menuju dapur untuk menyimpan piring kotor yang ada ditangannya.

•••

Keesokan harinya, Maya sudah kembali ceria. Tidak semurung kemarin. Perempuan itu tengah asyik dengan kegiatannya di dapur. Niatnya, pagi ini Maya ingin membuatkan Gerry pancake. Ya walaupun Maya membuatnya tidak seenak orang lain.

Maya tidak ingin mempunyai hutang budi kepada Gerry. Yang Maya tahu, lelaki itu akan sangat menyebalkan jika menyangkut jasa-jasa yang telah dilakukannya untuk Maya. Cih, tidak ikhlas sekali. Ujar Maya membatin.

“Tumben,” celetuk Gerry yang baru memasuki dapur.

Maya yang tengah fokus membuat pancake, mendongak sekilas menatap wajah Gerry, kemudian kembali fokus dengan kegiatannya. Setelah memakan waktu sekitar lima belas menit, akhirnya pancake buatan Maya pun jadi.

“Nih,” Maya menyodorkan piring berisi pancake itu ke hadapan Gerry.

Gerry menautkan kedua alisnya bingung. “Buat gue?” tanyanya.

Maya mengangguk membenarkan.

“Gue nggak mau punya hutang budi sama lo. Anggap aja, kejadian kemarin malam nggak pernah terjadi.” tutur Maya santai seraya duduk dihadapan Gerry.

Gerry mengendikkan bahunya acuh. Perlahan Gerry mulai mencicipi pancake yang dibuat Maya. Lelaki itu terdiam seraya menilai pancake buatan Maya. Di depannya, Maya bertopang dagu menunggu reaksi Gerry tentang pancake buatannya.

“Gimana? Enak ‘kan pancake buatan gue?” todong Maya antusias dengan wajah berbinar.

Gerry menelan pancake tadi sebelum menjawab pertanyaan Maya.

“Terlalu kebanyakan krim, terlalu manis. Lo sengaja ya, mau bikin gue diabetes?” Gerry menunjuk Maya dengan garpu ditangannya.

Maya yang dituduh pun tidak terima. “Mana ada!” sangkal perempuan itu dengan wajah masam.

“Lain kali kalau mau bikin sesuatu, lihat dulu resepnya. Jangan asal buat aja,” Gerry berucap santai sembari kembali melahap pancake-nya.    

Maya memberengut kesal. “Katanya kemanisan, krimnya kebanyakan, huh alasan. Kenapa terus dimakan coba?!” Maya menggerutu dengan bibir mungilnya.

Gerry yang mendengar gerutuan Maya melirik sekilas pada perempuan itu. Tanpa sadar, sudut bibirnya terangkat membentuk lengkungan kecil.

•••

🐅Jangan lupa vote dan komen🐅

Married with Playboy (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang