6

629 66 6
                                    

Apa kalian percaya tentang adanya kehidupan dunia paralel?
Mungkin bila memang benar adanya..  Maka di sisi lain dunia di berantah sana..
Saat ini bunda tidak pergi penataran..
Saat ini Adel, Ashel, dan Olla sedang membantuku piket, atau sekedar menunggu di koridor kelas..
Saat ini Anin masih sibuk rapat OSIS..
Atau di berantah sana ada Anin yang tidak terobsesi pada Kak Sani...
Ada aku yang bisa menahan untuk tidak SMS-an dengan Atin di sekolah..
Atau ada aku yang tidak jatuh hati pada Shani..

Mungkin saja.. aku akan..

***

Shani nampak gusar di tempat duduknya sambil sesekali membungkukkan tubuhnya. Feni yang menyadarinya lantas perlahan menggeser kursi dan mencolek pelan paha Shani.

"Kenapa?", tanyanya tanpa mengeluarkan suara.

Shani tak menjawabnya dan hanya memejamkan matanya, menegakkan tubuhnya, serta menarik napas panjang sambil memegang perut bagian sampingnya. Feni paham. Kemudian ia mengeluarkan botol minumnya yang terisi penuh dan menyerahkannya pada Shani.

"Masih panas, baru aku isi dari dispenser sebelum mulai", bisiknya hampir tak terdengar.

Shani menerimanya. Bibirnya yang nampak lembut itu menyunggingkan sedikit senyum. Mungkin menahan rasa sakit. Botol tersebut kemudian ia dekap di perutnya.

***

Tidak. Tidak. Tidak.
Anin berhasil merogoh saku rokku dan dengan cepat mengambil ponselku.
Energiku rasanya telah habis. Tanpa berusaha merebut, kusandarkan punggungku pada dinding di bawah papan tulis. Menikmati rasa sakit yang menjadi di kedua lututku.

Anin nampak serius menelisik isi ponselku. Kulihat bola matanya bergerak sibuk memindai setiap tulisan yang dilihatnya. Begitu juga dengan ibu jarinya.
Aku membayangkan apa yang sedang dilihatnya berdasarkan semua gerakannya itu. Mungkin ia sedang bolak balik dari kotak pesan masuk ke kotak pesan terkirim. Ia semakin mendekatkan wajahnya ke ponselku. Kedua alisnya beradu.

Degup jantungku mulai kembali ke ritmenya. Kuhapus bekas air mata di pipiku dengan punggung tanganku. Kutarik napas beberapa kali dalam-dalam agar sesenggukkanku lekas berhenti.

Anin lantas mengeluarkan ponsel dari sakunya. Mungkin ia sedang mencocokkan nomor Atin dan nomor Kak Sani yang jelas-jelas tak akan sama. Ia menarik napasnya lebih dalam dari yang kulakukan.

Segurat senyum akhirnya merekah di wajahku.

"Nih..", katanya pelan sambil mengembalikan ponselku.

"Kamu gila juga ya.."

Jantungku kembali berdegup cepat. Mampus. Apa Anin bisa membaca isi SMS-ku dengan Atin?

***

"Halo.."
"Iya, Halo.."
"Kak.. Sori bangeeeet.. Minggu ini aku ga bisa lagi.."
"Yaaah.."
"Hmmm.. Soriiii.."
"Yaudah deh.."
"Eh Kak.. Cek SMS dari aku deh.."
"Ada apa?"
"Cek dulu cepetan.."
"......"
"Udah?"
"Apaan nih?"
"Bisa ga bacanya?"
"Hmm.. Apaan sih? Ko banyak tanda baca nyampur huruf sama angka..."
"Hehehe.. Balikin Kak, HP-nya.."
"Ih wow..."
"Mulai sekarang kita gitu aja ya Kak.. Ngeri soalnya mama suka minjem-minjem HP aku nih.."
"Waduh, oke deh.."
"Yaudah lanjut di SMS ya Kak.. Aku udah mau pergi nih.."
"Iya.. Iya.. Salam ke Tante Indy ya.."
"Iyaaa.. dah Kak.."

***

Aku duduk sendirian di dalam kelas sambil mengusap-usap lututku yang rasa ngilunya mulai hilang. Setelah mengembalikkan ponselku, Anin pergi begitu saja. Meninggalkan rasa gusar dalam hatiku. Pikiranku mulai membuat dramanya sendiri..

"Kamu gila juga ya.."
"Kamu gila juga ya.."
"Kamu gila juga ya.."

.. terus terngiang-ngiang dalam ingatanku. Apa yang Anin maksud? Apa aku sudah benar-benar ketahuan? Bagaimana ini? Apa Anin akan mengadukannya pada Shani? Bagaimana kalau Shani jadi jijik kepadaku? Aaaaa gawat.. Tolong.. Cukuplah Kak Jesslyn yang menganggapku aneh karena mengidolakan teman sekelas..  Reputasiku bisa benar-benar hancur jika semua ini sampai ke teman-temanku..

Rasanya aku ingin segera tiba di rumah. Tapi hujan malah tiba-tiba turun, dan aku malah lupa membawa payungku. Aku bisa saja lari menerobos hujan. Tapi, aku mudah sakit. Dan aku tak mau itu terjadi. Aku ingin kehadiranku penuh. Selama aku bisa bertemu dengan Shani, aku tak akan menyia-nyiakan kesempatan itu..

Saat sedang melihat langit, tiba-tiba Shani dan Feni melintas di depan kelas. Shani mengenakan jaket jeans milik Feni di pinggangnya. Jantungku berdegup tak karuan. Pelan-pelan aku menggeser tubuhku supaya tak terlihat dari luar. Mereka berdiri memunggungi kelas, menghadap ke lapang, seolah bersiap berlari menerobos hujan menuju gerbang.

Entah apa yang mereka diskusikan. Suara mereka kalah oleh deru hujan. Tak lama Feni memberikan kotak biola yang sedari tadi dipegangnya kepada Shani dan mengeluarkan sebuah payung kecil dari dalam tasnya. Payung dibuka. Shani merapatkan tubuhnya ke sisi Feni. Tangan kiri Feni merangkul pundak Shani, sedang tangan kanannya menggenggam payung. Mereka mulai berjalan menerjang hujan. Angin sedikit membuat payung yang dipegang Feni bergoyang-goyang. Shani membantu Feni memegang payung. Mereka terus berjalan hingga menghilang dari pandanganku.

Aku terdiam..

Pikiranku mulai nakal lagi..

Imajinasiku sungguh sempurna..

Di tengah lapang di bawah hujan sana, aku berjalan merangkul Shani di bawah payung. Angin semakin mengencang. Payung bergoyang-goyang dan hampir terbang terbawa angin. Shani membantuku memegangi payung. Aku geserkan payung itu ke sisi Shani supaya pundaknya tak kehujanan. Shani menyadarinya. Ia malah berlari keluar dari bawah payung dan menggunakan kotak biola yang dipegangnya untuk melindungi kepalanya. Ia tertawa-tawa. Aku terkejut kemudian berusaha mengejarnya. Tak mau sampai Shani-ku sakit karena kehujanan. Ia malah berlari-lari ke sana ke mari. Aku pun semakin berlari. Tapi kakiku malah tersandung. Shani melihatnya,  saat hendak medekatiku, aku malah berusaha menangkapnya. Shani menghindar dengan cepat. Bukan main gesitnya. Aku terus mengejarnya, tak peduli cipratan-cipratan air yang dihasilkan dari langkah Shani mengenai seragamku. Hingga pada akhinya tiba-tiba saja aku terpeleset ke belakang. Aku terlentang di tengah lapang. Di kejauhan, Shani menghentikan langkangnya. Menyadari tak terdengar lagi suara langkah kakiku yang mengejarnya. Saat membalikkan badan, ia terkejut melihatku. Ia berlari mendekatiku, sampai lupa untuk melindungi kepalanya. Saat kakinya tepat berada di samping tubuhku, aku malah tertawa malu. Melihatku tidak apa-apa, Shani ikut tertawa. Ia kemudian malah merebahkan tubuhnya di sampingku. Tak peduli akan kotor juga basah. Mataku terpejam. Kurasakan hujan terus menghujam kulitku. Kubiarkan saja. Biarkan hujan membasuh peluh. Biarkan hujan membasuh jenuh.

***

[PESAN MASUK]

Dari: Kathrin-Fam

eeeeeee
'uejo+ow yepn dws >Ieue '>Ie>I y!s e6 +a6ueq 7j!6 peq 'jo+ow a>Ied ehuuawa+ ewes 6ua+ep eq!+ - eq!+ e!p snja+
+o>I6ue n66unu !6e7 ue>I n>Ie '6ue7nd sed ya
''6ueop n+!6 ehe>I ewn) 7eyepad '>Ie>I  ne+ +a6ueq uaja>I ''!je? a>Ied n+!6 uej!s!s e!p snja+ 'ehuuawa+ ewes 6uoj>I6uou !6e7 e!p '+a7!o+ !p se?uad n?eq !+ue6 new n>Ie sed ''6uop !7e>I - !7e>Ijaq !ssa? >Ie>I nwa+a>I n>Ie ye7o>Ias !p !pe+
7a!u0 >Ie>I <sebagian teks hilang>

[PESAN ANDA]

Bentar ya Tin,
Aku kotret dulu tulisannya.., aku juga punya cerita hehe

つづく

Tulang HastaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang