Peraturan sekolah tiba-tiba saja berubah. Para siswa dilarang keras membawa ponsel ke sekolah. Entah apa alasannya. Selain itu, pendisiplinan atribut sekolah pun semakin diperketat. Setiap akan memasuki gerbang sekolah, satu persatu siswa diperiksa. Yang tidak lengkap. Akan langsung diminta untuk berbaris di lapangan. Dijemur sampai tak bisa mengikuti jam mata pelajaran pertama. Cukup efektif. Siapa pula yang rela berdiri lama seperti itu sambil diomeli.
Adel menggeliat malas di sampingku. Seolah kehilangan semangat hidupnya. Ya, tetris mungkin jadi penyebabnya. Permainan sederhana yang menegangkan itu tak dapat lagi ia mainkan. Aku juga menyukainya, tapi nampaknya tidak sefanatik Adel.
Beberapa saat kemudian, aku dan Adel sudah berdiri berjejer di depan pagar tembok yang ada di belokan tepat sebelum kelas kami. Belakangan ini bentuk awan memang sedang lucu-lucunya. Membubung sedikit lebih rendah membentuk gumpalan kapas. Kami tertawa-tawa geli sendiri setiap kali menyepakati ada awan yang menyerupai suatu bentuk.
Aku sedikit berbalik ke belakang, memastikan tidak ada yang terganggu oleh tawaku dan Adel. Tapi, mataku malah tak sengaja menangkap momen manis antara Shani dan Nabil. Buru-buru aku menundukkan kepalaku dan kembali berbalik menatap awan. Mereka berjalan mendekat. Ya aku tahu itu. Tawa renyah Shani semakin terdengar jelas menggeletik telingaku. Entah apa yang sedang mereka guraukan.
"Ada buaya Niel.. Buaya..", Adel memukul-mukul lenganku. Aku mendongak ke arah yang Adel tunjukkan. Benar saja awan itu membentuk kepala buaya versi gemuk.
"Iiih ngedeket Niel.. Ngedeket.."
"Anginnya kenceng banget kali ya di atas sana.."
"Iya.. Iiiih buayanya ngedeket hahahaha"Tiba-tiba Shani yang melintas tepat di belakangku tersedak minumannya. Nabil panik habis dibuatnya. Aku dan Adel yang menyadari itu sontak berbalik dan arah pandang kami mengikuti semua gerak-gerik Nabil dan Shani. Aku juga panik. Sebenarnya. Tentunya. Ingin juga menolong, sekedar menepuk-nepuk punggung Shani. Tapi sudah ada Nabil di sana. Akan sangat aneh bila aku tiba-tiba berada di sana.
***
Jam pelajaran berlalu begitu saja. Matematika dan Fisika ditaruh beriringan. Membuat kepalaku pening tak karuan. Ditambah bapak guru fisika yang tiba-tiba meminta kesediaan kami untuk menggeser jam istirahat kedua. Jika sudah begini, artinya pak guru ingin dirinya bisa pulang cepat.
Pak guru menuliskan sebuah soal cerita yang alurnya sama sekali tidak kupahami. Aku menegang di bangkuku. Bedoa dengan serius, semoga aku bukan orang yang ditunjuk untuk mengerjakan soal tersebut.
Aku melihat ke sekelilingku. Semua orang sibuk menuliskan sesuatu di buku catatannya. Mungkin sedang mencari jawaban. Mempersiapkan diri bila tiba-tiba diminta untuk maju ke depan. Tapi bagaimana bisa semua orang paham kecuali aku??
Aku semakin tegang. Kedua mataku memindai setiap kata yang tertulis di papan tulis. Percuma. Masih juga tidak aku pahami. Tiba-tiba terdengar bunyi dering ponsel yang sangat keras. Dari arah belakang, tidak bukan dari arahku. Tapi dari luar. Tapi semua mata malah tertuju kepadaku. Menyaksikan diriku yang memang sedari tadi sedang tegang ini.
Pak guru berjalan mendekat. Tangannya menengadah. Aku paham, ia meminta sesuatu dariku. Tapi bagaimana, itu memang bukan milikku.
"Dari luar Pak..", Fiony tiba-tiba menyelamatkanku. Terdengar juga suara ribut-ribut siswa dari luar yang memperkuat pernyataan itu.
Aku menatap Fiony dengan senyuman dan mata haru, tanda terima kasihku. Fiony membalas senyumanku singkat, ia kemudian tiba-tiba mengangkat tangan, mengajukan diri untuk menjawab pertanyaan di papan tulis. Sekali lagi aku merasa lega. Fiony memang penyelamatku.
Syukurlah mata pelajaran terakhir ini berakhir juga. Sambil menghabiskan waktu untuk beristirahat dan menunggu bel pulang, aku dan Adel kembali berdiri di pinggir pagar menatap awan. Kurang kerjaan memang. Aku juga bosan, tapi tak ada lagi yang dapat aku lakukan.
"Tadi siapa ya yang bawa HP.."
"Aku kira kamu loh Niel.. Mana suaranya jelas banget kan.."
"Ga mungkin lah Shel, Oniel ngelanggar aturan.. Terlepas dari dia anaknya Bu Jinan ya.. Kamu liat aja sendiri.. Lencananya aja ditempel 3 senti diatas saku.. Ukur aja sendiri.. Taat banget dia sama yang ada di buku saku.."Bukannya tidak mendengar ucapan Adel, tapi arah pandanganku seolah terkunci ke arah Fiony yang sedang berbincang serius dengan Anin di kejauhan sana. Semenjak Bagielz bubar, Anin memang jadi lebih dekat dengan Fiony. Menggantikan posisiku yang sudah mulai akrab dengan Fiony juga Lulu.
Kulihat Fiony berkali-kali menepuk pundak Anin, seperti sedang menenangkannya. Apa Anin menangis? Tapi kenapa? Anin yang kuat itu?
"Niel ikut ga?"
"Ke mana?"
"Si Ashel ingin mie goreng katanya.."
"Yaudah ayo.."Adel dan Ashel berjalan di depanku. Mereka mengambil rute terdekat menuju warung jajan yang terletak tidak jauh dari ruang kelasku yang dulu.
Kami jalan berbaris masuk ke sebuah gang sempit yang memisahkan bangunan gedung lama dan gedung baru. Kami berbelok ke belakang gedung. Ada banyak bangku kayu tua yang bertumpuk di sana. Tempat favorit untuk kumpul-kumpul anak lelaki.Aku melihat sekelilingku. Sepi. Pasti. Karena hanya kelasku saja yang kini jam istirahat.
Adel dan Ashel berlari saat warung yang menjual mie goreng itu mulai terlihat. Meninggalkanku sedikit jauh di belakang.Mereka sudah duduk manis menunggu pesanan saat aku tiba di depan pintu warung tersebut. Mang Ade, suami ibu penjaga warung yang juga merupakan pesuruh di sekolahku ini mempersilakanku untuk masuk dan menduduki kursi yang sedang digunakannya. Aku menolaknya karena tidak akan membeli apapun. Aku memilih untuk duduk di bangku kayu panjang yang diletakkan tepat di depan warung itu.
Kepalaku berputar mengamati keadaan sekitar. Ini seperti tempat rahasia. Berani juga Mang Ade membuka usaha di tempat tersembunyi seperti ini. Dagangannya laku pula.
Tiba-tiba..
Ada seseorang yang nampak kukenal berjalan dari arah kedatanganku tadi. Seseorang yang bentuk bayangannya pun sangat kukenali. Berjalan bergandengan tangan dengan seseorang. Seseorang yang setahuku seharusnya bukan dengannya.Masih di kejauhan, mereka menghentikan langkahnya. Salah satunya mengambil sebuah kursi kayu tua dari tumpukan dan mempersilakan yang lainnya untuk duduk. Mereka nampak sangat akrab. Entah apa yang mereka bicarakan. Sepertinya menyenangkan sekali.
Kalau begini, pantas saja Anin menangis..
***
Aku kembali ke kelas dengan degup jantung yang terasa melemah. Tak percaya dengan apa yang kulihat tadi. Adel dan Ashel menghabiskan makanan mereka agak lama, dan dua sosok yang kulihat tadi pun hanya sebentar mampir ke belakang gedung itu dan sepertinya sama sekali tidak menyadari keberadaanku.
Tapi saat memasuki kelas , aku justru melihat sesuatu yang mengacaukan seluruh kenyataan yang menempel dalam benakku.
Apa aku gila? Apa aku sudah gila?
Bagaimana bisa seluruh isi kepalaku hanya tentang Shani?Apa yang sebenarnya aku lihat tadi? Apa imajinasiku membentuk dramanya sendiri? Mengapa terlihat begitu nyata?
Ada apa dengan aku ini.. Tak mungkin kan Shani seperti itu.. Iya kan..
Hey hey lihat.. Bahkan Shani dan Nabil pun masih saling suap chiki seperti itu.. Niel.. Sehat?
つづく

KAMU SEDANG MEMBACA
Tulang Hasta
FanfictionMenjadi pengagum rahasia itu sungguh berat, apalagi kalau sampai jatuh hati. Ingin melangkah lebih jauh, tak bisa. Ingin biasa saja pun mustahil rasanya.. Luangkanlah waktumu jika kamu bersedia menemaniku. Akan kututurkan sebuah kisah klasik tentang...