13

449 53 8
                                    

"Kak, kalo Kakak, bakal lebih percaya sama Shani atau gosip-gosip?"

"Hmm.. Terkadang.. Kita harus bersikap netral aja Niel.. Ga berpihak sama siapa-siapa.."

"Kenapa?"

"Karena kalo ternyata kejadiannya bener, sakit hatinya bukan main.."

"Tapi Shani sejauh yang aku liat kaya ga mungkin aja gitu Kak, kaya gitu.."

"Iya sih, mungkin dia punya imej yang bagus buat kamu.. Tapi.. Bukannya kamu sendiri yang bilang.. Setelah pindah ruang kelas, Shani jadi banyak berubah.."

"Hmm.. Emang karakter orang bisa secepat itu ya Kak, berubahnya?"

"Bisa jadi sebenernya dia dari dulu udah kaya gitu.. Cuma bisa jadi dulu belum berani, sekarang udah berani.."

"Berani?"

"Iya, biasanya orang bisa mendadak berani kalo ada yang micu.. Kaya.. Di hidupnya tiba-tiba terjadi sesuatu gitu deh.."

"Hmm.. Semacam dipaksa berubah sama keadaan gitu?"

"Yaaa.. Kurleb.."

Aku membantu Kak Mira memasukkan kerupuk yang sudah cukup lama direndam ke dalam penggorengan kecil yang sudah terisi bumbu. Gemericik suara minyak panas beradu air membisingi dapur kecil rumahku.

"Pedes ga?"
"Jangan.."
"Yaudah ini bagian kamu ambil duluan.."

Seblak buatan Kak Mira memang paling juara. Meskipun terlihat sederhana dan kurang menarik, tapi rasanya lebih enak dibandingkan seblak yang sering Adel beli di pinggir jalan SMP seberang sekolahku.

***

"Niel.. Pilih P1 apa P2?"
"Dua aja deh.."
"Oke, aku duluan yah.."
"Yo.."

Sambil menunggu giliran bermain, aku dengan santai melahap chiki yang aku bawa dari rumah. Sisca dan Feni memasuki kelas sambil bercanda. Tak lama, dari belakangnya Shani masuk dengan santai dan anggun sambil meminum susu Ultra coklatnya. Mungkin keadaan sudah mulai membaik. Shani terlihat kembali kalem, namun tetap saja tak kembali seperti yang aku kenal sebelumnya. Ada yang berbeda. Ia nampak lebih tegas dan berani bersuara. Membuatku jadi tambah lebih segan kepadanya.

Sudah beberapa hari ini mereka nampak tidak pernah bersama-sama dengan Anin. Meskipun tetap sebangku dengan Shani, tapi mereka tak nampak saling berinteraksi. Aku sendiri masih belum mendengar kebenaran dari kabar yang beredar. Namun jika yang nampak malah seperti ini, pikiranku pun malah tergiring ke dalam gosip-gosip itu. Namun hatiku menolak dengan sangat. Shani tidak mungkin menduakan Nabil, dan diam-diam jadian dengan Kak Sani. Karena jika benar demikian, maka yang seharusnya dijauhi adalah Shani, bukannya Anin. Belakangan ini pun, Nabil terlihat seperti lebih berupaya untuk mempertahankan hubungannya dengan Shani. Hal tersebut malah membuatku semakin bersimpati kepada Nabil. Bagaimana pun, Nabil adalah tipikal siswa baik-baik. Bahasanya sopan dan ia dapat memperlakukan perempuan dengan sangat baik. Bahkan bila dibandingkan dengan ketiga temannya pun, ternyata dalam hal memperlakukan perempuan, Nabil-lah yang terbaik. Aku bahkan berharap Deo sedikit saja memiliki kehangatan seperti Nabil..

"Addduuuuh malah salah pijit lagiiii.."
"Game over?"
"Hmm.. Mentok di 360.. Nih ah.."

Aku melap jari-jemari tanganku dengan sapu tangan handuk yang selalu kubawa, lalu mengambil ponsel Nokia 5300 yang digeletakkan Adel begitu saja di atas meja.

Aku memulai permainan. Jiwa ragaku seolah terserap masuk ke dalam layar ponsel itu. Aku merasakan lelahnya berlari ke sana ke mari. Sebisa mungkin dengan cepat mengatur balok-balok berbagai bentuk yang satu persatu menghujaniku. Jika sudah sampai ke tanah. Maka balok-balok itu langsung tertancap dan tak dapat kugeserkan sama sekali. Makanya saat masih melayang, aku harus sudah mengarahkannya agar jatuh di tempat yang tepat. Mengisi kekosongan dan menghindari tumpukan.

Tulang HastaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang