12 - Topeng Kelinci

1K 85 2
                                    

"Sejak bersamamu aku mengerti cara menyembukan luka, menerima luka dengan lapang dada dan mengubah isakan lara menjadi tawa bahagia."

-Saroh-

***

Malam ini sepulangnya dari pesantren, Saroh menyambut Yusuf dengan hati yang sedikit lebih ceria, ia bahkan menyiapkan air hangat untuk Yusuf mandi. Sekarang, dirinya mengajak Yusuf ke ruang makan untuk makan malam dengan menu yang sudah ia siapkan.

"Coba lihat Saroh masak apa!" seru Saroh membuka tudung saji meja makan.

"Sop daging?" Mata Yusuf berbinar begitu melihat menu yang disajikan.

Saroh mengangguk semangat. "Ini sop daging spesial," kata Saroh.

"Boleh Mas cicip?"

Saroh mengangguk. "Boleh lah! Sini Saroh ambilin," jawab Saroh lalu merebut mangkok Yusuf.

"Makasih," ucap Yusuf menerima makan malamnya. "Hmmm, enak!" lanjutnya setelah mencicipi kuah sop buntut itu.

"Mas," panggil Saroh beberapa saat kemudian.

"Hm?"

"Tadi pagi di pasar, ada ibu-ibu minta tolong Saroh buat gendong bayinya."

"Emang kenapa?"

"Si ibunya mau ke toilet."

"Terus?"

"Terus, baru sebentar bayi itu Saroh gendong... eh langsung diam. Bahkan bayi itu senyum ke Saroh, Mas. Jari telunjuk Saroh juga digenggam sama dia," Saroh bercerita dengan semangat. "Tapi, ibunya bilang kalau bayinya downsyndrome," lanjut Saroh dengan raut wajah yang berubah sedih.

Yusuf kemudian meletakkan peralatan makannya, "Kamu nggak apa-apa, kan?" tanya Yusuf khawatir.

Saroh tersenyum sembari menggeleng pelan. "Saroh nggak apa-apa, Mas. Justru karena bayi itu sekarang Saroh merasa lebih baik."

"Saroh jadi teringat sama janin yang ada di perut Saroh. Bagaimanapun dia sama seperti Saroh, dia nggak tahu apa-apa, dan kalaupun dia tahu, dia juga nggak akan mau ada di dalam perut Saroh. Dia nggak salah, Mas," tutur Saroh mengusap perutnya sayang.

"Aku akan mempertahankannya."

***

Srek...Srek...Srek...

Pagi-pagi Saroh menyapu halaman rumahnya, setelah selesai menyiapkan sarapan dan keperluan sang suami. Hari ini, Yusuf berangkat ke pesantren lebih awal.

"MBAK SAROH!"

"NAY..." Saroh terkejut sekaligus senang saat Nayla berlari menghampirinya. Spontan Saroh melempar sapu lidinya ke sembarang arah demi merentangkan tangan menyambut kedatangan sahabatnya.

"Aku kangen banget sama Mbak Saroh," ucap Nayla mengeratkan pelukannya.

"Mbak juga kangen banget sama kamu, Nay."

"Eh, Nay lupa ada dedeknya," pekiknya segera melepaskan pelukan itu dan mengusap perut Saroh.

"Nggak apa-apa kok, kan masih kecil."

Nayla tersenyum pada Saroh, kemudian ia bertanya, "Adeknya sehat, Mbak?"

Saroh mengangguk. "Alhamdulillah."

Nayla meringis, sesaat kemudian ekspresi wajahnya berubah. Sendu matanya menatap Saroh kasihan.

"Abah sakit, Mbak."

Saroh diam terpaku. "Abah sakit apa?" lirihnya bertanya.

***

Matahari telah terbit dengan sempurna. Sekarang Saroh sudah berada di depan rumah orang tuanya. Dedaunan kering banyak sekali berserakan di halaman itu. Tanaman yang biasanya tergunting rapi, kini sudah tumbuh tak beraturan.

Menjadikanmu Bidadari (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang