17 - Basi

902 72 2
                                    

"Saroh merasa nggak pantas untuk laki-laki baik seperti Mas Yusuf."

-Saroh-

***

Hampir satu jam lamanya Yusuf mengunjungi sang istri di rumah mertuanya. Kewajibannya sebagai pemimpin pesantren membuat dia mau tak mau harus menyudahi kunjungan spesialnya pagi ini.

"Kamu yakin nggak mau ikut suami kamu pulang?"

Saroh yang berdiri di bawah gawang pintu menggeleng yakin.

"Atau nggak, biarkan suami kamu tinggal di sini bersama kita," tawar Billa untuk kesekian kalinya.

"Nggak usah, Umma. Biarkan Saroh menikmati waktunya bersama Umma dan Abah."

"Mas Yusuf, Saroh masuk dulu ya... hati-hati di jalan..." ucap Saroh kemudian masuk ke dalam rumah begitu saja.

Yusuf diam menghela napas pelan, tak ada lagi yang dapat ia perbuat. Wanitanya lenyap dari pandangan yang masih disesaki kerinduan.

"Nggak apa-apa, Um. Yusuf paham kok, nggak mudah ada di posisi Saroh untuk saat ini," ujarnya penuh pengertian.

"Kamu yang sabar, ya," ucap Billa mengusap lengan atas menantunya.

"Iya udah Um, Yusuf pulang dulu. Salam untuk Abah."

Setelah kepergian Yusuf, Billa bergegas masuk ke dalam rumah menghampiri Saroh yang sudah berada di dalam kamar. "Kamu ini kenapa sih, Saroh? Bukannya tadi udah baikan sama suami ? Terus kenapa kamu kayak gini? Ini sama aja kamu nggak menghargai Yusuf," tegur Billa.

Dengan padangannya yang menunduk. Saroh menjawab, "Saroh juga nggak tahu, Um. Saroh nggak sanggup menatap wajah Mas Yusuf lama-lama."

"Nggak bisa kenapa, Saroh? Kan Umma udah bilang kalau ini semua bukan salah Yusuf."

"Saroh tahu ini semua bukan salah Mas Yusuf."

"Terus?"

Saroh mendongak menatap wajah Billa. "Umma lupa kalau Saroh nggak bisa hamil lagi?"

Seketika Billa diam mengingatnya.

"Setelah hamil hasil dari perzinahan, sekarang Saroh nggak bisa hamil lagi, Um. Bukan hanya gagal menjadi calon ibu, Saroh juga merasa gagal menjadi wanitanya Mas Yusuf." Cairan bening mulai menggenangi matanya. "Saroh merasa nggak pantas untuk laki-laki baik seperti Mas Yusuf," lanjut Saroh.

Billa melangkah sedikit maju, menarik lembut kepala Saroh agar jatuh dalam pelukannya. Billa membelai sayang kepala Saroh yang sejajar dengan perutnya.

"Saroh nggak boleh ngomong kayak gitu. Saroh nggak pernah gagal dalam hal apapun. Bisa hamil atau tidak, itu bukan tolak ukur keberhasilan seorang wanita, Sayang."

"Saroh mandul, Um..." lirihnya berat.

Billa menatap langit-langit kamar, ia menahan napasnya sesak. Billa berusaha agar air matanya tidak jatuh. Ia kemudian menjauhkan Saroh dari pelukannya, ia berlutut di depan Saroh, menyejajarkan kepalanya dengan kepala sang putri. Tangannya menangkup wajah Saroh, meminta perempuan itu untuk menatapnya lekat.

"Siapa yang bilang Saroh mandul?" tanya Billa dengan senyuman hangat yang ia tunjukkan kepada sang putri. "Allah bukan membuat Saroh tidak bisa hamil, Allah hanya menunda. Kenapa? Karena Allah lebih tahu apa yang terbaik untuk Saroh saat ini. Kalau sudah waktunya, Allah pasti titipkan anak-anak shalih shaliha di rahim Saroh..."

Mendengar tutur kata Billa membuatnya lebih tenang, walaupun cairan bening belum berhenti mengalir dari matanya.

***

Menjadikanmu Bidadari (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang