31- Malam untuk Istri Kedua

976 72 1
                                    

"Memangnya, kalau aku jujur ke Mas Yusuf tentang perasaanku, Mbak Saroh nggak apa-apa?"

-Sania­-

***

"Gimana perasaan Mbak Saroh setelah baca itu?" tanya Sania menunjuk sobekan hariannya yang sedang dibaca Saroh di ruang tamu. Malam ini, ia berkunjung ke rumah Saroh. Ia menunggu Yusuf dan Bani yang masih berada di rumah abangnya.

Sempat terkesiap, cepat-cepat Saroh melipat dan menyembunyikannya kembali.

"Apa sekarang perasaan takut kehilangan, muncul di benak Mbak Saroh?"

Melihat ekspresi wajah Saroh, Sania lantas terkekeh geli membuat Saroh menatapnya tak mengerti. "Jadi, Mbak Saroh beneran takut kehilangan Mas Yusuf gara-gara aku? Mbak Saroh takut Mas Yusuf berpaling?" tanya Sania di sela tawanya. Ia duduk di samping Saroh.

Saroh geming.

"Ketakutan Mbak Saroh saat ini, nggak jauh beda sama ketakutanku saat di depan mataku, Mbak Saroh menerima lamaran Mas Yusuf," ujar Sania menyudahi tawanya.

Saroh kemudian mengingat saat di mana Yusuf melamarnya. Ia baru ingat, di sana ada Sania yang sedang menghidangkan nasi rawon.

"Kamu benci sama aku?" tanya Saroh, suaranya melirih.

Mendengar pertanyaan konyol itu, Sania kembali tergelak.

"Aku nggak pernah benci sama Mbak Saroh, dari awal bahkan sampai sekarang," aku Sania, "kita nggak bisa menyalahkan cinta, Mbak. Cinta itu hadir dengan sendirinya. Semuanya tergantung kita, kita bisa mengontrolnya atau tidak," lanjut Sania meraih cemilan di atas meja.

"Aku nggak bisa membenci siapapun yang mencintai Mas Yusuf atau siapapun yang Mas Yusuf cintai selain aku. Aku hanya bisa mengontrol perasaanku, Mbak. Gimana caranya supaya aku bisa mempertahankan perasaanku untuk satu orang yang sama sekali nggak pernah tahu itu."

"Bukankah itu berat, Sania? Kenapa kamu nggak jujur aja perihal perasaanmu ke Mas Yusuf?"

Sania tersenyum kecut menertawai dirinya sendiri. "Aku udah nyaman seperti ini, Mbak. Mas Yusuf juga sudah memperlakukanku dengan baik. Aku nggak mau semua ini berubah, hanya karena aku menyatakan perasaanku."

"Memangnya, kalau aku jujur ke Mas Yusuf tentang perasaanku, Mbak Saroh nggak apa-apa?"

Saroh bungkam. Ia juga tidak tahu bagaimana dirinya nanti.

***

-Dua jam kemudian-

Yusuf sudah kembali dari rumah Azim. Ia mendapati Sania tertidur di sofa seorang diri. Kepalanya celingukan mencari keberadaan Saroh, namun nihil. Perlahan Yusuf mendekati Sania. Ia membungkuk untuk membangunkan istri keduanya itu. "Sania," panggilnya lembut.

Hanya dengan satu panggilan, Sania pun bangun. "Eh... udah pulang? Mbak Saroh udah tidur di kamar, Mas," lanjutnya memberitahu.

Yusuf mengangguk tahu.

"Ayo! Aku antar pulang," ajak Yusuf kemudian mengambil kunci mobil.

Sania bangkit, sebentar ia membenarkan kerudungnya yang sedikit berantakan.

"Udah?" tanya Yusuf memastikan.

"Bentar," jawab Sania yang masih sibuk dengan kerudungnya.

Yusuf yang sempat menunggu beberapa detik, akhirnya tergerak untuk membantu Sania. Yusuf menepis jarak di antara mereka. Hangat hembusan napas Yusuf menyapu permukaan wajah Sania yang begitu dekat dengan wajahnya. Sania tertegun mengamati wajah tampan suaminya. Jantungnya berdegup cepat.

"Dah," ucap Yusuf menjauhkan dirinya begitu kerudung Sania sudah rapi.

***

"Mbak, kok baru pulang? Bi Siti takut di rumah sendirian."

Sania mengerucutkan bibirnya kasihan melihat Bi Siti. "Maaf ya, Bi. Sania tadi temani Mbak Saroh di rumahnya."

"Mbak Sania udah makan? Mas Yusuf udah makan?"

Sania menggeleng. "Belum, Bi."

Sedangkan Yusuf, "Aku makan di rumah aja, Bi."

"Ini kan juga rumah Mas Yusuf. Bi Siti udah masak banyak lho. Sayang kalau kebuang nggak ada yang makan."

Sania mendongak menatap laki-laki jangkung yang berdiri di sebelahnya.

"Iya udah, Bi. Aku makan di sini," jawab Yusuf membuat Bi Siti tersenyum lebar.

Bi Siti bergegas menuju ruang makan diikuti Yusuf dan Sania di belakangnya.

"Mas," panggil Sania membuat Yusuf yang berjalan di depannya berhenti.

"Iya, Sania?"

"Habis makan Mas Yusuf langsung pulang?" Yusuf mengangguk mengiyakan.

Sania kemudian diam, seolah sedang mengumpulkan keberanian untuk berbicara.

"Kenapa, Sania?"

"Mmm... aku mau Mas bermalam di sini."

Ia mengerjap beberapa kali menimbang permintaan Sania.

"Tidur di sini ya, Mas..." pinta Sania menatap Yusuf dengan mata nanarnya.

"Tapi, Saroh-"

"Satu malam aja. Kita pisah kamar juga nggak apa. Aku cuma mau kamu tinggal di sini satu malam. Kamu belum pernah tidur di rumah ini lho, Mas," bujuk Sania.

Yusuf diam memejamkan mata, sejenak ia berpikir.

"Mas..."

Yusuf kemudian membuka mata, menatap sepasang mata nanar yang sejak tadi memandangnya memohon. Yusuf mengangguk, "Iya udah, malam ini aku tidur di sini. Tapi, kita pisah kamar."

Sania tersenyum puas mendengarnya.

"Mbak Sania, Mas Yusuf, ini makan malamnya udah siap," teriak Bi Siti dari ruang makan.

"IYA, BI!" sahut Sania semangat dan langsung berlari kecil menuju ruang makan.

Kedua sudut bibir Yusuf terangkat tanpa ia sadari begitu melihat tingkah lucu Sania. Ia senang, setidaknya ia berhasil membuat Sania senang hari ini.

***

to be continued...

Menjadikanmu Bidadari (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang