22 - Permintaan Ibu Mertua

932 68 1
                                    

"...Kalau Saroh di posisi Umi, mungkin Saroh akan bersikap sama..."

-Saroh-

***

Di sebuah cafe yang berada di pinggiran kota, duduk lah Sayla dan Saroh pada salah satu meja yang tersedia.

"Umi, sehat?" tanya Saroh membuka suara.

Sayla tersenyum tipis juga mengangguk. "Sehat, Alhamdulillah."

"Kamu sehat?"

"Hah? Ah—iya Um, Alhamdulillah Saroh juga sehat," sempat gagap, Saroh pun mencoba tetap tenang di hadapan mertuanya.

"Umi!"

"Saroh!"

"Kamu duluan," kata Sayla mempersilakan.

"Mmm... mulai besok, Saroh serumah lagi sama Mas Yusuf, Um," ujar Saroh memberitahu.

Kepala Sayla manggut-manggut mengerti. "Kenapa nggak hari ini? Kenapa nunggu besok, Saroh?"

"Saroh masih harus mengemasi barang yang ada di rumah Abah, Um."

Sayla mengangguk lagi. Keheningan kembali hadir di antara mereka. Saroh menunduk memainkan jari-jemarinya di balik meja sedangkan sorot mata Sayla terus mengamati pergerakan menantunya itu.

"Saroh," panggilnya setelah beberapa detik diam.

Saroh terhenyak, kepalanya terangkat, tatapannya membalas sorot mata Sayla.

"Umi minta maaf, sikap Umi selama ini menyakiti kamu."

Saroh tak merespon apa-apa, ia menunggu Sayla untuk melanjutkan kalimatnya yang terdengar menggantung.

"Umi minta maaf, karena selama ini Umi sering meminta Yusuf untuk menceraikan kamu."

Saroh, dia hanya mengangguk pelan berusaha memaklumi.

"Benar kata Yusuf, Umi nggak salah memilihkan istri untuknya."

Kedua sudut bibir Saroh terangkat, ia tersenyum kecil mendengar ucapan tersebut keluar dari mulut ibu mertuanya.

"Umi harap kamu selalu mendukung hal-hal baik untuk Yusuf. Meski terkadang, kita perempuan harus mengalah perihal perasaan demi kebaikan suami kita."

Sayla memajukan dan membalik telapak tangannya untuk Saroh, meminta agar perempuan itu mengeluarkan tangannya dari bawah meja. Saroh pun mengeluarkan tangannya dan meletakkannya di atas telapak tangan Sayla. Sayla menggenggamnya hangat. Mata Saroh berbinar, ia senang.

"Umi ingin memperbaiki hubungan kita, Saroh. Umi nggak mau terus-terusan membenci kamu."

"Nggak apa-apa, Um. Kalau Saroh di posisi Umi, mungkin Saroh akan bersikap sama," kata Saroh membalas genggaman Sayla.

Merasakan gengggaman Saroh semakin erat, Sayla lantas menarik tangannya. "Kamu tahu kan kalau Yusuf anak Umi satu-satunya?" Saroh mengangguk sekali.

"Kamu juga pasti tahu kan kalau Yusuf satu-satunya penerus pesantren keluarga Bani?" Saroh mengangguk lagi.

"Lalu, apa pendapat kamu jika anak Umi satu-satunya tidak bisa memberikan penerus pesantren?"

Kalimat yang ia dengar barusan, mampu meluluh-lantahkan batinnya.

"Selain bercerai, menurut kamu apa solusinya?"

Saroh tak tahu harus menjawab apa. Telapak tangannya mulai berkeringat.

"Saroh, Umi tahu kamu cinta sama Yusuf. Tapi, apa kamu tega melihat Yusuf hidup tanpa merasakan bahagianya memiliki keturunan? Jangankan Yusuf, Umi saja yang sudah kepala empat ingin rasanya segera menggendong cucu. Umi ingin menyaksikan cucu Umi menjadi penerus Pesantren Darussalam."

Menjadikanmu Bidadari (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang