38 - Berakhirnya Pencarian Topeng Kelinci

879 74 5
                                    

"Saroh salah apa?"

-Yusuf-

***

"Mas Yusuf..." lirih Saroh begitu melihat suaminya memasuki ruang ICU.

"Iya, Sayang?"

Saroh meraih lengan Yusuf. "Aku ingin melahirkan normal, Mas."

Yusuf terdiam. Ia tak tahu harus bagaimana.

"Aku mohon, Mas. Aku ingin merasakan rasanya berjuang melahirkan normal."

"Saroh," panggil Billa mendekati sang putri, "untuk menjadi ibu, nggak hanya dengan berjuang melahirkan normal. Kehati-hatianmu menjaganya dalam kandungan selama ini juga termasuk perjuangan seorang ibu."

Saroh menggeleng. "Cita-cita Saroh ingin melahirkan normal, Um."

"Jangan seperti itu, Saroh. Kamu harus pedulikan kebaikan kamu dan anak kamu."

Yusuf menghela napas kasar, ia pilu melihat kondisi sang istri yang terus memohon. Tak bersuara apapun, Yusuf lantas keluar. Masih ada hal yang perlu ia selesaikan.

***

"Yusuf," sambut Azim bangkit dari duduknya. Ia terkejut Yusuf kembali datang menemuinya. "Gimana keadaan-"

BUG!!!

BRUKKK!!!

Yusuf kembali melayangkan pukulan di pipi Azim. Darah segar mengalir dari sudut bibirnya yang sudah lebam.

Yusuf menarik kerah kemeja Azim yang sudah kusut dan membawanya bangkit.

BUG!!!

BUG!!!

BRUKKK! PYARRR!!!

Azim jatuh untuk kedua kalinya menimpa meja kaca ruang tamu, membuat meja kaca tersebut pecah. Azim berusaha untuk bangkit. "Suf, tolong dengarkan penjelasan aku dulu-"

BUG!!!

Kalimat Azim terpotong saat pukulan kuat kembali menyentuh rahangnya yang simetris.

BUG!!!

Azim lagi-lagi tumbang, ia tak berdaya untuk memberi perlawanan.

Azim kemudian merangkak mendekati Yusuf dan berlutut. "Suf, aku minta maaf, Suf..." ucapnya sembari menggesek-gesekkan telapak tangannya memohon.

Melihat darah banyak keluar dari hidung dan bibir kakak iparnya, Yusuf pun berhenti. Ia memalingkan wajahnya, mengacak rambutnya frustasi.

"Jujur... bukan aku pelakunya-"

"TERUS SIAPA? SIAPA, BANG?!" teriak Yusuf menatap benci Azim.

"KENAPA HARUS ISTRI AKU? KENAPA?!!!"

"SAROH SALAH APA? DIA SALAH APA? JAWAB?!"

Azim tertunduk, ia menangis. Ia tak tahu harus menjawab apa. Rasa bersalahnya semakin membebaninya.

"Dia perempuan baik-baik, Bang..." ujar Yusuf, suaranya mulai memelan. Sama seperti Azim, air matanya lolos begitu saja. Dadanya terasa sesak menahan pedih mengingat semua kesakitan Saroh selama ini.

"Bahkan Saroh nggak tahu... kenapa harus dia yang mengalami ini semua?"

Azim geming, air matanya semakin deras menyelimuti rasa bersalahnya.

"Saroh ditampar ibunya sendiri, dia disumpah serapahi ibunya sendiri, dia diusir dari rumah, satu kampung menggunjingnya. Apa Abang tahu itu?"

"Jawab?!" Azim menggeleng pelan.

"PEREMPUAN YANG KAMU PERKOSA, HARUS MENANGGUNG SEMUANYA SENDIRIAN!"

"Perempuan yang seharusnya hidup bahagia setelah aku nikahi, Bang..." Hati Yusuf hancur menyaksikan pahitnya kehidupan perempuan yang sangat ia cintai.

"Suf... demi Allah, aku nggak pernah menyentuh Saroh sedikit pun..."

Tangan Yusuf kembali mengepal, ia tak terima dengan pengakuan kakak iparnya itu. "Kalau bukan Abang, terus siapa?"

Azim masih diam seperti ia bersumpah tak akan pernah mengatakan siapa pelaku sebenarnya.

Yusuf manggut-manggut putus asa sembari mengatur napasnya yang memburu. "Oke, kalau Abang nggak buka suara... seumur hidup aku anggap Bang Azim pelakunya dan Sania, dia dalangnya." Azim terbelalak dengan ancaman Yusuf tersebut. Nama sang adik yang Yusuf sebut membuatnya gelisah.

"Sania nggak tahu apa-apa... Bukan aku dan bukan Sania pelakunya..."

Yusuf masih berdiri di tempatnya memandangi Azim yang bangkit untuk mengambil ponsel di bawah pecahan kaca meja.

Tuttt.... Tuttt.... Tuttt...

"Siapa?" tanya Yusuf penasaran.

"Pelakunya," jawab Azim lirih penuh ketakutan, "temui dia dan jangan bawa-bawa Sania dalam masalah ini..."

Deg!

Yusuf tertegun.

"Halo? Assallamu'alaikum..."

"Halo..."

***

"Assallamu'alaikum..."

"Eh, wa'alaikummussalam..." sambut Siddiq dan Billa pada tamu yang datang jauh-jauh dari Surabaya.

"Saroh, gimana keadaan kamu? Yang sabar, ya... cobaan seorang ibu itu nggak main-main," ujar Rawi memberikan semangat pada Saroh.

Saroh tersenyum hangat membalasnya.

"Aku kira Yusuf ada di sini."

Saroh menoleh pada sumber suara, dari Rawi ia beralih pada Faisal yang sedang mengobrol dengan Siddiq.

"Tadi Yusuf udah dari sini, mungkin ada keperluan lain, jadi Yusuf ke luar sebentar," sahut Billa.

Faisal kemudian mengangguk sekaligus menyapa Billa.

"Ini, Ibu bawain buah-buahan," kata Rawi meletakkan keranjang buah di atas nakas.

Bukannya mengucapkan terima kasih, perhatian Saroh teralihkan. Ia terdiam mengamati wajah Faisal, terutama sepasang mata milik pria yang mungkin seumuran dengan ayahnya.

"Makasih lho, Mbak Rawi," ucap Billa mewakili sang putri.

"Um..." panggil Saroh menepuk-nepuk lengan sang ibu.

"Kenapa, Sayang?"

"Dia... dia..." ucap Saroh terbata-bata dengan tatapan yang penuh ketakutan.

Kring! Kring! Kring!

"Bentar Abah, ada telepon," ujar Faisal meraih ponsel dari saku kemejanya.

"Halo? Assallamu'alaikum..."

"Halo..."

"Ada apa, Zim?"

***

to be continued...

Menjadikanmu Bidadari (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang