30 - Kotak Merah Sania

963 75 0
                                    

"Sampai kapan pun kamu memang nggak akan pernah mengerti perasaanku, Mas."

­-Sania-

***

-Empat bulan kemudian-

Malam ini, Bani mengundang Yusuf, Sayla dan Sania untuk makan malam di rumahnya. Makan malam kali ini, sengaja Bani adakan untuk menyambut kehamilan Saroh yang sudah memasuki bulan keempat.

"Saroh, makan yang banyak. Perhatikan kesehatan kandunganmu," ujar Bani di sela-sela mulutnya yang sibuk mengunyah makanan.

"Iya, jangan sampai kamu kehilangan janin kamu untuk kedua kalinya," sahut Sayla yang duduk persis di seberang Saroh.

Saroh hanya mengulum senyum menanggapi nasihat Sayla yang sebenarnya ia tahu Sayla sedang menyindir dirinya.

"Sania," panggil Bani membuat pemilik nama itu menoleh padanya, "kamu juga harus jaga kesehatan. Yusuf sepertinya akan lebih memperhatikan Saroh. Abi minta kamu jangan punya rasa iri," lanjutnya beralih menasehati menantu keduanya.

"Nggak lah, Bi. Sania nggak mungkin punya penyakit hati seperti itu," sahut Sayla membela Sania. "Sania kalau di rumah kesepian, main aja ke rumah ini, temani Umi. Kamu emang nggak bosen di rumah terus sama Bi Siti?"

Sania meringis. "Nggak kok, Umi. Sania juga akhir-akhir ini sibuk di pesantren."

"Sania, kalau emang kamu kesepian di rumah, main aja ke rumahku," sahut Saroh.

Sania menatap perempuan yang duduk bersandingan dengan Yusuf.

"Iya, Sania. Saroh juga kadang kesepian kalau aku tinggal ke pesantren. Kamu bisa langsung ke rumah aja temani Saroh," tambah Yusuf setelah menelan habis makanannya.

Sania tersenyum kecut. "Kenapa bukan Mbak Saroh aja yang main ke rumahku?"

Semua mata melihat ke arahnya.

Merasa tak nyaman dengan tatapan itu, Sania tersenyum lebar. "Maksud aku, aku pengen Mbak Saroh lihat kebunku yang ada di halaman belakang rumah. Tanaman-tanaman yang aku tanam, sekarang sudah tumbuh besar. Di sana rindang. Aku pikir, Mbak Saroh bakal betah berada di taman belakang."

Yusuf manggut-manggut. "Boleh, bagus itu buat kamu, Sayang."

Saroh tersenyum. Ia juga setuju dan tertarik untuk berkunjung ke rumah Sania.

Piring pun telah bersih dari nasi dan lauk pauk. Tersisa Sania yang masih sibuk mengumpulkan nasi yang tinggal satu suapan. Saroh beranjak dari kursinya, berniat membereskan piring kotor di meja makan.

"Jangan! Kamu duduk aja," titah Yusuf menahan lengan Saroh.

"Tapi, Mas..."

"Udah, duduk aja. Kan ada Sania," kata Yusuf melihat wanita yang baru saja ia sebut namanya.

"Sania kan masih makan, Yusuf," ujar Sayla sedikit tak terima.

"Nggak, Um. Udah, kok," jawab Sania langsung bangkit untuk membereskan piring kotor di meja makan. Tak jadi ia memakan nasi yang tinggal sesendok di piringnya.

Semua orang menyadari mimik wajah Sania yang berusaha tetap tersenyum, meski cairan bening mulai menggenangi matanya. Yusuf menyadari itu. Ia langsung beranjak dan membantu Sania untuk membereskan meja makan.

"Sini, biar aku yang bawain," tawar Yusuf meminta tumpukan piring yang ada di tangan Sania. Namun, Sania tak mengiyakan. Ia melakukannya sendiri, membawa tumpukan piring kotor tersebut ke dapur. Yusuf mengekor di belakangnya.

Menjadikanmu Bidadari (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang