28 - Abah Menemukan Pelakunya (?)

1.1K 81 1
                                    

"Bagaimana saya bisa percaya kalau kamu bukan pelakunya?"

-Siddiq-

***

"Aku tahu, ini nggak mudah buat kamu, juga nggak mudah buat aku."

"Jujur saja, ada perasaan nggak nyaman ketika aku melihat kamu bukan sebagai sepupu, melainkan sebagai istri keduaku."

Sania menekan kuku jempolnya melampiaskan rasa sesak saat mendengar kalimat itu keluar dari mulut laki-laki yang sangat ia cintai.

"Kamu ada perasaan ke aku?"

Deg!

Seketika ekspresi Sania berubah. Ia bingung harus menjawab apa.

"Sania, jawab aku," pinta Yusuf dengan suara lembut.

"Nggak ada," jawab Sania singkat membuat Yusuf geming sejenak.

Yusuf manggut-manggut seolah itu jawaban yang Yusuf inginkan. "Bagus kalau gitu. Setidaknya perlakuan burukku selama ini, nggak begitu menyakitimu," katanya enteng.

Rahang Sania mengeras, ia semakin kuat menekan kuku jempolnya.

"Aku ada rencana beli rumah di dekat sini. Supaya kamu juga nggak jauh dari aku dan Bang Azim."

"Kenapa?" beo Sania.

"Kamu akan tinggal di rumah itu dan Saroh akan kembali ke rumah ini."

"Kalau gitu, biar aku kembali ke rumah Bang Azim aja," cetus Sania.

"Jangan-"

"Aku nggak berani tinggal sendirian, Mas," penggal Sania, nadanya meninggi.

"Nanti aku carikan pembantu."

Sania tersenyum kecut. Ternyata di mata Yusuf, ia masih tidak ada artinya.

***

"JAWAB!!!"

"Abah?" Mendengar teriakan Siddiq, Saroh berlari untuk melihat apa yang sedang terjadi di rumahnya.

Siddiq terlihat sedang berdiri berkacak pinggang di depan seorang laki-laki yang tengah berlutut sembari menggosok-gosok telapak tangannya memohon.

"JAWAB!!" bentak Siddiq lagi. Saroh sempat terjingkat mendengarnya.

"Ampun, Bah... ampun... saya nggak tahu apa-apa. Ampun, Bah..." Laki-laki itu terus memohon ampun.

"Abah! Ini ada apa?"

"Ini kan pelakunya?" tanya Siddiq menunjuk laki-laki itu.

Pandangan Saroh turun, memastikan wajah laki-laki yang dimaksud. "Pak Irwan?" beo Saroh terkejut. Saroh mengenalnya, tetangga satu komplek yang tak jauh dari rumahnya.

"Saya nggak tahu apa-apa, Mbak Saroh..." rintih laki-laki itu terus memohon.

"Kamu ingat dia, kan?" tanya Siddiq dan Saroh mengangguk ia kembali menoleh pada sang ayah.

Iya, Saroh mengingatnya. Irwan—laki-laki yang melakukan pelecehan terhadap Sayla di pasar. Tapi, mengapa ayahnya bisa menyimpulkan bahwa dia si pelaku?

"Kamu ingat, kan?" tanya Siddiq lagi.

"Dari mana Abah tahu kalau Pak Irwan pelakunya?"

Dagu Siddiq bergerak menunjuk Irwan yang masih berlutut. "Lihat jaketnya," kata Siddiq.

Deg!

"Jaket itu?" beo Saroh dalam hati.

Tiba-tiba saja lututnya terasa lemas. Tubuhnya terhoyong ke belakang, namun dengan sigap Nayla dan Billa menangkap tubuh Saroh.

"Mbak... bukan saya pelakunya... saya nggak tahu apa-apa, Mbak..."

"DIAM!!!"

"Kamu pelakunya! Kamu sudah merusak masa depan anak saya! Saya pastikan, kamu akan mendapat hukuman yang setimpal!"

"Demi Allah, saya tidak melakukannya, Bah. Bahkan, saya tidak tahu apa yang Abah tuduhkan kepada saya..." Irwan terus mengatakan bukan dia pelakunya.

"Saya tahu, saya orang jahat. Saya tahu saya orang cabul. Tapi... demi Allah saya tidak pernah berani melecehkan Mbak Saroh. Menyentuh dan menatapnya saja saya tidak berani..."

"Bagaimana saya bisa percaya kalau kamu bukan pelakunya?"

"Saya nggak tahu kabar kehamilan Mbak Saroh, saya juga baru datang ke komplek ini kemarin lusa. Saya bahkan tidak tahu kalau Mbak Saroh sudah menikah. Saya masih di penjara."

Saroh memberanikan diri mengamati mata laki-laki yang berlutut itu.

"OMONG KOSONG! ITU NGGAK BISA JADI BUKTI-"

"Bukan dia pelakunya!" ucap Saroh memotong kalimat sang ayah.

Semua mata kini mengarah pada Saroh yang sudah berdiri dengan tegap.

"Mata itu... bukan dia pelakunya..." Semua beralih mengamati mata Irwan.

Irwan yang tak tahu apa-apa, hanya diam saat semua mata kini menelisik memandanginya.

"Saroh, kamu-"

"Aku berani bersumpah, bukan dia pelakunya, Bah."

"Serius, bukan dia?"

Saroh mengangguk yakin. "Jaketnya sama. Tapi, bukan Pak Irwan."

Wajah Siddiq kembali memerah. Ia kemudian mendekati Irwan. "Siapa yang kamu bantu?"

Pak Irwan menggeleng tak tahu.

"JAWAB!!!"

"Sebenarnya... jaket ini pemberian seseorang," ungkap Irwan membuat semuanya menoleh padanya.

"Pemberian seseorang? Siapa?" tanya Siddiq masih sedikit emosi.

"Saya nggak kenal orangnya. Tapi, setahu saya, dia bukan orang sini. Pakaiannya rapi serba hitam, perawakannya seperti Abah."

"Umurnya?" tanya Nayla yang ikut kepo.

"Lima puluh-an... seumuran saya. Kami bertemu di angkot saat saya kembali dari penjara."

***

to be continued...

Menjadikanmu Bidadari (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang