37 - Pemilik Topeng Kelinci

997 76 2
                                    

"Aku masih nggak habis pikir kalau ternyata orang yang selama ini aku cari ada di dekatku. Orang yang bahkan aku kenal..."

-Saroh-

***

"Suf, aku bisa jelasin..."

Yusuf meraih kerah kemeja Azim, ia mencengkeramnya begitu kuat. "Apa yang mau Bang Azim jelasin? Semuanya udah jelas!"

"Bukan aku, Suf... bukan aku pelakunya..."

"Terus siapa, Bang? Terus siapa?!" sahut Saroh dengan nada meninggi. "Bang Azim masih mau nyangkal kalau bukan Bang Azim pelakunya?" lanjutnya berjalan mendekati Azim.

Yusuf melepaskan Azim. Ia memberikan ruang untuk Saroh menyumpah serapahi Azim. "Topeng ini ada di Bang Azim! Topeng yang dipakai pelaku saat dia memperkosaku, Bang!"

Azim tercekat. Ia gemetar ketakutan, lututnya terasa lemas tak ada kekuatan.

"Kalau bukan Bang Azim pelakunya, terus siapa? Jawab!!!"

"Mbak, kita dengerin penjelasan Bang Azim dulu-"

"Penjelasan?!" beo Saroh beralih menatap Sania. "Kamu takut? Atau kamu nggak terima kalau Abang kamu pelakunya?" Sania menggeleng pelan.

"Kamu benar, bukan kamu yang merusak masa depanku. Tapi, Abang kamu Sania... Abang kamu yang merusak masa depan dan hidupku!"

Sania menggeleng tak percaya.

"Bukan Bang Azim, kan pelakunya?" tanya Sania menatap kakaknya penuh harap.

"Bukan aku, San..."

BUG!!!

Azim jatuh tersungkur begitu Yusuf berhasil mendaratkan bogemannya tepat di pipi kanan Azim.

"BANGUN!" teriak Yusuf menarik kerah kemeja Azim, membuat laki-laki itu bangkit.

Azim menyeka darah segar yang keluar dari sudut bibir kanannya.

"Mas Yusuf, udah..." bujuk Sania menahan kepalan tangan Yusuf. "Bang Azim nggak mungkin melakukan hal kotor seperti itu."

Dengan tangan yang masih mencengkeram kerah Azim, Yusuf memicing menatap Sania. "Jangan-jangan kamu juga tahu kalau Abang kamu pelakunya?"

"Nggak! Sania nggak tahu apa-apa..." sanggah Azim cepat.

"Mbak Saroh! Kamu mau ngapain?" pekik Sania saat melihat Saroh memungut pisau miliknya dan mengarahkan ujung pisau itu ke depan.

"Saroh! Taruh pisaunya!" seru Yusuf melepaskan Azim.

"Saroh, seperti ini cara kamu untuk balas dendam-"

"Terus gimana?"

Yusuf sempat memandangi wajah Saroh yang sudah memerah menahan emosi sejak tadi.

"Benar kata Sania, istri kamu ini bukan cuma kamu yang meniduri, Mas. Tapi, kakak ipar dari istri kedua kamu juga..."

"Aku masih nggak habis pikir, ternyata orang yang selama ini aku cari ada di dekatku..."

Tak ingin banyak bicara, Yusuf berusaha melepaskan pisau yang ada di genggaman sang istri. "Kasihan anak kita," ujar Yusuf lembut. Saroh baru saja melupakan kehamilannya, pisau pun jatuh dari genggamannya begitu ia sadar.

"Dia pasti nggak mau kamu seperti ini, Saroh. Kita masih punya Allah..."

Saroh kemudian mendongak menatap suaminya. Tangan kanannya terangkat untuk membelai pipi kiri Yusuf. "Aku nggak sanggup, Mas..."

Tak bersuara, Yusuf pun mengangguk pelan. Ia kemudian mempersilakan Saroh untuk meringkuh di dalam pelukannya.

"Mas Yusuf..." lirih Sania, matanya memandang lantai tempat Saroh berdiri, "itu... air ketuban Mbak Saroh pecah..." tunjuknya.

***

"Harus caesar, Dok?"

Dokter mengangguk cepat. "Iya, demi kebaikan ibu dan bayi."

Yusuf terdiam, ia teringat dengan impian Saroh untuk bisa melahirkan secara normal.

"Suf, ikuti saja prosedur rumah sakit. Serahkan semuanya pada Allah, semoga istri dan calon anakmu baik-baik saja," ujar Bani menepuk-nepuk bahu putranya.

"Mas Yusuf, gimana keadaan Mbak Saroh?" tanya Sania yang baru datang dengan tangan yang sudah mendapat perawatan medis.

"Sania, tangan kamu kenapa?" tanya Sayla begitu melihat tangan menantunya.

Mengabaikan sang ayah, Yusuf berjalan mendekati Sania.

"Gimana keadaan Mbak Saroh, Mas?" tanya Sania khawatir.

Yusuf tak menjawab. Ia terus menatap Sania sengit.

"Mbak Saroh dan calon bayinya baik-baik aja-"

PLAK!!!

"YUSUF!"

Semua orang terkejut melihat Yusuf secara tiba-tiba menampar Sania. Tangan Sania yang masih diperban, gemetar menyentuh pipinya yang memerah.

"Yusuf, apa-apaan kamu?!" tegur Bani tak terima Sania diperlakukan seperti itu.

Tak peduli dengan teguran sang ayah, Yusuf semakin menatap tajam Sania.

"Kalau sampai terjadi apa-apa sama istri dan calon anakku, aku bersumpah seumur hidupku nggak akan pernah sudi lihat muka kamu dan memaafkan kamu!"

"Kalau sampai terjadi apa-apa sama mereka, kamu seharusnya malu pernah ada dan masuk dalam kehidupan rumah tanggaku!"

Deg!

Sania terdiam, ia tak menyangka kata-kata itu keluar dari mulut laki-laki yang selama ini ia cintai. Dadanya amat sesak mendengar dengan jelas semua ucapan Yusuf yang tertuju padanya.

"Aku nggak tahu apa-apa, Mas...."

***

to be continued...

Menjadikanmu Bidadari (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang