35 - Isakan Hati Sania

861 71 0
                                    

"Jika kamu belum bisa mencintaiku, setidaknya datang untuk memelukku. Jika aku belum diizinkan bahagia di pelukanmu, setidaknya biarkan aku menangis dalam dekapanmu..."

-Sania-

***

"Mas, sakit. Lepasin!" racau Sania saat Yusuf masih menggenggam lengannya dengan kuat dan membawanya masuk ke kamar.

Sesampainya di dalam kamar, Yusuf melepaskan cengkeramannya dari lengan Sania. "Apa maksud kamu ngomong kayak gitu ke Saroh?"

Dahi Sania mengernyit menatap Yusuf bingung. "Ngomong apa sih, Mas?"

"Ya tadi di rumah sakit, maksud kamu ngomong seperti itu ke Saroh apa? Kamu nggak lihat kalau Saroh lagi sakit?"

Sania mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya mengerti, ia terkekeh kecil.

"Mbak Saroh dulu yang mulai, Mas."

Yusuf mencebik kesal tak puas dengan jawaban Sania. "Bukan masalah siapa dulu yang mulai, Sania. Ini masalah kenapa kamu mengatakan hal seperti itu ke Saroh di saat yang nggak seharusnya?"

"Gimana kalau sekarang Saroh jadi kepikiran sama ucapan-ucapan kamu yang nggak jelas itu?"

"Nggak jelas?!" sungut Sania.

Yusuf mengangguk. "Iya, nggak jelas. Bukannya kamu bilang kalau selama ini kamu nggak ada perasaan apapun ke aku? Huh?"

Mendengar ucapan Yusuf, Sania tersenyum kecut. "Wah! Bahkan ketika kamu tahu semuanya tentang perasaanku, kamu nggak menanyakan hal itu, Mas? Kamu justru mempermasalahkan aku yang nggak mikirin kondisi Mbak Saroh?"

Yusuf mengangguk tanpa rasa bersalah.

"Kamu nggak tanya gimana tersiksanya aku selama ini? Gimana susahnya aku menyimpan perasaan sendiri? Kamu nggak tanya itu, Mas?"

"Sania, cukup! Aku tahu, aku juga mau menanyakan itu. Tapi nggak sekarang. Saroh lagi sakit-"

"Iya, aku tahu Mbak Saroh lagi sakit. Tapi, sekarang dia aman di rumah sakit. Di sini cuma ada aku sama kamu, Mas. Jadi, aku mau kita perjelas semuanya."

Yusuf menghela berat. Ia memejamkan matanya beberapa saat untuk meredakan emosinya yang sempat meluap. "Apa yang mau kamu perjelas? Perasaan kamu?"

Sania geming, Kepalanya menggeleng tak menyangka dengan respon Yusuf.

"Apa yang kamu harapkan setelah kamu perjelas perasaan kamu itu? Toh, sekarang kita juga udah suami-istri. Apa yang kamu khawatirkan?"

Sania masih geming.

"Aku cuma minta sama kamu, mulai sekarang jangan temui Saroh dulu. Kalaupun kalian nggak sengaja bertemu, tolong jangan bahas tentang perasaanmu itu ke Saroh. Aku minta sama kamu tolong kamu hargai Saroh, tolong mengerti perasaan Saroh. Jangan egois, Sania."

"Egois?" ketus Sania tak terima.

Yusuf kembali memejamkan matanya lalu menghembuskan napasnya kasar. "Udah ya, Sania. Aku nggak mau berdebat panjang lebar sama kamu. Untuk saat ini aku mau fokus sama kesehatan Saroh dan janinnya," ujar Yusuf memohon. "Aku pulang dulu, aku mau istirahat," lanjutnya hendak beranjak pergi.

"Pulang ke mana? Ini kan juga rumah kamu, Mas? Kamu bisa istirahat di sini," ujar Sania membuat Yusuf mengurungkan langkahnya.

"Ini kan kamar kamu juga, kamu bisa tidur di sini. Tuh kasur juga kasur kamu," tambah Sania lagi.

Tiga detik mata Yusuf melihat ke arah ranjang, kemudian kembali pada sang penghuni kamar. "Maksud aku, aku mau balik ke rumah sakit. Aku mau istirahat di sana. Aku nggak bisa ninggalin Saroh lama-lama."

Menjadikanmu Bidadari (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang