04 - Pinangan

1.6K 130 4
                                    

"Mas Yusuf nggak pernah melihat saya sebagai wanita."

-Sania-

***

Siang ini, Saroh menemani Sania—pengajar baru itu untuk berkeliling pesantren.

"Ustadzah Sania dari Surabaya langsung ke sini, atau gimana?"

"Nggak Ust, saya kemarin siang sudah di rumahnya Pakdhe Bani."

Saroh mengangguk mengerti. "Berarti kamu tidur di sana semalam?"

"Iya, Ustadzah."

"Ini kunci asrama Ustadzah Sania, ya. Tempatnya bersih kok, baru selesai renovasi tahun lalu."

Sania menerima kunci tersebut. "Oh iya, nanti sore kan saya juga diminta Pakdhe ke rumah Ustadzah, kalau boleh tahu rumah Ustadzah di mana, ya?"

"Di ujung jalan pesantren, rumah cat putih tulang itu rumah saya. Atau nanti Ustadzah Sania bisa bareng sama Ustadzah Nayla, sudah kenalan sama beliau, kan?"

Sania mengangguk. "Sudah, Ustadzah."

"Iya udah nanti bareng sama Ustadzah Nayla saja."

Sania kembali mengangguk. Beberapa detik kemudian Sania bertanya, "Ustadzah kenal dekat ya sama Mas Yusuf?"

Saroh diam sebentar kemudian menjawab, "Nggak. Baru dua kali saya ketemu beliau."

Sania manggut-manggut, ia tersenyum tipis. "Menurut Ustadzah Saroh, Mas Yusuf itu gimana? Eh—maaf kalau lancang Ust-"

"Nggak apa," potong Saroh yang merasa tidak keberatan. "Memangnya kalau menurut kamu Mas Yusuf gimana?" lanjutnya balik bertanya.

"Mas Yusuf itu bisa dibilang idaman semua wanita. Dia lulusan Kairo, hafidz, baik dan selalu menjaga perkataannya, Mas Yusuf paling takut kalau dia tanpa sengaja menyakiti perasaan orang lain. Bahkan sejak kecil Mas Yusuf sudah punya sifat itu."

Saroh hanya manggut-manggut. Walaupun sebenarnya pernyataan itu membuat Saroh semakin mengagumi Yusuf. Diam beberapa saat, Saroh memutuskan untuk menanggapi perkataan Sania. "Ustadzah Sania sangat mengenal Ustadz Yusuf, ya."

Sania tersenyum tipis. "Iya, Ust. Saking dekatnya kami, orang tua saya menginginkan Mas Yusuf yang menjadi suami saya kelak."

Saroh berhenti setelah mendengar kalimat itu. Sania yang melihat Saroh berhenti juga menghentikan langkahnya seketika kemudian ia menyelesaikan kalimatnya, "Walaupun Islam memperbolehkan kami untuk menikah, kami nggak akan melakukannya."

"Kenapa?"

"Karena Mas Yusuf nggak pernah melihat saya sebagai wanita."

Mendengar itu suasana menjadi sedikit canggung. "Saya juga nggak pernah melihat Mas Yusuf sebagai laki-laki, kami hanya saling menganggap saudara satu sama lain," tuntasnya membuat Saroh tiba-tiba merasa napasnya sedikit lega.

***

Jam dinding menunjukkan pukul tujuh malam. Dapur rumah Siddiq terlihat sibuk malam ini. Ada Billa—ummi Saroh, Saroh, Nayla dan Sania.

"Sania asli mana?" tanya Billa yang sedang memotong roti gulung.

"Surabaya, Tante," jawab Sania sembari menata roti gulung ke piring saji.

"Bahasa Jawanya jago, dong. Tante asli Malang soalnya."

"Oh ya?" Beo Sania tertarik. "Kalau Sania nggak terlalu jago, Tante. Soalnya Sania besar di Bandung terus sekolah di Jakarta. Justru Sania baru-baru ini tinggal di Surabaya."

Menjadikanmu Bidadari (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang