1

27.8K 1.5K 40
                                    

Marisca sudah rapi dengan gaun putih yang tampak pas melekat di tubuhnya. Namun gadis itu terus-terusan menangis sesaat setelah rambut dan wajahnya selesai dirias. Biar saja rusak, pikirnya. Mungkin kalau dandanannya rusak pernikahannya akan ditunda lebih lama. Sayangnya Citra ibunya lebih pintar daripada dirinya. Wanita dewasa itu sengaja meminta periasnya agar riasan wajah gadis itu menggunakan produk waterproof— jadi mau gadis itu berenang riasannya juga tak akan rusak semudah itu. Jevina yang sedari tadi menemaninya sampai kesal sendiri, karena tangisan Marisca yang tak kunjung mereda.

"Cacaa udah dong. Lo tuh mau nikah, hari bahagia lo nih. Jangan nangis lah, suami lo kan belum ngapa-ngapain masa udah nangis." Gadis bergaun putih itu sontak mendelik.

"Pikiran lo kotor banget sih Na! Gue gak mau nikah!"

"Lo kali yang mikir aneh-aneh!" Marisca memanyunkan bibirnya.

Jantungnya masih berdegup kencang, bagaimana tidak? Sebentar lagi dalam hitungan jam kebebasannya akan segera terenggut. Pikiran-pikiran buruk berlomba-lomba memenuhi kepalanya. Bagaimana jika suaminya adalah orang yang keras? Bagaimana jika calon suaminya ini seumuran dengan papinya atau bahkan lebih tua? Atau bagaimana jika dia botak, punya perut gendut seperti kakek-kakek obesitas yang sangat menginginkan daun muda sebagai istri mudanya, karena istri tua sudah tak menarik? Gadis itu memukuli kepalanya sendiri.

"Hei lo ngapain sih Ca. Buang pikiran negatif lo, gak usah mikir aneh-aneh. Apalin tuh nama calon suami lo biar gak salah sebut pas ngucapin janji di altar," tegur Jevina.

"Na! Ide bagus!" Pekikan kencang keluar dari mulut gadis itu, matanya berbinar seolah menemukan cahaya di tengah kegelapan. Sahabatnya menatap Marisca penuh tanya, kemudian buru-buru ia menggeleng menolak segala pikiran yang Marisca bilang sebagai ide yang bagus. Jangan sampai ia kena marah Tante Citra, karena tidak mencegah niat buruk putrinya untuk menghancurkan pernikahannya sendiri.

"Apapun yang ada di otak lo buang Caca! Nyokap lo tuh galak, bisa kena ungkit bertahun-tahun nanti!"

"Gak Na lo harus dengerin gue. Kalo gue salah sebut nama calon suami gue nanti selama berkali-kali pasti bakalan batal kan Na?"

"Don't you dare Marisca!" Kedua gadis itu berjenggit kaget saat seorang pria dewasa masuk untuk menemui putrinya.

"Papi." Ucap Marisca lirih. Buru-buru Jevina pamit keluar ruangan.

"Pi Caca gak mau menikah pi," adu Marisca dengan air mata yang sudah mengalir deras. Jonas, papinya tertawa sambil mengusap air mata putrinya.

"Maaf ya nak, tapi kamu harus menikah. Papi takut kalau mami marah."

Marisca membalikkan badannya, melipat kedua tangannya di dada. Ia sangat kesal karena tak ada satupun yang membelanya. Ini namanya pernikahan paksa! Memangnya ini jaman Siti Nurbaya!

"Ca, kamu turuti saja kemauan mamimu. Dia gak akan menjerumuskan atau merusak kehidupan anaknya Ca. Percaya saja sama mami."

"Tapi pi aku gak kenal sama calon suamiku. Dikasih fotonya aja nggak, gimana bisa aku percaya? Kenapa sih kalian tega? Apa perusahaan papi mau bangkrut ya pi? Jadi aku dijadiin jaminan biar keluarga calonnya Caca ini mau bantuin perusahaan papi? Kalo iya kenapa gak bilang aja pi, Caca akan berusaha ngertiin." Pria dewasa itu mengernyitkan keningnya, bingung bagaimana bisa putrinya ini ngelantur sampai kemana-mana. Bangkrut? Enak saja! Bahkan Jonas masih kuat kalau hanya menuruti keinginan putrinya untuk keliling dunia detik itu juga.

"Hus! Sembarangan aja kamu! Perusahaan papi baik-baik aja. Kamu udah kelamaan jadi beban mami mungkin, makanya dicariin suami biar bebannya ilang." Rengekan keras malah terdengar sangat keras dari mulut Caca.

A Blessing In DisguiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang