17

11.5K 853 55
                                        

Halo guys!
Maaf kalo lama-kelamaan ada yang ngerasa  bosan sama ceritanya. Untuk part ini lebih banyak dari part sebelumnya, bacanya pelan-pelan aja ya guys! Thank you!

-Eve
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Sepasang mata saling menatap tajam seolah bertarung siapa yang terlebih dahulu mengedipkan kelopaknya. Salah satunya bergerak gelisah saat suara decihan terdengar begitu dingin. Akhirnya setelah beberapa saat salah satunya berkedip. Tatapannya berpaling menuju kotak besar yang dibungkus dengan sangat rapi, kotak itu diletakkannya di atas meja kaca.

"Punya Mas Melviano," ucapnya lirih.

Pria itu memutus tatapannya, lalu meraih kotak itu untuk mencari tahu apa isinya. Sebuah benda yang baru saja kemarin ia tanyakan pada istrinya. Speaker milik Melviano.

"Kamu jauh-jauh kesini cuma mau balikin ini?" Tanya Melviano dengan sebelah alisnya naik. Gadis itu mengangguk pelan, senyum tipis terukir di bibirnya.

"Aku tahu kok itu mahal, makanya aku balikin."

"Saya bisa beli lagi."

"Mas Melviano bukan orang yang suka buang-buang uang begitu kan, gak usah beli lagi kan sudah dikembalikan."

Garis sudut bibirnya terangkat, dalam dirinya Melviano sedikit bergidik ngeri. Seberapa jauh gadis itu mengenali dirinya?

"Oke terimakasih, kamu bisa pulang." Ia berdiri hendak masuk kembali menemui keluarga besar yang kini terdiam menunggu hasil dari pertemuan itu.

Kedua mata gadis itu menatap punggung Melviano nanar. Ini bukan kali pertama pria itu berbicara seperlunya padanya. Namun melihat perjuangannya untuk mengembalikan barang seniat ini, apakah Melviano tak memiliki sedikit kepedulian padanya? Tentu jawabannya tidak.

Melan masih terdiam dengan telapak tangan yang mengepal erat hingga buku-buku jarinya memucat. Pandangannya jatuh pada lukisan besar di ujung ruangan, potret keluarga Soehendra.

"Sudah kan? Kenapa masih disini?" Jonas berdiri di samping kursi bekas Melviano tempati. Gadis itu tersentak, sepersekian detik kemudian ia merubah air mukanya. Tersenyum ramah dengan mata tulus yang siapapun saja mengira bahwa tak mungkin ada monster dibalik tubuh mungil itu.

"Terimakasih Pak Jonas, saya pamit dulu." Jonas mengangguk, lalu kakinya mengikuti Melan yang berjalan meninggalkan rumahnya.

Dari dalam Citra, Jayden, dan Tya menghampirinya dengan wajah yang sangat khawatir.

"Ngapain dia kesini?" Tanya Citra.

"Cewek gila, pasti ngikutin Melviano gak sih dia!" Sambung Tya.

"Jay minta ke Melviano barang yang dikasih cewek tadi, bongkar lihat ada yang mencurigakan gak." Jayden mengangguk.

Mereka kembali ke ruang makan. Tatapan bertanya-tanya tampak jelas di setiap wajah, namun tak ada yang berani membuka mulut. Melviano sendiri yang menemui gadis tadi pun hanya diam dan melanjutkan acara sarapannya. Pun Caca, ia sangat tahu bahwa akan ada badai berikutnya.

"Mel, habis sarapan ikut Papa." Pria itu mengangguk patuh. Caca menoleh ke arah suaminya, menatap dengan lekat memohon agar ia harus tetap baik-baik saja. Mengerti dengan maksud istrinya, Melviano tersenyum tipis lalu mengusap punggung tangan Caca pelan.

"Habis ini kamu sama Reina dan Jevina ya?" Tak ada pilihan lain selain menurut.

Sarapan pagi yang diharapkan penuh dengan kehangatan berakhir hampa. Yuda beserta istri dan anak bungsunya sudah pamit pulang, begitu pula keluarga Hasta. Hanya tinggal keluarga Luki dan Reno yang masih berlama-lama di kediaman Jonas. Namun kedua pria itu juga ikut Melviano untuk menemui Jayden dan Jonas. Tya dan Citra entah kemana, tinggalah ketiga wanita itu berkumpul di kamar Marisca.

A Blessing In DisguiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang