Prolog

37.8K 1.7K 17
                                    

"Na gue dijodohin."

Seorang wanita yang baru saja menyedot smoothies mangganya langsung terbatuk setelah mendengar ucapan sahabatnya. Marisca si penyebabnya sontak memukul-mukul punggung temannya agar sedikit membaik.

"Ca gue gak kaget kalo lo bakal berakhir dengan dijodohin kaya gini, yang gue kaget lo ngeluarin undangan yang acaranya 3 hari lagi." Marisca terdiam, bibirnya manyun.

Jevina tahu sahabatnya ini pasti sedang mengalami waktu terberat dalam hidupnya. Dipaksa menikah oleh seseorang yang pastinya wanita itu tidak kenal. Bukan sekali dua kali ia menjadi korban perjodohan yang dilakukan maminya. Jevina tahu sendiri bagaimana sahabatnya itu selalu memutar otak agar semua perjodohan itu dibatalkan. Namun melihat Marisca menyodorkan undangan mewah di atas meja, pasti usahanya kali ini gagal.

"Na bantuin gue kabur yuk. Gue gak kenal siapa calon suami gue." Tatapan iba didapat oleh Marisca. Matanya menatap sendu pada undangan yang sudah berpindah tangan ke Jevina. Wanita itu membuka karton tebal berwarna baby blue itu, kemudian matanya memicing saat membaca nama calon suami sahabatnya.

"Lo kenal gak?" Tanya Marisca.

"Enggak Ca. Sorry gue bener-bener gak bisa bantu kali ini. Kalo lo kabur terus gue diinterogasi sama nyokap lo bisa abis gue Ca." Marisca menunduk lesu.

"Aduhh lagian mami tuh apa-apaan sih, kaya gue gak laku aja pakai dijodoh-jodohin gini. Gue juga bisa cari sendiri kali." Jevina menaikkan sebelah alisnya.

"Gue sih gak yakin sih kalo lo mau cari sendiri. Belum ketemu aja lo udah kabur. Pasrah aja Ca, bokap lo kaya jangan sampai lo dicoret dari daftar warisan. Gue yakin kalo kabur lo bakal jatuh miskin." Tatapan tak percaya melayang pada Jevina. Kok tega sahabatnya berkata seperti itu, pikirnya.

"Gue kan udah kerja Na!" Protes Marisca.

"Iya tapi itu juga pakai power orang dalam. Bokap lo bilang suruh pecat, pasti bakal dipecat."

"Ini kenapa ya lo kaya ngerendahin gue terus, gue lagi sedih dihibur dong bukannya dihina terus."
Jevina tertawa.

"Gue cuma ngomong sesuai kenyataan. Udah percaya aja, mungkin emang saatnya lo mengakhiri masa lajang. Lagian nyokap lo seleranya tinggi, calon lo pasti cakep Ca." Marisca mendengus kesal.

"Bukan itu masalahnya! Gue kan masih muda Jevina. Lo tahu sendiri gue gak bisa semudah itu nerima orang baru, nanti kalo dia kesel terus gue diceraiin gimana! Masa gue jadi janda!" Bibirnya mengerucut kesal.

"Ya jangan sampai lo bikin kesel lah. Lo tuh harus sadar kalo hidup gak bisa sendiri terus, lo butuh orang lain. Gue udah nikah, gak bisa selamanya nemenin lo ngobrol, makan, nyalon. Nyokap bokap lo bakalan menua, gak mungkin selamanya ada di sisi lo. Pada akhirnya lo tuh bakalan sendirian Ca. Kecuali lo menikah. Orang itu nanti yang bakal gantiin tugas gue dan orang-orang terdekat lo lainnya, yang mungkin akan lebih fokus sama hidupnya sendiri. Makanya nyokap lo nyariin partner buat bantu lo fokus juga sama kehidupan lo nanti. Ca, apa sih yang lo takutin?"

Wanita itu menelungkupkan kepalanya diatas meja cafe. Jevina yang merasa iba mengusap pelan lengan Marisca.

"Ca udah gak ada waktu buat denial. Pilihan lo cuma terima pernikahan itu dan berusaha membuka diri. Gue percaya Ca orang yang dipilih Tante Citra pasti orang yang sangat baik dan pasti bisa buat lo nyaman nantinya." Marisca menegakkan kepalanya, menatap Jevina dengan mata berkaca-kaca. Air matanya sudah menggenang di pelupuk matanya, sekali kedip saja pasti akan tumpah.

"Na gue takut." Tangisan Marisca pecah, membuat Jevina panik sekali karena semua pengunjung cafe menatap ke arah mereka dengan tatapan penasaran.

"Ca lo jangan nangis disini dong, mana nangisnya kenceng lagi. Diam woi." Jevina tersenyum canggung pada orang-orang di sekitarnya, sambil menepuk-nepuk pundak Marisca agar tangisnya mereda.

✿✿✿

"Luk lo berisik banget kasih gue hiburan kek apa kek." Luki tertawa pada sahabatnya yang tampak linglung setelah menghabiskan sebotol minuman beralkohol.

"Sabar ya No, gue mau ikut prihatin tapi hidup lo terlalu lucu anjing. Nyokap lo ngide darimana sih ngejodohin anaknya yang udah tua gini." Tawa Luki menggelegar. Sebelumnya ia sangat kesal karena diseret oleh sahabatnya malam-malam padahal ia sedang asik bermesraan dengan Reina, istrinya. Namun setelah mencium bau alkohol dari tubuh sahabatnya itu, Luki sampai harus merayu istrinya agar diperbolehkan menemani sahabatnya yang sedang kalut.

"Luk rasanya nikah gimana sih?" Tanya Melviano yang masih berusaha duduk dengan benar. Efek alkohol ternyata sangat dahsyat bagi kewarasannya, sudah lama ia tidak minum. Terakhir mungkin saat pesta bujang Luki, tahun lalu.

"Enak banget, kalo bisa dari dulu gue nikahin si Reina. Kalo capek kerja ada yang nunggu dirumah tuh gue jadi suka lupa kalo seharian kepala mau pecah. Mau apa-apa ada yang ngelayanin. Paling enak sih pas di kamar ya mana-"

"Gak usah diterusin. Gue tau isi pikiran lo." Luki terkekeh. Lagian kan dia ditanya apa rasanya menikah, dia kan cuma menjawab berdasarkan pengalamannya. Memang enak kok menurut Luki.

"Luk gue harus apa nih, tiga hari lagi gue punya bini! Percuma gue setahun sengaja gak balik biar gak dijodoh-jodohin. Ini bukannya bebas malah tau-tau nyokap gue sebar undangan sendiri." Melviano mengacak rambutnya dengan sangat frustasi.

Ibunya memang sangat menginginkan anak sulungnya segera menikah sejak dua tahun yang lalu. Makanya ia sering dipaksa pulang hanya untuk menghadiri perjodohan berkedok acara keluarga. Sudah banyak wanita yang disodorkan ibunya ia tolak mentah-mentah dengan alasan ia belum mapan. Tetapi alasan itu hanya bisa ia pakai setahun yang lalu. Melviano kini bahkan memiliki rumah sendiri, di daerah tempatnya bekerja pun juga di kota asalnya. Ia punya kendaraan yang bisa dibilang cukup mahal, lalu investasi tanah berhektar-hektar yang memang ia inginkan sejak kuliah. Lagipula dia adalah pewaris perusahaan keluarga yang kini dipimpin ayahnya, jadi jika ia memutuskan keluar dari pekerjaannya yang sekarang dia sudah pasti tak akan jatuh miskin.

Alasan belum mapan sudah tak bisa dipakai, Melviano tak kehabisan akal. Ia sengaja tak pulang ke kota asalnya, dengan alasan proyek yang mengharuskannya selalu berada disana. Tya ibunya sampai kesal sendiri, maka wanita paruh baya itu mengambil keputusan tanpa bertanya dulu pada si sulung. Yaitu mengurus pernikahan putranya dengan putri sahabatnya. Ia tak peduli jika Melviano akan marah, lagipula anaknya itu tak pernah berani melawannya. Melviano kan menjunjung tinggi kalimat 'Surga ada di telapak kaki Ibu'. Jika Melviano terus menghindar, maka Tya sendiri yang akan menyeret putranya itu untuk menikah.

"Udah tenang. Gue udah ambil cuti buat ngedampingin lo nikah besok. Lo tidur di rumah gue aja ya, biar gampang gue nyeretnya besok ke bandara."

Melviano mendesah pasrah. Mungkin ini saatnya ia benar-benar membalas jasa ibunya, dengan menerima pernikahan yang Tya rencanakan.

A Blessing In DisguiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang