7. Bakat yang terpendam

125 31 12
                                    

Hay kalian, tos jauh dulu kita 🤜🤛

Gue mau nitip salam buat seseorang disini boleh?

"Teruntuk kamu yang sedang memperjuangkan sesuatu, kalau sudah dapat, tolong dijaga ya. Ingat, mempertahankan dan menjaga lebih sulit dari pada mendapatkan."

HAPPY READING🧡✨



_______

Suara tawa terdengar menggema dimeja makan pagi ini, tawa dari orang-orang sibuk yang sedang berusaha membagi waktu untuk anak semata wayangnya.

"Gimana ceritanya sih Na, Kok bisa Jaja dikejar-kejar anjing pak Karsa?" tanya Bulan, penasaran.

Nana mengedikkan bahu pertanda iya tak tau. "Gak tau ma, orang tadi malem mereka ditanyain cuma diem, sambil rebahan didepan tv."

"Capek banget pasti, dikejar-kejar si Ucup. Lagian mereka aneh-aneh aja kerjaannya, orang pengen mangga tuh beli, ini malah ngambil punya tetangga." 
Langit ikut menimbrung, dengan kekehan gelinya membayangkan betapa pucatnya wajah ketiga sahabat anaknya ini.

"Kata Jaja 'asal lo tau Na, yang gratisan itu lebih nikmat' gitu katanya," ucap Nana, sembari menirukan suara serta raut wajah milik Jaja.

"Iya nikmat, kalo yang ngasih ikhlas lillahi ta'ala, lah ini dia nyolong tanpa izin mana ada kenikmatannya," protes Langit.

"Pa, yang namanya nyolong pasti tanpa izin, kalo pake izin itu surat keterangan dari karyawan buat bos nya," kilah Bulan, membuat Nana terkekeh geli.

Nana mengacungkan dua ibu jarinya kehadapan Bulan dan Langit. "Seratus buat mama."

"Pinter kan mama?" tanya Bulan, sambil menaik turunkan kedua alisnya.

"Iya pinter banget, saking pinternya sampek gak bisa bedain mana daging mana lengkuas," seru Langit, lalu tertawa terbahak-bahak membuat Bulan menatapnya sinis.

"Itu gak sengaja ya, lagian kejadiannya udah lama masih aja di bahas!"

Nana ikut serta menertawakan nasib buruk mamanya, tak terlintas dalam pikirannya disebuah acara mamanya harus memakan nasi serta lengkuas bukan daging.

"Emang pas mama ngambil daging, gak dipencet pake sendok dulu?" tanya Nana, memastikan.

Bulan nampak berfikir, dengan kedua tangannya yang masih setia mengupas buah apel untuk suaminya. "Buru-buru Na, mana sempet mama ngeceknya, rame banget itu di nikahannya si Painem."

Nana tersedak roti yang dimakannya, lalu meminum jus jeruk yang ada di sampingnya.

Setelah dirasa baikan, dirinya kembali tertawa."Na, kamu gak kesambet kan?" tanya Bulan, menatap anaknya ngeri.

Nana menekuk wajahnya kesal. "Enak aja, Nana masih waras sehat wal'afiat ya, mana ada Nana kesambet."

"Terus kenapa tadi ketawa ketiwi, padahal gak ada yang lucu?"

Nana menghela nafas panjang, "Nana tuh ngetawain nama temen mama sama papa, lagian ini udah tahun berapa, kok namanya kayak nama orang jaman dulu sih?!"

"Painem itu cowok atau cewek pa?" tanya Nana.

"Cowok lah, udah jelas-jelas namanya Painem," jawab Langit.

Nana bangkit dari duduknya, lalu menyalami kedua orang tuanya. "Nana berangkat dulu ya ma, pa."

"Bareng siapa Na?" tanya Langit. "Papa anterin aja ya?"

Nana menggelengkan kepala. "Nana bareng Jaja pa."

"Loh, Jaja di skors, emang gak papa ke sekolah?" Nana terkekeh pelan mendengar pertanyaan mamanya. "ya gak papa dong, orang nganterinnya cuma sampek gerbang, gak sampek kelas."

Bukan Kembar!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang